Misteri Stasiun Cipeundeuy, Semua KA Wajib Berhenti
A
A
A
STASIUN Cipeundeuy merupakan salah satu stasiun legendaris dan beberapa orang percaya tersimpan berbagai kisah bernuansa mistik. Stasiun Cipeundeuy (CPD) merupakan stasiun kereta api kelas II di Cinagara, Malangbong, Garut. Stasiun yang terletak di ketinggian +772 meter ini termasuk dalam Daerah Operasi II Bandung.
Menurut catatan sejarah, stasiun ini didirikan sekitar tahun 1893-an oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Nama stasiun sesuai dengan nama kampung tempat stasiun ini berada, Cipeundeuy. Stasiun ini memiliki tiga jalur dengan jalur 1 sebagai kereta lurus.
Walaupun fisik bangunan stasiun ini terlihat hanya sebagai stasiun kecil, namun semua kereta api (KA) yang melintas jalur selatan, baik itu kelas eksekutif, bisnis, ataupun ekonomi, diwajibkan berhenti di stasiun ini. Sejak zaman penjajahan Belanda pun sudah diperintahkan, bahwa di Stasiun Cipeundeuy semua kereta harus berhenti.
Namun, beberapa orang di sekitar stasiun kerap kali menghubungkannya dengan hal-hal mistik. Apalagi, di sepanjang jalan kereta api antara stasiun Ciawi, Cirahayu, Cipeundey, hingga ke Stasiun Bumiwaluya kerap kali terjadi kecelakaan maut dan merenggut korban jiwa.
Pada zaman kareta api masih memakai lokomotif berbahan bakar batu bara, kerap terjadi kecelakaan aneh,seperti lokomotif maupun gerbong anjlok, terguling, bahkan gerbong terputus. Sempat terjadi lokomotif mundur lagi ke jembatan Torowek atau Stasiun Cirahayu di sekitar Kampung Wage, tanpa sebab yang jelas.
Sampai-sampai, pengelola stasiun dan warga sepakat, banyaknya terjadi kecelakaan ini harus diantisipasi dengan meruwat atau mengganti nama stasiun di sepanjang jalur tersebut. Dalam catatan sejarah nama-nama stasion itu sempat diganti, misalnya Stasiun Malangbong menjadi Stasiun Bumi Waluya. Begitu juga Stasiun Torowek diubah menjadi Stasiun Cirahayu. Pada tahun 1960-an, sempat ada sesepuh kampung setempat menganjurkan rituan menyembelih kerbau bule di lokasi. Bahkan disertai dengan ruatan wayang golek.
Namun ketika masa berubah, lokomotif menggunakan mesin disel, peristiwa-peristiwa aneh pun, ternyata masih kerap terjadi. Di antaranya pada 1995,terjadi kecelakaan Kereta Api (KA) gabungan Galuh dan Kahuripan, pada tengah malam atau yang dikenal dengan tragedi Torowek. Kereta gabungan yang baru berangkat dari Stasiun Cipeundeuy, saat melintas di jembatan Torowek, tiba-tiba terperosok ke dalam jurang.
Kejadian nahas itu terjadi kala lokomotif Kereta Api (KA) Galuh relasi Pasar Senen-Banjar mengalami kerusakan di Stasiun Cibatu dan harus menunggu perbaikan. Akhirnya, demi meminimalisir waktu keterlambatan, KA Galuh digandengkan dengan KA Kahuripan relasi Bandung – Kediri. Setelah selesai digabungkan, rangkaian ini pun berjalan dengan formasi 2 Lokomotif + 13 K3.
Sekitar pukul 00.03 WIB saat akan mendekati stasiun Torowek (Sekarang Cirahayu), kedua KA yang digabungkan tersebut mengalami masalah pada sistem pengereman yang diperkirakan berasal dari rangkaian KA Kahuripan. Akibatnya, kedua kereta ini semakin lama, semakin melaju kencang sehingga kecelakaan dahsyat atau Peristiwa Luarbiasa Hebat (PLH) tersebut tak terhindarkan.
Kecelakaan rangkaian KA terjadi saat sampai pada lokasi di km 241 atau tepat di tikungan jembatan sungai Cirahayu (Torowek) yang panjangnya sekitar 100 m. Lokasi kejadian memiliki bentuk jalan rel yang menikung sekaligus turunan.
Kecelakaan tersebut terjadi diduga karena kecepatan KA yang terlalu tinggi dan rem kereta yang tidak berfungsi. Akibatnya, rangkaian KA ini anjlok dan terguling ke sisi kanan dan kiri rel, kemudian terperosok ke dalam jurang.
4 unit kereta terlempar ke bagian kanan rel dengan kereta terakhir berada di bawah jurang sedalam 10 m. Sedangkan 3 unit kereta lain masih berada di atas rel. 5 unit kereta yang selamat dan tidak anjlok maupun terlempar berhasil dievakuasi ke Stasiun Cibatu. Sedikitnya 14 penumpang meninggal dalam kejadian tersebut.
