Misteri Ronggeng Gunung dan Keramat Jambu Handap

Senin, 06 Februari 2017 - 05:00 WIB
Misteri Ronggeng Gunung dan Keramat Jambu Handap
Misteri Ronggeng Gunung dan Keramat Jambu Handap
A A A
Kesenian Ronggeng Gunung saat ini masih menjadi perdebatan antara Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Pangandaran, sehingga dua kabupaten ini saling mengklaim hak paten kepemilikannya.

Namun berdasarkan penelusuran diketahui bahwa Aki Ceceng (67) salah satu juru kunci Situs Keramat Jambu Handap yang berlokasi di Dusun/Desa Bojong, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran memiliki seperangkat perlengkapan kesenian Ronggeng Gunung.

“Perlengkapan seperangkat peralatan Ronggeng Gunung ini merupakan peninggalan pencipta kesenian Ronggeng Gunung bernama Nyi Mas Bageum,” kata Ceceng.

Waktu itu kesenian Ronggeng Gunung dipimpin Ki Raksa Dipa yang sekaligus menjadi pemain kendang pada tahun 1200 Masehi.

“Kesenian Ronggeng Gunung tertuang dalam Babad Keramat Jambu Handap yang dituangkan dalam sebuah kitab yang ditulis menggunakan tulisan Sunda Pegon oleh tiga tokoh diantaranya Sabda Jaya atau Eyang Gedeng Mataram, Embah Sangupati dan Embah Sutapati,” timpalnya.

Kitab yang terbuat dari bahan kertas kapas dengan alat tulis menggunakan tinta dari buah harendong dan penanya dari sulangkar itu biasa disebut Sejarah Keramat Jambu Handap yang diberi nama Kitab Damar Wulan atau Kitab Aji Saka.

“Kesenian Ronggeng Gunung tertuang di kitab ini dan perangkat peralatan saat ini masih ada di kami yang alat ini diturunkan secara turun temurun oleh leluhur kami,” paparnya.

Ceceng menjelaskan, perlengkapan seperangkat alat tersebut diantaranya goong beunde 1 unit, bonang ketuk 3 penclon diantaranya boning barang dengan nada da, paneulu dengan nada na dan beum dengan nada ti.

“Selain perangkat peralatan kesenian tersebut perlengkapan pakaian yang digunakan oleh Nyi Mas Bageum juga masih ada diantaranya dodot samping seperti ikeut, sarung, karembong, kabaya dan sampur,” jelas Ceceng.

Ceceng menegaskan, hak paten kepemilikan status Ronggeng Gunung merupakan kesenian tradisional asli yang lahir di wilayah Pangandaran karena secara historis dan fakta sejarah masih ada di daerah ini.

“Kebanyakan orang mengenal tarian Ronggeng Gunung diciptakan Siti Samboja atau Dewi Rengganis sebagai salah satu strategi untuk membalas dendam atas kematian suaminya Raden Anggalarang,” tutur Aki Aceng.

Padahal Siti Samboja atau Dewi Rengganis hanya sebagai pelaku kesenian yang mempopulerkan kesenian tarian Ronggeng Gunung, bahkan secara gerakan pun ada beberapa metode yang direvitalisasi seperti gerakan tari ke dalam dan gerakan tari keluar saat membentuk lingkaran.

“Sebetulnya, nyanyian dan intonasi nada juga gerakan tarian Ronggeng Gunung yang asli ada tertuang dalam kitab Aji Saka atau kitab Damar Wulan, namun hingga saat ini tidak ada satu orang pun yang bisa membaca dan mengartikan isi kitab ini, padahal tulisannya masih jelas,” papar Aki Ceceng.

Aki Ceceng mengaku, ada keunikan dalam kitab Aji Saka atau Kitab Damar Wulan, sewaktu-waktu kitab tersebut menghilang dan akan datang lagi di tempat semula disimpan. Biasanya Aki Ceceng menyimpan kitab tersebut di dalam satu ruangan disatukan dengan perangkat perlengkapan alat ronggeng gunung dengan pakaian yang biasa digunakan oleh Nyi Mas Bageum.

Ada beberapa versi mengenai asal mula Ronggeng Gunung. Pertama, Ronggeng Gunung lahir dan berkaitan erat dengan kisah Dewi Siti Samboja. Dewi Siti Samboja adalah puteri ke-38 dari Prabu Siliwangi yang bersuamikan Angkalarang.

Konon, suami sang Dewi yaitu Angkalarang mati terbunuh oleh Kalasamudra (pemimpin bajak laut dari seberang lautan) saat memperebutkan Kerajaan Galuh Tanduran.

Dalam perjalanan merebut Kerajaan Galuh Tanduran, Dewi Rengganis bersama Raden Anggalarang berpindah-pindah daerah.

