Buya AR Sutan Mansur, sang Pendobrak dari Maninjau

Sabtu, 26 November 2016 - 05:00 WIB
Buya AR Sutan Mansur,...
Buya AR Sutan Mansur, sang Pendobrak dari Maninjau
A A A
Ahmad Rasyid Sutan Mansur memiliki sikap antipenjajah. Dia menentang Jepang yang berusaha menghalangi pelaksanaan salat karena mengadakan pertemuan jelang Magrib. Berikut kisahnya.

Mantan ketua umum PP Muhammadiyah ini lahir di Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 15 Desember 1895. Dia adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara, buah hati Abdul Somad al-Kusaij, seorang ulama terkenal di Maninjau, dan Siti Abbasiyah atau dikenal dengan sebutan Uncu Lampur.

Ahmad Rasyid memperoleh pendidikan dan penanaman nilai-nilai dasar keagamaan dari kedua orangtuanya. Selain itu, untuk pendidikan umum, ia belajar di Inlandshe School (IS) tahun 1902-1909.

Setamat dari sekolah ini, ia ditawari untuk studi di Kweekschool (Sekolah Guru, yang juga biasa disebut Sekolah Raja) di Bukittinggi dengan beasiswa dan jaminan pangkat guru setelah lulus sekolah tersebut. Namun, tawaran tersebut ditolak karena ia lebih tertarik untuk mempelajari agama. Selain itu, dia sudah dirasuki semangat antipenjajah Belanda.

Selanjutnya, atas saran gurunya, Tuan Ismail (Dr. Abu Hanifah), ia belajar kepada Haji Rasul (Dr. Abdul Karim Amrullah, ayahnya Buya HAMKA), seorang tokoh pembaharu Islam di Minangkabau. Di bawah bimbingan Haji Rasul (1910-1917) ia belajar ilmu tauhid, bahasa Arab, ilmu kalam, mantiq, tarikh, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti syariat, tasawuf, Alquran, tafsir, dan hadis.

Pada tahun 1917, dia diambil menantu oleh gurunya, Karim Amrullah, dan dikawinkan dengan putri sulungnya, Fatimah, kakak Buya HAMKA. Dia diberi gelar Sutan Mansur. Setahun kemudian dia dikirim gurunya ke Kuala Simpang, Aceh untuk mengajar. Setelah mengajar di Kuala Simpang (1918-1919), ia kembali ke Maninjau.

Terjadinya pemberontakan melawan Inggris di Mesir menghambat cita-citanya melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar Kairo. Akhirnya, dia berangkat ke Pekalongan untuk berdagang dan menjadi guru agama bagi para perantau dari Sumatera dan kaum muslim lainnya.

Pada tahun 1922, Sutan Mansur bertemu dengan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Tokoh karismatik ini datang ke Pekalongan guna mengadakan tabligh Muhammadiyah.

Peristiwa tersebut ternyata mengubah perjalanan hidup Sutan Mansur. Dia begitu terkesan dengan kefasihan KH Ahmad Dahlan dalam menjelaskan berbagai persoalan agama. Kepribadiannya yang lembut, bersahaja, serta rendah hati semakin menumbuhkan simpati dari banyak orang, termasuk Sutan Mansur.

Dari KH Ahmad Dahlan, Sutan Mansur banyak menimba pengetahuan mengenai Muhammadiyah. Pada tahun yang sama, dia menjadi anggota Muhammadiyah dan sekaligus berkenalan dengan sejumlah tokoh Muhammadiyah semisal KH AR Fakhruddin dan KH Mas Mansur.

Fikrul Hanif Sufyan dalam artikel berjudul 'In Memoriam Buya Sutan Mansur' yang dimuat dalam https://talogondan.wordpress.com menuliskan, melihat potensi dan bakat kepemimpinan Sutan Mansur, KH Ahmad Dahlan kemudian mengangkatnya sebagai ketua Cabang Muhammadiyah Pekalongan.

Perkembangan dan kemajuan Muhammadiyah di Minangkabau mendapat perhatian khusus dari Pengurus Besar (PB) Muhammadiyah Yogyakarta. Maka, pada akhir tahun 1926, PB Muhammadiyah mengutus Sutan Mansur untuk mengawal perkembangan persyarikatan agar tidak melenceng ke arah yang tidak dikehendaki.

Kedatangan Sutan Mansur di Minangkabau, ternyata makin memperbesar pengaruh Muhammadiyah di daerah itu. Penyebaran Muhammadiyah yang dilakukan Sutan Mansur melalui pengajian-pengajian, telah sesuai dengan metode dakwah, yakni penuh kelembutan, tegas, dan tidak menyinggung perasaan si pendengar.

Menurut Fikrul, bagi warga Muhammadiyah, Sutan Mansur yang menjadi ketua umum PP Muhammadiyah sejak 1953-1959 ini dianggap sebagai pendobrak, sekaligus penyebar organisasi sosial keagamaan ini di Tanah Air.

Sutan Mansur juga dikenal dengan sikap antipenjajah. Baginya, penjajahan tidak saja sangat bertentangan dengan fitrah manusia. Penjajah, menurutnya, seringkali berupaya menghadang dan mempersempit gerak syiar agama Islam secara langsung dan terang-terangan atau secara tidak langsung dan tersembunyi.

Maka, tidak mengherankan bila pada tahun 1928 ia berada di barisan depan dalam menentang upaya pemerintah Belanda menjalankan peraturan Guru Ordonansi yaitu guru-guru agama Islam dilarang mengajar sebelum mendapat surat izin mengajar dari Pemerintah Belanda.

Peraturan ini dalam pandangan sosok yang dikenal dengan sapaan Buya Tuo tersebut, akan melenyapkan kemerdekaan menyiarkan agama dan pemerintah Belanda akan berkuasa sepenuhnya dengan memakai ulama-ulama yang tidak mempunyai pendirian hidup.

Sikap yang sama juga ia perlihatkan ketika Jepang berikhtiar agar murid-murid tidak berpuasa dan bermaksud menghalangi pelaksanaan salat dengan mengadakan pertemuan di waktu menjelang Maghrib.

Sosok yang juga pernah menjadi penasihat agama saat Bung Karno diasingkan ke Bengkulu pada 1938 ini meninggal pada hari Senin 25 Maret 1985 bertepatan 3 Rajab 1405 di Rumah Sakit Islam Jakarta dalam usia 90 tahun.

Jenazah mantan guru Agama Islam buat Tentara Nasional Indonesia Komandemen Sumatera ini dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan.

Sumber: id.wikipedia.org, muhammadiyah.or.id, dan https://talogondan.wordpress.com.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1843 seconds (0.1#10.140)