Kesenian Kuda Lumping Suku Jawa Berkembang di Pangandaran
A
A
A
PANGANDARAN - Kesenian tradisional kuda lumping yang berasal dari suku Jawa memiliki eksistensi kuat di Pangandaran. Hal ini menandakan kehidupan sosial suku Jawa dan Sunda di Pangandaran terjalin baik.
Kepala Bidang Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pemberdayaan Lembaga Kemasyarakatan Lembaga Adat dan Masyarakat Hukum Adat Dinas Sosial Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Erik Krisnayudha Astrawijaya Saputra mengatakan, kesenian kuda lumping datang ke Pangandaran dari suku Jawa melalui daerah Cirebon.
"Kesenian tradisional kuda lumping ini banyak berkembang di daerah perbatasan suku Sunda dengan suku Jawa seperti Kecamatan Mangunjaya, Kecamatan Kalipucang dan Kecamatan Pangandaran," kata Erik.
Erik menambahkan, kesenian kuda lumping lebih akrab dan dikenal oleh masyarakat dengan sebutan ebeg.
Dalam gelarannya kesenian ebeg sangat simpel untuk dipentaskan dalam pertunjukan acara resepsi seperti pesta pernikahan, khitanan dan beberapa acara yang melibatkan banyak orang.
"Karena pertunjukan ebeg lebih simpel arenanya, banyak warga yang minat untuk mementaskan kesenian tradisional ini jika dibandingkan dengan kesenian tradisional lainnya," tambah Erik.
Lebih lanjut dijelaskan Erik, keunikan dari pementasan kesenian tradisional ebeg diantaranya adegan tarian orang yang menunggangi poperti kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu yang dirias layaknya kuda beneran.
"Adegan pertunjukan ebeg tersebut mengkalaborasikan antara bunyi musik gambelan tradisional dengan gerakan drama yang mengandung unsur magis sehingga para pemain akan kehilangan kesadaran seolah dikendalikan roh halus, adegan tersebut biasa disebut meundeum," jelasnya.
Wito (50), salah satu Pimpinan kesenian ebeg sanggar Witmisulastri Lingkung Seni Setia Muda Budaya Dusun Kedungrejo, Desa Wonoharjo, Kecamatan Pangandaran mengatakan, kesenian tersebut masih tetap dilestarikan oleh komunitas suku Jawa yang saat ini berdomisili di Kabupaten Pangandaran.
"Sanggar ini dibentuk pada tahun 2004 lantaran kekhawatiran kami jika tidak dikembangkan akan punah," kata Wito.
Wito menambahkan, nilai jual yang disajikan kepada penonton dari gelaran kesenian ebeg diantaranya saat para penari dalam kondisi meundeum pemain melakukan adegan yang mengejutkan penonton seperti, memakan kaca, mengupas buah kelapa menggunakan gigi dan menirukan gaya gerakan binatang.
"Keunikan itulah yang hingga saat ini tetap kita lestarikan sehingga minat masyarakat untuk menonton kesenian tradisional ini tetap bertahan," pungkas Wito.
Kepala Bidang Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pemberdayaan Lembaga Kemasyarakatan Lembaga Adat dan Masyarakat Hukum Adat Dinas Sosial Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Erik Krisnayudha Astrawijaya Saputra mengatakan, kesenian kuda lumping datang ke Pangandaran dari suku Jawa melalui daerah Cirebon.
"Kesenian tradisional kuda lumping ini banyak berkembang di daerah perbatasan suku Sunda dengan suku Jawa seperti Kecamatan Mangunjaya, Kecamatan Kalipucang dan Kecamatan Pangandaran," kata Erik.
Erik menambahkan, kesenian kuda lumping lebih akrab dan dikenal oleh masyarakat dengan sebutan ebeg.
Dalam gelarannya kesenian ebeg sangat simpel untuk dipentaskan dalam pertunjukan acara resepsi seperti pesta pernikahan, khitanan dan beberapa acara yang melibatkan banyak orang.
"Karena pertunjukan ebeg lebih simpel arenanya, banyak warga yang minat untuk mementaskan kesenian tradisional ini jika dibandingkan dengan kesenian tradisional lainnya," tambah Erik.
Lebih lanjut dijelaskan Erik, keunikan dari pementasan kesenian tradisional ebeg diantaranya adegan tarian orang yang menunggangi poperti kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu yang dirias layaknya kuda beneran.
"Adegan pertunjukan ebeg tersebut mengkalaborasikan antara bunyi musik gambelan tradisional dengan gerakan drama yang mengandung unsur magis sehingga para pemain akan kehilangan kesadaran seolah dikendalikan roh halus, adegan tersebut biasa disebut meundeum," jelasnya.
Wito (50), salah satu Pimpinan kesenian ebeg sanggar Witmisulastri Lingkung Seni Setia Muda Budaya Dusun Kedungrejo, Desa Wonoharjo, Kecamatan Pangandaran mengatakan, kesenian tersebut masih tetap dilestarikan oleh komunitas suku Jawa yang saat ini berdomisili di Kabupaten Pangandaran.
"Sanggar ini dibentuk pada tahun 2004 lantaran kekhawatiran kami jika tidak dikembangkan akan punah," kata Wito.
Wito menambahkan, nilai jual yang disajikan kepada penonton dari gelaran kesenian ebeg diantaranya saat para penari dalam kondisi meundeum pemain melakukan adegan yang mengejutkan penonton seperti, memakan kaca, mengupas buah kelapa menggunakan gigi dan menirukan gaya gerakan binatang.
"Keunikan itulah yang hingga saat ini tetap kita lestarikan sehingga minat masyarakat untuk menonton kesenian tradisional ini tetap bertahan," pungkas Wito.
(nag)