Kegigihan Rahma Bocah yang Cacat Fisik dan Tak Diakui Orangtua
A
A
A
PATI - Keterbatasan fisik tidak membuat Rahmawati (6) bocah asal Dukuh Pojok, Desa Sidomulyo, Kecamatan Jakenan, Pati, Jawa Tengah, ini minder. Meski hanya mempunyai satu kaki, dia tetap bermain dan sekolah seperti anak-anak seumurannya.
Sejak usia empat bulan, Rahma diasuh nenek dan kakeknya, Warni (65) dan Saryo (85) karena kedua orangtuanya, Suwarni dan Muryono sudah tidak menginginkannya lagi. Rahma tidak diakui orangtuanya karena lahir dengan kondisi cacat. Hanya mempunyai kaki kiri.
Kakek dan neneknya memang sudah berusia renta. Untuk bertahan hidup sehari-hari, keduanya bekerja serabutan. Warni bekerja menjadi kuli tani. Sementara itu Saryo memelihara kambing yang saat ini tinggal dua ekor. Mereka berdua harus tetap semangat merawat Rahma.
Kini, Rahma duduk di Kelas I SDN III Sidomulyo. Rahma menjadi siswa yang sangat pintar dan mempunyai kemampuan di atas rata-rata. Dia sangat semangat pergi sekolah. Jarak sekolah yang cukup jauh membuat neneknya tidak tega membiarkannya pergi sekolah sendirian. Untuk itu, neneknya harus mengantar dan menungguinya saat belajar di dalam kelas.
Saat menunggui, sang nenek, Warni, tidak mau diam. Dia kerap membantu menyapu halaman sekolah. Hal itu menjadikannya diangkat menjadi tukang kebun di sekolah itu. Dengan harapan mendapat uang tambahan.
“Ya harus bagaimana lagi. Keadaannya sudah seperti ini. Sejak usia empat bulan, dititipi menantu saya untuk merawat Rahma dengan alasan ingin merantau. Namun setelah itu tidak ada kabar lagi. Belakangan saya mendapat kabar ibu Rahma menikah lagi dengan orang Gunungwungkal,” ujar Warni.
Sementara itu, anaknya, Muryono bekerja di kapal dan jarang pulang. Kalaupun pulang Pati memilih tinggal dengan saudaranya. Mungkin karena minder mempunyai anak yang hanya mempunyai satu kaki. Maryono pernah beberapa kali mendatangi anaknya itu dan memberi uang.
Warni bercerita, Rahma merupakan bocah yang cukup nalar untuk anak seusianya. Uang sakunya ditabung. Misalnya sehari uang saku Rahma Rp4 ribu, ditabung Rp2 ribu. Dalam setahun, tabungannya terkumpul Rp800 ribu. Cucunya itu juga tidak pernah sakit dan jarang rewel.
“Terkadang, saya menangis kalau membayangkan bagaimana nanti kalau sudah meninggal. Siapa yang akan merawatnya. Pernah saya berkata kepada Rahma, bagaimana kalau nanti meninggal. Saya kaget karena dia menjawab ingin ikut meninggal juga,” tuturnya.
Selama ini sudah ada beberapa masyarakat yang peduli kepadanya. Dua tahun lalu, ada yang menyumbang tongkat. Namun Warni hanya kawatir dengan masa depan cucunya. Dia berharap ada yang membantunya membeli kendaraan roda tiga untuk orang yang disabilitas. Supaya Rahma bisa tetap sekolah hingga jenjang perguruan tinggi.
Sejak usia empat bulan, Rahma diasuh nenek dan kakeknya, Warni (65) dan Saryo (85) karena kedua orangtuanya, Suwarni dan Muryono sudah tidak menginginkannya lagi. Rahma tidak diakui orangtuanya karena lahir dengan kondisi cacat. Hanya mempunyai kaki kiri.
Kakek dan neneknya memang sudah berusia renta. Untuk bertahan hidup sehari-hari, keduanya bekerja serabutan. Warni bekerja menjadi kuli tani. Sementara itu Saryo memelihara kambing yang saat ini tinggal dua ekor. Mereka berdua harus tetap semangat merawat Rahma.
Kini, Rahma duduk di Kelas I SDN III Sidomulyo. Rahma menjadi siswa yang sangat pintar dan mempunyai kemampuan di atas rata-rata. Dia sangat semangat pergi sekolah. Jarak sekolah yang cukup jauh membuat neneknya tidak tega membiarkannya pergi sekolah sendirian. Untuk itu, neneknya harus mengantar dan menungguinya saat belajar di dalam kelas.
Saat menunggui, sang nenek, Warni, tidak mau diam. Dia kerap membantu menyapu halaman sekolah. Hal itu menjadikannya diangkat menjadi tukang kebun di sekolah itu. Dengan harapan mendapat uang tambahan.
“Ya harus bagaimana lagi. Keadaannya sudah seperti ini. Sejak usia empat bulan, dititipi menantu saya untuk merawat Rahma dengan alasan ingin merantau. Namun setelah itu tidak ada kabar lagi. Belakangan saya mendapat kabar ibu Rahma menikah lagi dengan orang Gunungwungkal,” ujar Warni.
Sementara itu, anaknya, Muryono bekerja di kapal dan jarang pulang. Kalaupun pulang Pati memilih tinggal dengan saudaranya. Mungkin karena minder mempunyai anak yang hanya mempunyai satu kaki. Maryono pernah beberapa kali mendatangi anaknya itu dan memberi uang.
Warni bercerita, Rahma merupakan bocah yang cukup nalar untuk anak seusianya. Uang sakunya ditabung. Misalnya sehari uang saku Rahma Rp4 ribu, ditabung Rp2 ribu. Dalam setahun, tabungannya terkumpul Rp800 ribu. Cucunya itu juga tidak pernah sakit dan jarang rewel.
“Terkadang, saya menangis kalau membayangkan bagaimana nanti kalau sudah meninggal. Siapa yang akan merawatnya. Pernah saya berkata kepada Rahma, bagaimana kalau nanti meninggal. Saya kaget karena dia menjawab ingin ikut meninggal juga,” tuturnya.
Selama ini sudah ada beberapa masyarakat yang peduli kepadanya. Dua tahun lalu, ada yang menyumbang tongkat. Namun Warni hanya kawatir dengan masa depan cucunya. Dia berharap ada yang membantunya membeli kendaraan roda tiga untuk orang yang disabilitas. Supaya Rahma bisa tetap sekolah hingga jenjang perguruan tinggi.
(sms)