Perang Dayak Desa dan Tewasnya Perwira Senior Jepang
A
A
A
Suku Dayak Desa adalah suku Dayak yang hidup di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Pada masa Kolonial Belanda, ada sebuah perang yang bernama Perang Majang Desa. Perang ini dipimpin oleh Pang Suma.
Dalam catatan penulis Belanda, diketahui benteng Belanda yang letaknya di Sintang dan Sanggau selalu mendapat serangan tanpa henti dari Orang Dayak, sehingga terpaksa mereka tinggalkan dan bertahan di Pontianak.
Selanjutnya, pada awal pendudukan Jepang di Kalimantan Barat, dua buah perusahaan masuk ke Kalimantan Barat, yakni Nomura di bidang pertambangan dan Sumitomo di bidang perkayuan.
Sistem romusha atau kerja paksa yang diterapkan oleh Jepang, banyak yang mati karena perusahaan perkayuan ini.
Jepang mempekerjakan secara paksa orang untuk menebang pohon dan merakitkan kayu dan dihilirkan entah kemana.
Begitu juga di bidang pertambangan, di lokasi pertambangan itu ada sekitar 10.000 orang dan di daerah sekitarnya, yaitu wilayah Batu Tungau, ada sekitar 70.000 orang yang bekerja disana, terbanyak adalah Orang Dayak.
Selain itu pula, tepatnya berkenaan dengan Peristiwa Mandor, pada tanggal 23 April 1943 banyak panembahan dan sultan-sultan di Kalimantan Barat banyak yang ditangkap.
Ada pun, Sultan Pontianak dan Panembahan Mempawah saja yang dilepaskan, sesudahnya mereka ditangkap dan tak pernah kembali lagi. Ini membuat warga Dayak benci pada Jepang. Sultan Pontianak mati dalam penjara, sedangkan anaknya, Pangeran Agung dan Pangeran Adipati dipenggal kepalanya.[6]
Pada tanggal 13 Mei 1945, anak perempuan Pang Linggan (seorang tokoh masyarakat Dayak Desa), hendak dinikai oleh seorang mandor Jepang bernama Osaki dari pekerja paksa pemotong kayu di Labea Sikucing di daerah Mendawak, sekarang di Tayan Hilir.
Namun perkawinan ini dilarang oleh Pang Linggan. Pada saat itu, mereka sedang kerja paksa, mengerjakan kayu di Labea Sikucing. Osaki marah dan mengancam kan memancung kepala Pang Linggan.
Sehingga, daripada dibunuh duluan oleh pihak Jepang, lebih baik membunuh duluan. Rakyat yang tak tahan diinjak-injak dan ditindas Jepang, maka mereka bangkit melawan Jepang dengan pimpinan Pang Suma dan Pang Linggan.
Menurut catatan Syafaruddin Usman dan Isnawita Din, dua orang sejarawan Kalimantan Barat, mereka menuturkan Perang Dayak Desa berawal dari Peristiwa Suak Garong.
Kejadian ini bermula dari pekerja-pekerja perusahaan kayu SSKK (Sumitomo Shokusan Kabushiki Kaisan) dan KKK yang tidak mendapat upah yang layak.
Adapun pada masa itu, sebagian Orang Dayak yang beruntung mendapat jabatan mandor atau pengawas. Lebih dari itu, mandor ini diperalat dan disuruh untuk menjadi mata-mata buruh-buruh kasar.
Buruh-buruh kasar itu dilarang pulang untuk bertemu anak-istri. Sehingga pada suatu hari, beberapa orang pekerja pulang ke rumah masing-masing karena tak mampu bekerja dikarenakan kelaparan.
Mandornya pada saat itu adalah Orang Jepang, namanya Yamamoto. Ia digelari Tuan Pentong oleh warga sekitar. Yamamoto tahu, sehingga ia mendatangi kampung itu dan memukuli siapa saja yang ia temui.
Namun, yang ada di kampung itu adalah Pang Rontoi yang membalas saat dipukuli Yamamoto.
