Runtuhnya Kerajaan Johor Usai Berperang dengan Jambi
A
A
A
Sejarah Johor dimulai pada masa pemerintahan Kesultanan Malaka. Sebelumnya daerah Johor merupakan bagian dari Kesultanan Malaka, kemudian Malaka jatuh akibat penaklukan Portugal pada tahun 1511.
Berdasarkan Sulalatus Salatin, setelah wafatnya Sultan Malaka, Mahmud Syah tahun 1528 di Kampar, Sultan Alauddin Syah, salah seorang putra raja Malaka, menjadikan Johor sebagai pusat pemerintahannya dan kemudian dikenal sebagai Kesultanan Johor.
Sebagai pewaris Malaka, Sultan Johor menganggap wilayah Johor, Pahang, Selangor, Singapura, Kepulauan Riau, dan daerah-daerah di Sumatera seperti Deli, Siak, Rokan, Inderagiri, Batu Bara, dan Jambi sebagai wilayah kedaulatannya.
Krisis antara Johor dan Jambi bermula disaat kedua belah pihak berselisih paham mengenai perebutan kawasan yang bernama Tungkal.
Pada masa ini Johor diperintah oleh Sultan Abdul Jalil Syah III dan pemerintahan lebih banyak dimainkan oleh Raja Muda.
Dalam usaha untuk mendapatkan Tungkal dari tangan orang Jambi, orang Johor telah menghasut penduduk Tungkal untuk memberontak.
Hal ini menimbulkan kemarahan Pemerintah Jambi. Namun kekuatan Johor yang disegani pemerintah Jambi pada waktu itu menyebabkan Jambi memilih untuk berdamai.
Ketegangan antara Johor dan Jambi dapat diredakan karena perkawinan antara Raja Muda Johor dengan Puteri Sultan Jambi pada tahun 1659.
Namun persengketaan antara Johor dan Jambi kembali meletus dikarenakan tindakan kedua-dua pihak yang saling menghina kedaulatan kerajaan masing-masing.
Johor kembali berperang dengan membawa 7 buah kapal untuk menyerang perkampungan nelayan Jambi pada bulan Mei 1667.
Kegiatan perdagangan semakin merosot akibat perperangan yang terjadi karena tidak ada jaminan keselamatan kepada pedagang untuk menjalankan perdagangan di kawasan bergolak ini.
Hal ini menyebabkan kerugian ekonomi kepada Johor. Puncak peristiwa peperangan ini terjadi saat Pengeran Dipati Anum mengetuai sebuah angkatan perang untuk menyerang dan memusnahkan Johor secara mengejutkan pada 4 April 1673.
Serangan ini telah melumpuhkan sistem pemerintahan kerajaan Johor. Dalam usaha menyelamatkan diri, Raja Muda bersama seluruh penduduk Johor telah lari bersembunyi di dalam hutan. Bendahara Johor ditawan dan dibawa pulang ke Jambi.
Sultan Abdul Jalil Syah III juga melarikan diri ke Pahang. Baginda akhirnya meninggal dunia di sana pada 22 November 1677.
Peperangan yang menyebabkan kekalahan kerajaan Johor ini telah mengakibatkan kerugian yang besar kepada Johor karena Jambi telah bertindak merampas semua barang berharga milik kerajaan Johor termasuk 4 ton emas serta sebagian besar senjata api yang merupakan simbol kemegahan dan kekuatan Johor.
Kehilangan senjata api dan tentara dalam jumlah besar menyebabkan kerajaan Johor tidak dapat berbuat apa-apa, dan hal ini secara tidak langsung meruntuhkan kerajaan Johor.
sumber:
wikipedia
diolah dari berbagai sumber
Berdasarkan Sulalatus Salatin, setelah wafatnya Sultan Malaka, Mahmud Syah tahun 1528 di Kampar, Sultan Alauddin Syah, salah seorang putra raja Malaka, menjadikan Johor sebagai pusat pemerintahannya dan kemudian dikenal sebagai Kesultanan Johor.
Sebagai pewaris Malaka, Sultan Johor menganggap wilayah Johor, Pahang, Selangor, Singapura, Kepulauan Riau, dan daerah-daerah di Sumatera seperti Deli, Siak, Rokan, Inderagiri, Batu Bara, dan Jambi sebagai wilayah kedaulatannya.
Krisis antara Johor dan Jambi bermula disaat kedua belah pihak berselisih paham mengenai perebutan kawasan yang bernama Tungkal.
Pada masa ini Johor diperintah oleh Sultan Abdul Jalil Syah III dan pemerintahan lebih banyak dimainkan oleh Raja Muda.
Dalam usaha untuk mendapatkan Tungkal dari tangan orang Jambi, orang Johor telah menghasut penduduk Tungkal untuk memberontak.
Hal ini menimbulkan kemarahan Pemerintah Jambi. Namun kekuatan Johor yang disegani pemerintah Jambi pada waktu itu menyebabkan Jambi memilih untuk berdamai.
Ketegangan antara Johor dan Jambi dapat diredakan karena perkawinan antara Raja Muda Johor dengan Puteri Sultan Jambi pada tahun 1659.
Namun persengketaan antara Johor dan Jambi kembali meletus dikarenakan tindakan kedua-dua pihak yang saling menghina kedaulatan kerajaan masing-masing.
Johor kembali berperang dengan membawa 7 buah kapal untuk menyerang perkampungan nelayan Jambi pada bulan Mei 1667.
Kegiatan perdagangan semakin merosot akibat perperangan yang terjadi karena tidak ada jaminan keselamatan kepada pedagang untuk menjalankan perdagangan di kawasan bergolak ini.
Hal ini menyebabkan kerugian ekonomi kepada Johor. Puncak peristiwa peperangan ini terjadi saat Pengeran Dipati Anum mengetuai sebuah angkatan perang untuk menyerang dan memusnahkan Johor secara mengejutkan pada 4 April 1673.
Serangan ini telah melumpuhkan sistem pemerintahan kerajaan Johor. Dalam usaha menyelamatkan diri, Raja Muda bersama seluruh penduduk Johor telah lari bersembunyi di dalam hutan. Bendahara Johor ditawan dan dibawa pulang ke Jambi.
Sultan Abdul Jalil Syah III juga melarikan diri ke Pahang. Baginda akhirnya meninggal dunia di sana pada 22 November 1677.
Peperangan yang menyebabkan kekalahan kerajaan Johor ini telah mengakibatkan kerugian yang besar kepada Johor karena Jambi telah bertindak merampas semua barang berharga milik kerajaan Johor termasuk 4 ton emas serta sebagian besar senjata api yang merupakan simbol kemegahan dan kekuatan Johor.
Kehilangan senjata api dan tentara dalam jumlah besar menyebabkan kerajaan Johor tidak dapat berbuat apa-apa, dan hal ini secara tidak langsung meruntuhkan kerajaan Johor.
sumber:
wikipedia
diolah dari berbagai sumber
(nag)