Pesantren Pagelaran, Markas Laskar Hizbullah saat Melawan Belanda
A
A
A
Pondok Pesantren (Ponpes) Pagelaran III di Kampung Gardusayang, Desa Gardusayang, Kecamatan Cisalak, Subang, Jawa Barat, merupakan salah satu pesantren tua dan bersejarah.
Pesantren yang didirikan oleh KH Muhyidin atau biasa disapa Mama Pagelaran ini punya peran sejarah dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Keberadaan Pesantren Pagelaran sempat merangkap jadi Markas Laskar Hizbullah, yang mengobarkan perang melawan tentara penjajah Belanda.
"Saat itu, Mama Pagelaran (KH Muhyidin) merupakan anggota Laskar Hizbullah. Beliau menjadikan pesantrennya sebagai markas dan basis perlawanan terhadap Belanda," ujar Pimpinan Ponpes Pagelaran III KH Dandi Sobron Muhyidin kepada KORAN SINDO.
Dia menuturkan, KH Muhyidin merupakan tokoh penyebar Islam kelahiran Garut sekitar tahun 1880. Sebelum akhirnya mendirikan pesantren di Subang, Muhyidin melanglang buana menyebarkan Islam ke sejumlah daerah.
Dalam perjalanannya, Muhyidin mendirikan pesantren di tiga lokasi, yang diberi nama 'Pagelaran'. Pertama, Pagelaran I di Kampung Cimeuhmal, Kecamatan Tanjungsiang, Subang, lalu Pagelaran II di pusat Kota Sumedang, dan Pagelaran III di Desa Gardusayang, Kecamatan Cisalak, Subang.
Pada 1900, Bupati Sumedang Pangeran Mekah meminta Bupati Limbangan (sekarang Garut) mengirim tokoh agama untuk menyebarkan Islam di daerahnya.
Saat itu, atas permintaan Bupati Limbangan, Muhyidin berangkat untuk mengajarkan Islam di Sumedang, tepatnya di daerah Cimalaka, yang sekarang dikenal Kampung Pesantren.
Belakangan, kepemimpinan pesantren tersebut diserahkan kepada muridnya, KH Nahrawi. Sementara, KH Muhyidin pindah ke daerah Cimeuhmal, Kecamatan Tanjungsiang, Subang.
Di daerah Cimeuhmal inilah, sekitar tahun 1918, Muhyidin resmi mendirikan sebuah pesantren yang diberinya nama 'Pagelaran' (kini bernama Pagelaran I).
Yang menarik, pesantren ini sekaligus dijadikan sebagai basis dan markas Laskar Hizbullah, yakni sebuah organisasi tentara pejuang dari kalangan muslim untuk melawan kaum penjajah Belanda.
"Melalui pesantren yang merangkap markas ini, beliau (KH Muhyidin) membina mental spiritual dan fisik para pejuang Hizbullah dalam memerangi Belanda," tutur Dandi.
Akibat aktivitas perlawanannya, Muhyidin ditangkap oleh Belanda dan dijebloskan ke Rutan Kebonwaru Bandung.
Pada 1945, setelah Proklamasi Kemerdekaan RI dan selepas dari Rutan Kebonwaru, Muhyidin kembali ke pesantrennya di Cimeuhmal. Namun, beberapa tahun kemudian situasi ternyata kacau karena muncul gerombolan dan pergolakan politik.
Kondisi tersebut memaksa dia meninggalkan pesantrennya dan mengungsi ke Sumedang, tepatnya di daerah yang sekarang berdiri Masjid Agung Kota Sumedang.
Di daerah ini, kedatangan Muhyidin disambut masyarakat, yang mendorongnya kembali mendirikan sebuah pesantren, yang juga diberinya nama 'Pagelaran' (kini bernama Pagelaran II).
Belakangan, setelah situasi politik mulai mereda, seiring ditumpasnya gerombolan oleh pemerintahan Presiden Soekarno, sejumlah santri (murid) Muhyidin dan masyarakat Cisalak, memintanya untuk kembali ke Subang dan mendirikan pesantren baru.
Pada 1962, Muhyidin pulang ke Subang, tepatnya ke daerah Gardusayang, Kecamatan Cisalak, dan kembali mendirikan pesantren baru, yang lagi-lagi diberinya nama 'Pagelaran' (kini bernama Pagelaran III).
