Si Tambun Gannet, Pemburu Kapal Selam Legendaris TNI AL
A
A
A
Nama pesawat ini cukup unik, Gannet. Pesawat buatan Fairey Aviation Company ini, sepertinya sengaja mengambil nama Gannet dari salah satu jenis burung laut yang terkenal mampu menyelam untuk menangkap ikan. Gannet pun dibuat untuk mengemban tugas memburu dan menghadang kapal selam.
Pesawat yang dirancang HE Chaplin pertama kali melakukan uji terbang pada 19 September 1949 dan diperkenalkan umum pada 1953. Pesawat legendaris yang memiliki bodi tambun ini juga menorehkan tinta sejarah sebagai cikal bakal sayap udara Angkatan Laut Indonesia (TNI AL) ketika dibentuk Staf Penerbangan di bawah Staf Operasi Mabesal pada 4 Februari 1950. Lembaga ini kemudian disempurnakan menjadi Dinas Penerbangan ALRI (Penerbal) pada 17 Juni 1956.
Pertengahan 1950-an Indonesia mulai melakukan negosiasi dengan Amerika Serikat untuk mendapatkan pesawat terbang intai maritim Grumman S-2F Tracker. Namun, keinginan tersebut ditolak karena sedang terjadi masalah politik di dalam negeri Paman Sam. Alhasil, TNI AL mengincar pesawat Gannet buatan Fairey dan mendapat respons positif pemerintah Inggris.
Akhirnya TNI-AL menandatangani kontrak dengan Fairey Aviation Ltd (Inggris) pada 27 Januari 1959 di Jakarta. Kemudian TNI AL segera mengirimkan para kadetnya untuk belajar menerbangkan Gannet langsung di pabriknya di White Waltham. Di antara yang dikirim adalah Eddy Tumengkol, Subadi, Kunto Wibisono, dan Budiarto.
Dua pesawat dari pengiriman pertama tiba di Surabaya pada 1960 dan berangsur-angsur disusul pesawat berikutnya hingga total genap menjadi 18 unit. Pesawat masuk dalam Skuadron Udara 100 anti kapal selam (AKS) di Morokrembangan, Surabaya.
Dari 18 Gannet yang dimiliki TNI AL, dua unit merupakan versi latih yakni model T5 dan sisanya versi anti kapal selam. Namun, pesawat ini telah dimodifikasi dan diupgrade menggunakan mesin yang lebih bertenaga dan sayap utama tidak bisa dilipat.
Sama seperti namanya, pesawat ini memiliki bentuk yang unik. Pertama sosok Gannet terlihat tambun dan mempunyai dua bilah baling-baling sejajar di bagian hidung. Namun, dua bilah baling-baling ini berputar saling berlawanan arah atau yang dikenal dengan istilah Twin Pac.
Sebenarnya Gannet merupakan pesawat yang dioperasikan dari kapal induk. Untuk itu, si Tambun ini memiliki sayap utama yang bisa dilipat serta kail pengait di bawah ekor untuk pendaratan. Namun Indonesia tidak memperoleh varian ini karena Gannet untuk TNI AL bekas pakai Royal Navy – Fleet Air Arm.
Gannet didukung mesin turboprop Double Mamba buatan Armstrong-Siddeley. Mesin ini menggerakkan baling-baling model tumpuk yang berputar berlawanan arah (contra rotating). Mesin ini memiliki kelebihan karena salah satu mesin dapat dimatikan untuk penerbangan jelajah ekonomis. Bahkan, jika salah satu mesin gagal berfungsi, maka pesawat tidak akan mengalami masalah serius dalam penerbangan.
Untuk Gannet tipe AS 4 yang perannya sebagai pemburu kapal selam, dilengkapi torpedo yang tersimpan dalam bomb bay di perutnya yang gendut. Selain itu pesawat ini juga dipersenjatai roket tanpa kendali yang menggantung di sayap utama serta rumah radar yang bisa ditarik ke dalam perut bagian bawah belakang pesawat.