Peristiwa pemukulan itu dilaporkan oleh Pang Rontoi kepada Pang Dadan, tumenggung kampung tersebut sambil menyiapkan strategi untuk bersiap-siap sambil bermufakat, akan menyerang Osaki.
Esok harinya, Pang Linggan, Pang Suma, dan sekelompok tokoh masyarakat lainnya menemui Osaki. Secara tiba-tiba, Osaki menyerang mereka. Ia berkelahi dengan Pang Suma dan Pang Linggan dan Osaki tewas.
Pihak Jepang kaget. Mereka tidak mengira bahwa rakyat pedalaman yang tidak tahu teknik dan teknologi persenjataan modern dapat mengalahkan tentara Jepang yang memakai teknik dan perlengkapan modern.
Pertempuran pecah di perusahaan kayu, suku-suku Dayak dari Ketapang, hingga Sekadau berkumpul berkenaan panggilan dari mangkok merah. Beredarnya mangkok merah ini sebagai pertanda melawan Jepang.
Ribuan rakyat datang dan berunding untuk persiapan melawan Jepang. Ditambah dengan pembunuhan Soetsogi, yang dilakukan pekerja hutan perladangan durian Pampang Sansat menambah kenyataan bahwa Jepang adalah musuh yang perlu ditumpas.
Peristiwa pembunuhan ini tersebar ke Pontianak, khawatir perlawanan ini tersebar ke wilayah lain, Pemerintah Jepang segera mengirimkan ekspedisi ke Meliau. Ekspedisi ini dipimpin oleh seorang perwira senior, Letnan Takeo Nagatani.
Sementara setelah para pemuka adat segera mengirimkan Mangkok Merah sebagai pertanda melawan Jepang. Para pekerja yang bekerja di perusahaan kayu Nitinan segera diperintahkan untuk meninggalkan perusahaan tersebut.
Di Tayan, Nagatani menghubungi dan meminta keterangan Bunken Kanrikan Miagi. Dari Tayan ke Meliau menelusuri Sungai Embuan menuju Tanjak Mulung.
Perjalanan ekspedisinya ini ke Sungai Embuan bertujuan untuk menumpas gerakan rakyat.
Sementara itu, rakyat sudah mengatur strategi pertahanan kekuatan di Suak Tiga Belas. Sehingga sesampai ekspedisi Jepang tiba di Umbuan Kunyil, mereka mendapat serangan dari rakyat dipimpin oleh Pang Suma, Pang Rati, Pang Iyo, dan Djampi. Dalam serangan ini, Letnan Nagatani tewas dibunuh oleh Pang Suma.
Terbunuhnya Nagatani terjadi pada saat dia melakukan ekspedisi ke hulu Sungai Kapuas. Terbunuhnya Nagatani membuat pejabat militer Jepang terheran, karena Nagatani dikenal sebagai perwira yang cakap dan tangguh, ternyata tidaklah mampu melawan serangan senjata tradisional orang-orang Dayak pedalaman yang dipimpin oleh Pang Suma.
Sebelumnya, anak buah Nagatani melepaskan peluru ke arah Pang Suma, namun Pang Suma berhasil lolos dan bersama Djampi berhasil menghabisi rombongan ekspedisi Nagatani yang tersisa.
Selanjutnya, pada 24 Juni 1945, Pang Suma atau disebut juga Panglima Menera memasuki Meliau. Meliau sendiri berhasil direbut pada 30 Juni 1945.
Pada tanggal 17 Juli 1945, Pang Suma memerintahkan agar Meliau dipertahankan habis-habisan. Pertempuran pecah, pada saat itu ia sedang didampingi beberapa panglima adat lain.
Dalam pertempuran itu Pang Suma tertembak pangkal paha kirinya. Tak lama kemudian, di sekitar Kantor Guntyo Meliau Panglima Ajun dan Pang Linggan tertembak dengan luka yang parah.
Karena luka parah banyak pemimpin perjuangan perang Suku Dayak yang tewas termasuk Pang Suma. Hingga akhirnya pada 17 Juli 1945 hingga 31 Agustus 1945, Maliau kembali dikuasai Jepang.
