Firdaus Bocah Penderita HIV/AIDS Merana Tanpa Keluarga
A
A
A
KUNINGAN - Sepeninggal kakeknya Hasanuri (67) bocah penderita HIV/AIDS Firdaus (9) warga Sindangagung, Kuningan hidup sebatangkara, terlunta-lunta tanpa ada yang mau merawat, apalagi memperhatikan penderitaannya. Sebelum akhirnya diselamatkan, sekaligus menjadi anak binaan para relawan HIV/AIDS Rumah Rampak Polah.
Saat Koran SINDO bertemu langsung dengan Firdaus yang keseharian biasa dipanggil Daus, di Sekretariat Rumah Rampak Polah di Jalan Wijaya, Nomor 3, Kelurahan Purwawinangung, Kecamatan Kuningan, bocah yang seyogyanya tengah berbahagia menikmati indahnya masa kanak-kanak, serta harusnya duduk di kelas 3 SD ini tampak tengah duduk di teras.
Kondisinya sangat mengkhawatirkan, badan kurusnya terlihat mengigil, dan tak jarang batuk-batuk.
Koordinator Rumah Rampak Polah Sri Laelasari menuturkan, Daus sebenarnya terkena virus HIV/AIDS sejak bayi, namun baru diketahui jika dirinya merupakan orang dengan HIV/AIDS (Odha), ketika berusia 2 tahun. Dia positif tertular dari kedua orangtuanya, yakni Jojo Wiharjo dan Fitri Safitri yang meninggal dunia ketika Daus berusia 5 tahun.
“Kedua orang tua Daus adalah orang yang positiv terkena virus HIV, atau ODHA. Dan saat Daus berusia 5 tahun, dalam tahun yang bersamaan kedua orang tuanya meninggal dunia, pertama ayahnya, berapa bulan kemudian disusul ibunya,” tutur Sri kepada Koran SINDO, Jumat (2/9/2016).
Sepeninggal kedua orang tuanya, Daus dipelihara dan dirawat oleh Ali, kakeknya, mulai dari mengurus makan hingga perawatan, juga pengobatan pada penyakit yang diderita bocah malang tersebut.
“Namun, tepat pada 17 Agustus 2016 lalu, orang yang sangat menyayangi Daus, yang sudi memperhatikan hingga hal paling diperlukan untuk para pengidap HIV/AIDS seperti Daus itu meninggal dunia,” ujarnya.
Kehidupan Daus-pun semakin merana, setelah ditinggal sang kakek tercinta, karena bocah lemah itu harus tersiksa menanggung penyakit mematikan yang dideritanya sebatang kara, tanpa keluarga, sekaligus tersisihkan dari lingkungannya.
“Setelah kakeknya meninggal tidak ada lagi yang mau merawat dia, semua saudara, juga tetangganya ketakutan tertular penyakit yang diderita Daus,” beber Sri.
Beruntungnya, kata Sri, pihaknya segera mendengar ihkwal penderitaan Daus, yang kemudian langsung menjemput Daus, untuk dibina di Rumah Rampak Polah yang dikelolanya.
“Setelah mendapat laporan tentang keberadaan, juga penderitaan Daus, kami langsung mengambil Daus untuk kami bina dan kami rawat di sini,” katanya.
Sri menyebutkan, peristiwa serupa Daus bukan sekali ini saja terjadi di Kuningan, namun sudah kerap terjadi, seperti diantaranya kasus yang menimpa Ineu, gadis kecil berusia 5 tahun, warga Desa Sayana, Kecamatan Jalaksana, yang meninggal beberapa hari lalu, akibat terlambat pengobatan.
Dan hal itu sangat disayangkan Sri, karena seharusnya pemerintah daerah dapat lebih memperhatikan langsung para penderita HIV/AIDS, khususnya dalam hal pelayanan kesehatan.
“Rata-rata para penderita HIV/AIDS kondisi perekonomiannya menghawatirkan, akibatnya mereka merasa kerepotan untuk berobat,” ungkap Sri.
Dengan kondisi itu, menurut Sri, hingga para ODHA lebih banyak diderita para ibu rumah tangga dan anak anak, seperti halnya Daus tersebut sangat berharap mendapat perhatian, juga bantuan dari pemerintah.
“Seperti diantaranya tidak sedikit dari mereka yang berharap BPJS untuk mereka diringankan, atau digratiskan lah,” jelasnya.
Sri juga menyayangkan, dengan Peraturan Daerah (Perda) yang telah ditetapkan tentang HIV/AIDS, tetapi masih belum dilaksanakan, serta dia berharap, ke depannya pemerintah daerah akan lebih memperhatikan para penderita ODHA dengan bukti yang nyata, bukan cuma retorika. Sehingga anak seperti contohnya Daus bisa merasakan dampak positifnya.