Gannet AS 4 diawaki tiga orang yaitu pilot, navigator merangkap observer yang berada dalam satu ruang, dan operator radio-radar di kokpit terpisah dengan posisi duduk menghadap ke belakang ekor pesawat. Kehadiran Gannet langsung dilibatkan dalam Operasi Trikora dan dikirim ke wilayah timur untuk mengawasi dan melindungi laut sekitar Sulawesi hingga Laut Banda dengan berpangkalan di Liang, Ambon.
Selepas Trikora yang selesai dengan perundingan damai, Gannet ditarik ke sarangnya. Sebuah Gannet sempat mengalami kecelakaan di sekitar Ambon waktu menjalani penerbangan malam dari Mapanget, Manado ke Liang, Ambon. Pesawat baru ditemukan secara tak sengaja setahun kemudian di Gunung Salahatu.
Tak sempat beristirahat lama, Gannet kembali memenuhi panggilan tugas dalam Operasi Dwikora antara 1964 – 1966 untuk mengawasi perairan di sepanjang perbatasan Singapura hingga Selat Karimata. Pesawat ditempatkan di Tanjung Pinang. Gannet juga terbang dari Denpasar, Bali guna memantau pergerakkan kapal lawan di wilayah selatan Samudra Hindia.
Bak senjata makan tuan, Inggris harus menghadapi senjata buatannya sendiri. Penggunaan Gannet oleh TNI AL dalam Operasi Dwikora membuat Inggris berang, hingga memutuskan pasokan suku cadangnya. Dalam konflik ini Inggris juga menggunakan Gannet AEW 3, yakni versi Airborne Early Warning yang dioperasikan oleh Fleet Air Arm, Squadron No 849.
Akhirnya pada awal 1970-an pengabdian Gannet di TNI AL diistirahatkan karena faktor usia dan keterbatasan suku cadang. Walau dalam dua operasi militer yang dijalaninya Gannet tak pernah melepaskan senjatanya untuk melumat lawan, namun kehadiran si Tambun dikenang veteran perang sejati. Jejak rekam sejarah pesawat tambun awak ini bisa dijumpai sebagai monumen di museum Satria Mandala, Jakarta dan Lanudal Juanda, Surabaya.
Sumber:
Wikipedia
Puspenerbal.tnial.mil.id
Garudamiliter.blogspot.co.id
Indomiliter.com
Pesawat yang dirancang HE Chaplin pertama kali melakukan uji terbang pada 19 September 1949 dan diperkenalkan umum pada 1953. Pesawat legendaris yang memiliki bodi tambun ini juga menorehkan tinta sejarah sebagai cikal bakal sayap udara Angkatan Laut Indonesia (TNI AL) ketika dibentuk Staf Penerbangan di bawah Staf Operasi Mabesal pada 4 Februari 1950. Lembaga ini kemudian disempurnakan menjadi Dinas Penerbangan ALRI (Penerbal) pada 17 Juni 1956.
Pertengahan 1950-an Indonesia mulai melakukan negosiasi dengan Amerika Serikat untuk mendapatkan pesawat terbang intai maritim Grumman S-2F Tracker. Namun, keinginan tersebut ditolak karena sedang terjadi masalah politik di dalam negeri Paman Sam. Alhasil, TNI AL mengincar pesawat Gannet buatan Fairey dan mendapat respons positif pemerintah Inggris.
Akhirnya TNI-AL menandatangani kontrak dengan Fairey Aviation Ltd (Inggris) pada 27 Januari 1959 di Jakarta. Kemudian TNI AL segera mengirimkan para kadetnya untuk belajar menerbangkan Gannet langsung di pabriknya di White Waltham. Di antara yang dikirim adalah Eddy Tumengkol, Subadi, Kunto Wibisono, dan Budiarto.
Dua pesawat dari pengiriman pertama tiba di Surabaya pada 1960 dan berangsur-angsur disusul pesawat berikutnya hingga total genap menjadi 18 unit. Pesawat masuk dalam Skuadron Udara 100 anti kapal selam (AKS) di Morokrembangan, Surabaya.