Sumber:
wikipedia
perjuanganpahlawankalbar
diolah dari berbagai sumber
Dalam catatan penulis Belanda, diketahui benteng Belanda yang letaknya di Sintang dan Sanggau selalu mendapat serangan tanpa henti dari Orang Dayak, sehingga terpaksa mereka tinggalkan dan bertahan di Pontianak.
Selanjutnya, pada awal pendudukan Jepang di Kalimantan Barat, dua buah perusahaan masuk ke Kalimantan Barat, yakni Nomura di bidang pertambangan dan Sumitomo di bidang perkayuan.
Sistem romusha atau kerja paksa yang diterapkan oleh Jepang, banyak yang mati karena perusahaan perkayuan ini.
Jepang mempekerjakan secara paksa orang untuk menebang pohon dan merakitkan kayu dan dihilirkan entah kemana.
Begitu juga di bidang pertambangan, di lokasi pertambangan itu ada sekitar 10.000 orang dan di daerah sekitarnya, yaitu wilayah Batu Tungau, ada sekitar 70.000 orang yang bekerja disana, terbanyak adalah Orang Dayak.
Selain itu pula, tepatnya berkenaan dengan Peristiwa Mandor, pada tanggal 23 April 1943 banyak panembahan dan sultan-sultan di Kalimantan Barat banyak yang ditangkap.
Ada pun, Sultan Pontianak dan Panembahan Mempawah saja yang dilepaskan, sesudahnya mereka ditangkap dan tak pernah kembali lagi. Ini membuat warga Dayak benci pada Jepang. Sultan Pontianak mati dalam penjara, sedangkan anaknya, Pangeran Agung dan Pangeran Adipati dipenggal kepalanya.[6]
Pada tanggal 13 Mei 1945, anak perempuan Pang Linggan (seorang tokoh masyarakat Dayak Desa), hendak dinikai oleh seorang mandor Jepang bernama Osaki dari pekerja paksa pemotong kayu di Labea Sikucing di daerah Mendawak, sekarang di Tayan Hilir.
Namun perkawinan ini dilarang oleh Pang Linggan. Pada saat itu, mereka sedang kerja paksa, mengerjakan kayu di Labea Sikucing. Osaki marah dan mengancam kan memancung kepala Pang Linggan.
Sehingga, daripada dibunuh duluan oleh pihak Jepang, lebih baik membunuh duluan. Rakyat yang tak tahan diinjak-injak dan ditindas Jepang, maka mereka bangkit melawan Jepang dengan pimpinan Pang Suma dan Pang Linggan.
Menurut catatan Syafaruddin Usman dan Isnawita Din, dua orang sejarawan Kalimantan Barat, mereka menuturkan Perang Dayak Desa berawal dari Peristiwa Suak Garong.
Kejadian ini bermula dari pekerja-pekerja perusahaan kayu SSKK (Sumitomo Shokusan Kabushiki Kaisan) dan KKK yang tidak mendapat upah yang layak.
Adapun pada masa itu, sebagian Orang Dayak yang beruntung mendapat jabatan mandor atau pengawas. Lebih dari itu, mandor ini diperalat dan disuruh untuk menjadi mata-mata buruh-buruh kasar.
Buruh-buruh kasar itu dilarang pulang untuk bertemu anak-istri. Sehingga pada suatu hari, beberapa orang pekerja pulang ke rumah masing-masing karena tak mampu bekerja dikarenakan kelaparan.
Mandornya pada saat itu adalah Orang Jepang, namanya Yamamoto. Ia digelari Tuan Pentong oleh warga sekitar. Yamamoto tahu, sehingga ia mendatangi kampung itu dan memukuli siapa saja yang ia temui.
Namun, yang ada di kampung itu adalah Pang Rontoi yang membalas saat dipukuli Yamamoto.
Peristiwa pemukulan itu dilaporkan oleh Pang Rontoi kepada Pang Dadan, tumenggung kampung tersebut sambil menyiapkan strategi untuk bersiap-siap sambil bermufakat, akan menyerang Osaki.