Menurut seorang ahli geologi, Van Bemmelen dalam bukunya, The Geology of Indonesia (1949), daerah Jawa Barat bagian selatan merupakan daerah dengan barisan gunung vulkanik. Tidak heran jika jalur kereta api di daerah ini terkenal berkelok dan naik-turun. Alhasil, laju kereta tidak bisa kencang.
Khusus jalur kereta yang menghubungkan Bandung-Tasikmalaya dikenal sebagai salah satu jalur ekstrem. Dari Tasikmalaya sampai Bandung masinis harus waspada, salah sedikit kereta akan tergelincir atau menghantam punggung gunung. Kondisi semakin berat jika hujan sedang turun.
Sejak dari Stasiun Ciawi, kereta api akan melalui Tanjakan terjal sampai Stasiun Cipeundeuy, kemudian turunan curam akan menghadang dari Stasiun Cipeundeuy sampai Stasiun Cibatu. Kemudian menanjak lagi sampai Stasiun Nagreg (stasiun tertinggi di Indonesia yang masih aktif) dan akhirnya meluncur di turunan yang tak kalah curam sampai Stasiun Cicalengka.
Saking ekstremnya, jalur ini menjadi jalur untuk ‘Meng-Ospek’ lokomotif baru yang akan berdinas di pulau Jawa. Di jalur ini tidak ada kata istirahat bagi kereta yang sedang melaluinya (kecuali saat berhenti di stasiun).
Sejak tragedi Torowek yang menimpa KA gabungan Galuh dan Kahuripan, untuk menghindari kejadian serupa, semua KA, baik yang akan ke timur maupun barat, diwajibkan berhenti di Stasiun Cipeundeuy. Kewajiban berhenti ini untuk pemeriksaan rem karena jalur setelah stasiun Cipeundeuy, merupakan petak yang cukup terjal naik-turunnya.
“Sejak Belanda telah diperintahkan, bahwa setiap kereta api diwajibkan berhenti di stasiun ini. Waktu itu bukan untuk menaikkan dan menurunkan penumpang, melainkan untuk pemeriksaan rem atau penambahan lokomotif dengan lama istirahat sekitar 2 jam,” Kata Mamat seorang sesepuh Desa Cipeundeuy.
Saat ini, pemberhentian di Stasiun Cipeundeuy bukan sekadar berfungsi sebagai check point. Di stasiun ini juga berfungsi mengangkut maupun menurunkan penumpang. Dalam waktu sekitar 10-15 menit, KA yang berhenti untuk dilakukan pemeriksaan oleh petugas stasiun, terutama pada bagian rem dan temperatur dengan menggunakan laser.
Sumber: Wikipedia dan berbagai sumber.
Menurut catatan sejarah, stasiun ini didirikan sekitar tahun 1893-an oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Nama stasiun sesuai dengan nama kampung tempat stasiun ini berada, Cipeundeuy. Stasiun ini memiliki tiga jalur dengan jalur 1 sebagai kereta lurus.
Walaupun fisik bangunan stasiun ini terlihat hanya sebagai stasiun kecil, namun semua kereta api (KA) yang melintas jalur selatan, baik itu kelas eksekutif, bisnis, ataupun ekonomi, diwajibkan berhenti di stasiun ini. Sejak zaman penjajahan Belanda pun sudah diperintahkan, bahwa di Stasiun Cipeundeuy semua kereta harus berhenti.
Namun, beberapa orang di sekitar stasiun kerap kali menghubungkannya dengan hal-hal mistik. Apalagi, di sepanjang jalan kereta api antara stasiun Ciawi, Cirahayu, Cipeundey, hingga ke Stasiun Bumiwaluya kerap kali terjadi kecelakaan maut dan merenggut korban jiwa.
Pada zaman kareta api masih memakai lokomotif berbahan bakar batu bara, kerap terjadi kecelakaan aneh,seperti lokomotif maupun gerbong anjlok, terguling, bahkan gerbong terputus. Sempat terjadi lokomotif mundur lagi ke jembatan Torowek atau Stasiun Cirahayu di sekitar Kampung Wage, tanpa sebab yang jelas.
Sampai-sampai, pengelola stasiun dan warga sepakat, banyaknya terjadi kecelakaan ini harus diantisipasi dengan meruwat atau mengganti nama stasiun di sepanjang jalur tersebut. Dalam catatan sejarah nama-nama stasion itu sempat diganti, misalnya Stasiun Malangbong menjadi Stasiun Bumi Waluya. Begitu juga Stasiun Torowek diubah menjadi Stasiun Cirahayu. Pada tahun 1960-an, sempat ada sesepuh kampung setempat menganjurkan rituan menyembelih kerbau bule di lokasi. Bahkan disertai dengan ruatan wayang golek.