Dari 18 Gannet yang dimiliki TNI AL, dua unit merupakan versi latih yakni model T5 dan sisanya versi anti kapal selam. Namun, pesawat ini telah dimodifikasi dan diupgrade menggunakan mesin yang lebih bertenaga dan sayap utama tidak bisa dilipat.
Sama seperti namanya, pesawat ini memiliki bentuk yang unik. Pertama sosok Gannet terlihat tambun dan mempunyai dua bilah baling-baling sejajar di bagian hidung. Namun, dua bilah baling-baling ini berputar saling berlawanan arah atau yang dikenal dengan istilah Twin Pac.
Sebenarnya Gannet merupakan pesawat yang dioperasikan dari kapal induk. Untuk itu, si Tambun ini memiliki sayap utama yang bisa dilipat serta kail pengait di bawah ekor untuk pendaratan. Namun Indonesia tidak memperoleh varian ini karena Gannet untuk TNI AL bekas pakai Royal Navy – Fleet Air Arm.
Gannet didukung mesin turboprop Double Mamba buatan Armstrong-Siddeley. Mesin ini menggerakkan baling-baling model tumpuk yang berputar berlawanan arah (contra rotating). Mesin ini memiliki kelebihan karena salah satu mesin dapat dimatikan untuk penerbangan jelajah ekonomis. Bahkan, jika salah satu mesin gagal berfungsi, maka pesawat tidak akan mengalami masalah serius dalam penerbangan.
Untuk Gannet tipe AS 4 yang perannya sebagai pemburu kapal selam, dilengkapi torpedo yang tersimpan dalam bomb bay di perutnya yang gendut. Selain itu pesawat ini juga dipersenjatai roket tanpa kendali yang menggantung di sayap utama serta rumah radar yang bisa ditarik ke dalam perut bagian bawah belakang pesawat.
Gannet AS 4 diawaki tiga orang yaitu pilot, navigator merangkap observer yang berada dalam satu ruang, dan operator radio-radar di kokpit terpisah dengan posisi duduk menghadap ke belakang ekor pesawat. Kehadiran Gannet langsung dilibatkan dalam Operasi Trikora dan dikirim ke wilayah timur untuk mengawasi dan melindungi laut sekitar Sulawesi hingga Laut Banda dengan berpangkalan di Liang, Ambon.
Selepas Trikora yang selesai dengan perundingan damai, Gannet ditarik ke sarangnya. Sebuah Gannet sempat mengalami kecelakaan di sekitar Ambon waktu menjalani penerbangan malam dari Mapanget, Manado ke Liang, Ambon. Pesawat baru ditemukan secara tak sengaja setahun kemudian di Gunung Salahatu.
Tak sempat beristirahat lama, Gannet kembali memenuhi panggilan tugas dalam Operasi Dwikora antara 1964 – 1966 untuk mengawasi perairan di sepanjang perbatasan Singapura hingga Selat Karimata. Pesawat ditempatkan di Tanjung Pinang. Gannet juga terbang dari Denpasar, Bali guna memantau pergerakkan kapal lawan di wilayah selatan Samudra Hindia.
Bak senjata makan tuan, Inggris harus menghadapi senjata buatannya sendiri. Penggunaan Gannet oleh TNI AL dalam Operasi Dwikora membuat Inggris berang, hingga memutuskan pasokan suku cadangnya. Dalam konflik ini Inggris juga menggunakan Gannet AEW 3, yakni versi Airborne Early Warning yang dioperasikan oleh Fleet Air Arm, Squadron No 849.
Akhirnya pada awal 1970-an pengabdian Gannet di TNI AL diistirahatkan karena faktor usia dan keterbatasan suku cadang. Walau dalam dua operasi militer yang dijalaninya Gannet tak pernah melepaskan senjatanya untuk melumat lawan, namun kehadiran si Tambun dikenang veteran perang sejati. Jejak rekam sejarah pesawat tambun awak ini bisa dijumpai sebagai monumen di museum Satria Mandala, Jakarta dan Lanudal Juanda, Surabaya.
Sumber:
Wikipedia
Puspenerbal.tnial.mil.id
Garudamiliter.blogspot.co.id
Indomiliter.com
(wib)