Daerah pertama yang disinggahi diantaranya Babakan, Cikembulan, Batu Hiu, Serang, Ciparakan. Saat singgah di daerah Ciparakan Raden Anggalarang tewas lantaran di arak atau diseret di sepanjang jalan oleh komplotan Kalasamudra, daerah tersebut seluruhnya masuk ke Kabupaten Pangandaran.

Dewi Samboja sangat bersedih hatinya karena suami yang dicintainya telah meninggal dunia dan dia sangat marah kepada Kalasamudra yang telah membunuh suaminya.

Untuk menghilangkan kesedihan dan sekaligus kemarahan puterinya atas kematian Angkalarang, maka ayahandanya, yaitu Prabu Siliwangi memberikan wangsit kepada Dewi Samboja bahwa untuk dapat membalas kematian Angkalarang, Dewi Samboja harus menyamar sebagai Nini Bogem, yaitu sebagai seorang penari ronggeng dengan nama Dewi Rengganis. Berdasarkan wangsit itulah, Dewi Samboja mulai belajar menari ronggeng dan seni bela diri serta mengganti nama menjadi Dewi Rengganis.

Kemudian Dewi Rengganis bersama rombongannya menuju ke daerah Bagolo untuk melakukan penyamaran sebagai penari ronggeng dengan mengenakan sarung yang pakai menutupi kepala hingga setengah badan ke bawah.

Adegan tarian tersebut akhirnya bisa mengelabui komplotan Bajo (Kalasamudra) hingga saat kondisi komplotan ini terlena dengan adegan tarian dan dapat dibunuh satu persatu oleh rombongan Dewi Rengganis.

Versi Kedua, yaitu Ronggeng Gunung diciptakan oleh Raden Sawunggaling. Konon, ketika Kerajaan Galuh dalam keadaan kacau-balau karena serangan musuh. Sang Raja terpaksa mengungsi ke tempat yang aman dari kejaran musuh. Dalam situasi yang demikian, datanglah seorang penyelamat yang bernama Raden Sawunggaling.

Sebagai ungkapan terima kasih atas jasanya yang demikian besar itu, Sang Raja menikahkan sang penyelamat itu dengan putrinya (Putri Galuh). Kemudian, ketika Raden Sawunggaling memegang tampuk pemerintahan, beliau menciptakan tarian yang bernama Ronggeng Gunung sebagai sarana hiburan resmi di istana.

Penarinya diseleksi ketat oleh raja dan harus betul-betul mempunyai kemampuan menari, menyanyi, dan berparas cantik, sehingga ketika itu penari ronggeng mempunyai status terpandang di lingkungan masyarakat.

Versi Ketiga berkisah tentang seorang puteri yang ditinggal mati oleh kekasihnya. Siang dan malam sang puteri meratapi terus kematian orang yang dicintainya. Selagi sang puteri menangisi jenazah kekasihnya yang sudah mulai membusuk, datanglah beberapa pemuda menghampirinya dengan maksud untuk menghiburnya.

Para pemuda tersebut menari mengelilingi sang puteri sambil menutup hidung karena bau busuk mayat. Lama-kelamaan, sang puteri pun akhirnya ikut menari dan menyanyi dengan nada melankolis. Adegan-adegan tersebut banyak yang menjadi dasar dalam gerakan-gerakan pada pementasan Ronggeng Gunung saat ini.

Versi Keempat mirip dengan versi pertama, hanya jalan ceritanya yang berbeda. Dalam versi ini perkawinan antara Dewi Siti Samboja dan Raden Anggalarang, putra Prabu Haur Kuning dari Kerajaan Galuh, tidak direstui oleh ayahnya.

Untuk itu, pasangan suami-isteri tersebut mendirikan Kerajaan di Pananjung, yaitu daerah yang kini merupakan Cagar Alam Pananjung di obyek wisata Pangandaran. Suatu saat kerajaan tersebut diserang oleh para perompak yang dipimpin oleh Kalasamudra, sehingga terjadi pertempuran.

Namun, karena pertempuran tidak seimbang, akhirnya Raden Anggalarang gugur. Akan tetapi, istrinya, Dewi Siti Samboja, berhasil menyelamatkan diri dan mengembara.

Dalam pengembaraannya yang penuh dengan penderitaan, sang Dewi akhirnya menerima wangsit agar namanya diganti menjadi Dewi Rengganis dan menyamar sebagai ronggeng.

Di tengah kepedihan hatinya yang tidak terperikan karena ditinggal suaminya, Dewi Rengganis berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mencari pembunuh suaminya.

Konon, pagelaran ronggeng akhirnya sampai di tempat Kalasamudra dan Dewi Samboja dapat membalas kematian suaminya dengan membunuh sang bajak laut itu ketika sedang menari bersama.

Sumber:
- Wikipedia dan diolah dari berbagai sumber
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2954 seconds (0.1#10.140)