Bebaskan Ramadhan Pohan, Polda Sumut Ditenggarai Masuk Angin
A
A
A
MEDAN - Pembebasan tersangka penipuan dan penggelapan Ramadhan Pohan oleh penyidik Subdit II/Harta Benda Bangunan Dan Tanah (Hardabangtah) Polda Sumut ditenggarai masuk angin atau diintervensi.
“Sudah pasti ada intervensi dari pihak-pihak tertentu, apalagi tersangka ini kan pernah anggota Komisi III DPR RI,” kata Hamdani Harahap, kuasa hukum korban kepada wartawan, di kantornya, Kamis (21/7/2016).
Menurut dia, campur tangan tersebut diduga berasal dari partai politik tempat tersangka berkarir. Hal ini dirasa di tengah suasana Polri yang tidak lagi mengutamakan kepentingan hukum dan menjadikan hukum itu bukan sebagai panglima.
“Equality before the law atau persamaan hak di mata hukum tidak lagi dikedepankan oleh penyidik Polda Sumut, karena tidak mempertimbangkan seluruh aspek," ungkapnya.
Ditambahkan dia, sudah banyak contoh kasus-kasus seperti itu, di mana masyarakat biasa lemah diperlakukan tidak sama di mata hukum. Namun, bila masyarakat biasa yang jadi tersangka, sudah pasti dia akan langsung ditahan.
"Kalau masyarakat biasa yang melakukan perbuatan sama seperti tersangka, ini sudah pasti ditahan. Tetapi karena orang ini (tersangka) adalah politikus, maka penyidik melakukan keberpihakan,” terangnya.
Dalam kasus tersebut, sambungnya, penyidik sebenarnya sudah mengantongi dua alat bukti yang cukup untuk melakukan penahanan. Namun, hal itu tidak dilakukan dengan berbagai pertimbangan oleh penyidik.
"Bukti itu adalah dokumen berupa rekening, data transaksi keuangan, dan lainnya. Mangkirnya tersangka dari panggilan penyidik sebanyak dua kali harusnya menjadi pertimbangan obyektif untuk melakukan penahanan," jelasnya.
Lebih lanjut, dirinya tidak menampik pernyataan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur penyidik berwenang melakukan penahanan atau tidak terhadap tersangka dengan pertimbangan subyektif.
“Memang itu wewenang penyidik. Tetapi dalam kasus ini tersangka sudah berusaha melarikan diri, dan menghilangkan barang bukti, sehingga mangkir dari panggilan polisi," tegasnya.
“Sudah pasti ada intervensi dari pihak-pihak tertentu, apalagi tersangka ini kan pernah anggota Komisi III DPR RI,” kata Hamdani Harahap, kuasa hukum korban kepada wartawan, di kantornya, Kamis (21/7/2016).
Menurut dia, campur tangan tersebut diduga berasal dari partai politik tempat tersangka berkarir. Hal ini dirasa di tengah suasana Polri yang tidak lagi mengutamakan kepentingan hukum dan menjadikan hukum itu bukan sebagai panglima.
“Equality before the law atau persamaan hak di mata hukum tidak lagi dikedepankan oleh penyidik Polda Sumut, karena tidak mempertimbangkan seluruh aspek," ungkapnya.
Ditambahkan dia, sudah banyak contoh kasus-kasus seperti itu, di mana masyarakat biasa lemah diperlakukan tidak sama di mata hukum. Namun, bila masyarakat biasa yang jadi tersangka, sudah pasti dia akan langsung ditahan.
"Kalau masyarakat biasa yang melakukan perbuatan sama seperti tersangka, ini sudah pasti ditahan. Tetapi karena orang ini (tersangka) adalah politikus, maka penyidik melakukan keberpihakan,” terangnya.
Dalam kasus tersebut, sambungnya, penyidik sebenarnya sudah mengantongi dua alat bukti yang cukup untuk melakukan penahanan. Namun, hal itu tidak dilakukan dengan berbagai pertimbangan oleh penyidik.
"Bukti itu adalah dokumen berupa rekening, data transaksi keuangan, dan lainnya. Mangkirnya tersangka dari panggilan penyidik sebanyak dua kali harusnya menjadi pertimbangan obyektif untuk melakukan penahanan," jelasnya.
Lebih lanjut, dirinya tidak menampik pernyataan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur penyidik berwenang melakukan penahanan atau tidak terhadap tersangka dengan pertimbangan subyektif.
“Memang itu wewenang penyidik. Tetapi dalam kasus ini tersangka sudah berusaha melarikan diri, dan menghilangkan barang bukti, sehingga mangkir dari panggilan polisi," tegasnya.
(san)