Namun ketika masa berubah, lokomotif menggunakan mesin disel, peristiwa-peristiwa aneh pun, ternyata masih kerap terjadi. Di antaranya pada 1995,terjadi kecelakaan Kereta Api (KA) gabungan Galuh dan Kahuripan, pada tengah malam atau yang dikenal dengan tragedi Torowek. Kereta gabungan yang baru berangkat dari Stasiun Cipeundeuy, saat melintas di jembatan Torowek, tiba-tiba terperosok ke dalam jurang.
Kejadian nahas itu terjadi kala lokomotif Kereta Api (KA) Galuh relasi Pasar Senen-Banjar mengalami kerusakan di Stasiun Cibatu dan harus menunggu perbaikan. Akhirnya, demi meminimalisir waktu keterlambatan, KA Galuh digandengkan dengan KA Kahuripan relasi Bandung – Kediri. Setelah selesai digabungkan, rangkaian ini pun berjalan dengan formasi 2 Lokomotif + 13 K3.
Sekitar pukul 00.03 WIB saat akan mendekati stasiun Torowek (Sekarang Cirahayu), kedua KA yang digabungkan tersebut mengalami masalah pada sistem pengereman yang diperkirakan berasal dari rangkaian KA Kahuripan. Akibatnya, kedua kereta ini semakin lama, semakin melaju kencang sehingga kecelakaan dahsyat atau Peristiwa Luarbiasa Hebat (PLH) tersebut tak terhindarkan.
Kecelakaan rangkaian KA terjadi saat sampai pada lokasi di km 241 atau tepat di tikungan jembatan sungai Cirahayu (Torowek) yang panjangnya sekitar 100 m. Lokasi kejadian memiliki bentuk jalan rel yang menikung sekaligus turunan.
Kecelakaan tersebut terjadi diduga karena kecepatan KA yang terlalu tinggi dan rem kereta yang tidak berfungsi. Akibatnya, rangkaian KA ini anjlok dan terguling ke sisi kanan dan kiri rel, kemudian terperosok ke dalam jurang.
4 unit kereta terlempar ke bagian kanan rel dengan kereta terakhir berada di bawah jurang sedalam 10 m. Sedangkan 3 unit kereta lain masih berada di atas rel. 5 unit kereta yang selamat dan tidak anjlok maupun terlempar berhasil dievakuasi ke Stasiun Cibatu. Sedikitnya 14 penumpang meninggal dalam kejadian tersebut.
Menurut seorang ahli geologi, Van Bemmelen dalam bukunya, The Geology of Indonesia (1949), daerah Jawa Barat bagian selatan merupakan daerah dengan barisan gunung vulkanik. Tidak heran jika jalur kereta api di daerah ini terkenal berkelok dan naik-turun. Alhasil, laju kereta tidak bisa kencang.
Khusus jalur kereta yang menghubungkan Bandung-Tasikmalaya dikenal sebagai salah satu jalur ekstrem. Dari Tasikmalaya sampai Bandung masinis harus waspada, salah sedikit kereta akan tergelincir atau menghantam punggung gunung. Kondisi semakin berat jika hujan sedang turun.
Sejak dari Stasiun Ciawi, kereta api akan melalui Tanjakan terjal sampai Stasiun Cipeundeuy, kemudian turunan curam akan menghadang dari Stasiun Cipeundeuy sampai Stasiun Cibatu. Kemudian menanjak lagi sampai Stasiun Nagreg (stasiun tertinggi di Indonesia yang masih aktif) dan akhirnya meluncur di turunan yang tak kalah curam sampai Stasiun Cicalengka.
Saking ekstremnya, jalur ini menjadi jalur untuk ‘Meng-Ospek’ lokomotif baru yang akan berdinas di pulau Jawa. Di jalur ini tidak ada kata istirahat bagi kereta yang sedang melaluinya (kecuali saat berhenti di stasiun).
Sejak tragedi Torowek yang menimpa KA gabungan Galuh dan Kahuripan, untuk menghindari kejadian serupa, semua KA, baik yang akan ke timur maupun barat, diwajibkan berhenti di Stasiun Cipeundeuy. Kewajiban berhenti ini untuk pemeriksaan rem karena jalur setelah stasiun Cipeundeuy, merupakan petak yang cukup terjal naik-turunnya.
“Sejak Belanda telah diperintahkan, bahwa setiap kereta api diwajibkan berhenti di stasiun ini. Waktu itu bukan untuk menaikkan dan menurunkan penumpang, melainkan untuk pemeriksaan rem atau penambahan lokomotif dengan lama istirahat sekitar 2 jam,” Kata Mamat seorang sesepuh Desa Cipeundeuy.
Saat ini, pemberhentian di Stasiun Cipeundeuy bukan sekadar berfungsi sebagai check point. Di stasiun ini juga berfungsi mengangkut maupun menurunkan penumpang. Dalam waktu sekitar 10-15 menit, KA yang berhenti untuk dilakukan pemeriksaan oleh petugas stasiun, terutama pada bagian rem dan temperatur dengan menggunakan laser.
Sumber: Wikipedia dan berbagai sumber.
(wib)