“Karena gelontoran dana dari pusat, seperti untuk Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) yang diturunkan melalui Bagian Kesra Setda Kuningan kan tidak sedikit, ya disalurkan lah dengan tepat guna, terutama pada mereka yang benar-benar berhak mendapatkannya,” tandas Sri.
Saat Koran SINDO bertemu langsung dengan Firdaus yang keseharian biasa dipanggil Daus, di Sekretariat Rumah Rampak Polah di Jalan Wijaya, Nomor 3, Kelurahan Purwawinangung, Kecamatan Kuningan, bocah yang seyogyanya tengah berbahagia menikmati indahnya masa kanak-kanak, serta harusnya duduk di kelas 3 SD ini tampak tengah duduk di teras.
Kondisinya sangat mengkhawatirkan, badan kurusnya terlihat mengigil, dan tak jarang batuk-batuk.
Koordinator Rumah Rampak Polah Sri Laelasari menuturkan, Daus sebenarnya terkena virus HIV/AIDS sejak bayi, namun baru diketahui jika dirinya merupakan orang dengan HIV/AIDS (Odha), ketika berusia 2 tahun. Dia positif tertular dari kedua orangtuanya, yakni Jojo Wiharjo dan Fitri Safitri yang meninggal dunia ketika Daus berusia 5 tahun.
“Kedua orang tua Daus adalah orang yang positiv terkena virus HIV, atau ODHA. Dan saat Daus berusia 5 tahun, dalam tahun yang bersamaan kedua orang tuanya meninggal dunia, pertama ayahnya, berapa bulan kemudian disusul ibunya,” tutur Sri kepada Koran SINDO, Jumat (2/9/2016).
Sepeninggal kedua orang tuanya, Daus dipelihara dan dirawat oleh Ali, kakeknya, mulai dari mengurus makan hingga perawatan, juga pengobatan pada penyakit yang diderita bocah malang tersebut.
“Namun, tepat pada 17 Agustus 2016 lalu, orang yang sangat menyayangi Daus, yang sudi memperhatikan hingga hal paling diperlukan untuk para pengidap HIV/AIDS seperti Daus itu meninggal dunia,” ujarnya.
Kehidupan Daus-pun semakin merana, setelah ditinggal sang kakek tercinta, karena bocah lemah itu harus tersiksa menanggung penyakit mematikan yang dideritanya sebatang kara, tanpa keluarga, sekaligus tersisihkan dari lingkungannya.
“Setelah kakeknya meninggal tidak ada lagi yang mau merawat dia, semua saudara, juga tetangganya ketakutan tertular penyakit yang diderita Daus,” beber Sri.
Beruntungnya, kata Sri, pihaknya segera mendengar ihkwal penderitaan Daus, yang kemudian langsung menjemput Daus, untuk dibina di Rumah Rampak Polah yang dikelolanya.
“Setelah mendapat laporan tentang keberadaan, juga penderitaan Daus, kami langsung mengambil Daus untuk kami bina dan kami rawat di sini,” katanya.
Sri menyebutkan, peristiwa serupa Daus bukan sekali ini saja terjadi di Kuningan, namun sudah kerap terjadi, seperti diantaranya kasus yang menimpa Ineu, gadis kecil berusia 5 tahun, warga Desa Sayana, Kecamatan Jalaksana, yang meninggal beberapa hari lalu, akibat terlambat pengobatan.
Dan hal itu sangat disayangkan Sri, karena seharusnya pemerintah daerah dapat lebih memperhatikan langsung para penderita HIV/AIDS, khususnya dalam hal pelayanan kesehatan.
“Rata-rata para penderita HIV/AIDS kondisi perekonomiannya menghawatirkan, akibatnya mereka merasa kerepotan untuk berobat,” ungkap Sri.
Dengan kondisi itu, menurut Sri, hingga para ODHA lebih banyak diderita para ibu rumah tangga dan anak anak, seperti halnya Daus tersebut sangat berharap mendapat perhatian, juga bantuan dari pemerintah.
“Seperti diantaranya tidak sedikit dari mereka yang berharap BPJS untuk mereka diringankan, atau digratiskan lah,” jelasnya.
Sri juga menyayangkan, dengan Peraturan Daerah (Perda) yang telah ditetapkan tentang HIV/AIDS, tetapi masih belum dilaksanakan, serta dia berharap, ke depannya pemerintah daerah akan lebih memperhatikan para penderita ODHA dengan bukti yang nyata, bukan cuma retorika. Sehingga anak seperti contohnya Daus bisa merasakan dampak positifnya.
“Karena gelontoran dana dari pusat, seperti untuk Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) yang diturunkan melalui Bagian Kesra Setda Kuningan kan tidak sedikit, ya disalurkan lah dengan tepat guna, terutama pada mereka yang benar-benar berhak mendapatkannya,” tandas Sri.
(sms)