Esok harinya, Pang Linggan, Pang Suma, dan sekelompok tokoh masyarakat lainnya menemui Osaki. Secara tiba-tiba, Osaki menyerang mereka. Ia berkelahi dengan Pang Suma dan Pang Linggan dan Osaki tewas.
Pihak Jepang kaget. Mereka tidak mengira bahwa rakyat pedalaman yang tidak tahu teknik dan teknologi persenjataan modern dapat mengalahkan tentara Jepang yang memakai teknik dan perlengkapan modern.
Pertempuran pecah di perusahaan kayu, suku-suku Dayak dari Ketapang, hingga Sekadau berkumpul berkenaan panggilan dari mangkok merah. Beredarnya mangkok merah ini sebagai pertanda melawan Jepang.
Ribuan rakyat datang dan berunding untuk persiapan melawan Jepang. Ditambah dengan pembunuhan Soetsogi, yang dilakukan pekerja hutan perladangan durian Pampang Sansat menambah kenyataan bahwa Jepang adalah musuh yang perlu ditumpas.
Peristiwa pembunuhan ini tersebar ke Pontianak, khawatir perlawanan ini tersebar ke wilayah lain, Pemerintah Jepang segera mengirimkan ekspedisi ke Meliau. Ekspedisi ini dipimpin oleh seorang perwira senior, Letnan Takeo Nagatani.
Sementara setelah para pemuka adat segera mengirimkan Mangkok Merah sebagai pertanda melawan Jepang. Para pekerja yang bekerja di perusahaan kayu Nitinan segera diperintahkan untuk meninggalkan perusahaan tersebut.
Di Tayan, Nagatani menghubungi dan meminta keterangan Bunken Kanrikan Miagi. Dari Tayan ke Meliau menelusuri Sungai Embuan menuju Tanjak Mulung.
Perjalanan ekspedisinya ini ke Sungai Embuan bertujuan untuk menumpas gerakan rakyat.
Sementara itu, rakyat sudah mengatur strategi pertahanan kekuatan di Suak Tiga Belas. Sehingga sesampai ekspedisi Jepang tiba di Umbuan Kunyil, mereka mendapat serangan dari rakyat dipimpin oleh Pang Suma, Pang Rati, Pang Iyo, dan Djampi. Dalam serangan ini, Letnan Nagatani tewas dibunuh oleh Pang Suma.
Terbunuhnya Nagatani terjadi pada saat dia melakukan ekspedisi ke hulu Sungai Kapuas. Terbunuhnya Nagatani membuat pejabat militer Jepang terheran, karena Nagatani dikenal sebagai perwira yang cakap dan tangguh, ternyata tidaklah mampu melawan serangan senjata tradisional orang-orang Dayak pedalaman yang dipimpin oleh Pang Suma.
Sebelumnya, anak buah Nagatani melepaskan peluru ke arah Pang Suma, namun Pang Suma berhasil lolos dan bersama Djampi berhasil menghabisi rombongan ekspedisi Nagatani yang tersisa.
Selanjutnya, pada 24 Juni 1945, Pang Suma atau disebut juga Panglima Menera memasuki Meliau. Meliau sendiri berhasil direbut pada 30 Juni 1945.
Pada tanggal 17 Juli 1945, Pang Suma memerintahkan agar Meliau dipertahankan habis-habisan. Pertempuran pecah, pada saat itu ia sedang didampingi beberapa panglima adat lain.
Dalam pertempuran itu Pang Suma tertembak pangkal paha kirinya. Tak lama kemudian, di sekitar Kantor Guntyo Meliau Panglima Ajun dan Pang Linggan tertembak dengan luka yang parah.
Karena luka parah banyak pemimpin perjuangan perang Suku Dayak yang tewas termasuk Pang Suma. Hingga akhirnya pada 17 Juli 1945 hingga 31 Agustus 1945, Maliau kembali dikuasai Jepang.
Sumber:
wikipedia
perjuanganpahlawankalbar
diolah dari berbagai sumber
(nag)