Di pesantrennya yang ketiga inilah, Muhyidin menetap cukup lama hingga meninggal dunia pada 1973 dalam usia 93 tahun. Namun, jasadnya dimakamkan di Kompleks Pesantren Pagelaran I Cimeuhmal, Kecamatan Tanjungsiang.
Menurut Dandi, KH Muhyidin atau Mama Pagelaran ini meninggalkan 25 anak dari empat istrinya, yang jika dikumpulkan dengan cucu dan cicitnya mencapai 800 orang.
Saat ini, kepemimpinan ketiga pesantren yang diberinya nama Pagelaran I, II, dan III tersebut dilanjutkan oleh keturunannya, mulai dari anak hingga cucunya.
"Setelah Mama (Muhyidin) meninggal, Pesantren Pagelaran dilanjutkan anak-anaknya. Misalnya Pagelaran III diteruskan oleh anaknya yang bernama KH Oom Abdul Koyum," jelasnya.
Sistem pendidikan ketiga pesantren tersebut mulai berubah, dengan mengadopsi dan menyesuaikan pola modern.
Pesantren Pagelaran III dengan jumlah santri sekitar 400 orang ini, kini dipimpin KH Dandi Sobron Muhyidin, yang merupakan cucu KH Muhyidin dari anaknya yang bernama KH Oom Abdul Koyum.
Pesantren yang berdiri di lahan seluas tiga hektare tersebut tak hanya mengajarkan pola pendidikan salafiyah (khas kepesantrenan). Sistem pendidikan modern seperti SMP, SMA, dan SMK juga diterapkan.
"Namun, sistemnya bersifat plus, dengan tetap mengedepankan kekhasan model pendidikan kepesantrenan, seperti kajian kitab-kitab kuning, sistem mondok (asrama), dan sebagainya," imbuh Ajengan Dandi.
Pesantren yang didirikan oleh KH Muhyidin atau biasa disapa Mama Pagelaran ini punya peran sejarah dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Keberadaan Pesantren Pagelaran sempat merangkap jadi Markas Laskar Hizbullah, yang mengobarkan perang melawan tentara penjajah Belanda.
"Saat itu, Mama Pagelaran (KH Muhyidin) merupakan anggota Laskar Hizbullah. Beliau menjadikan pesantrennya sebagai markas dan basis perlawanan terhadap Belanda," ujar Pimpinan Ponpes Pagelaran III KH Dandi Sobron Muhyidin kepada KORAN SINDO.
Dia menuturkan, KH Muhyidin merupakan tokoh penyebar Islam kelahiran Garut sekitar tahun 1880. Sebelum akhirnya mendirikan pesantren di Subang, Muhyidin melanglang buana menyebarkan Islam ke sejumlah daerah.
Dalam perjalanannya, Muhyidin mendirikan pesantren di tiga lokasi, yang diberi nama 'Pagelaran'. Pertama, Pagelaran I di Kampung Cimeuhmal, Kecamatan Tanjungsiang, Subang, lalu Pagelaran II di pusat Kota Sumedang, dan Pagelaran III di Desa Gardusayang, Kecamatan Cisalak, Subang.
Pada 1900, Bupati Sumedang Pangeran Mekah meminta Bupati Limbangan (sekarang Garut) mengirim tokoh agama untuk menyebarkan Islam di daerahnya.
Saat itu, atas permintaan Bupati Limbangan, Muhyidin berangkat untuk mengajarkan Islam di Sumedang, tepatnya di daerah Cimalaka, yang sekarang dikenal Kampung Pesantren.
Belakangan, kepemimpinan pesantren tersebut diserahkan kepada muridnya, KH Nahrawi. Sementara, KH Muhyidin pindah ke daerah Cimeuhmal, Kecamatan Tanjungsiang, Subang.
Di daerah Cimeuhmal inilah, sekitar tahun 1918, Muhyidin resmi mendirikan sebuah pesantren yang diberinya nama 'Pagelaran' (kini bernama Pagelaran I).
Yang menarik, pesantren ini sekaligus dijadikan sebagai basis dan markas Laskar Hizbullah, yakni sebuah organisasi tentara pejuang dari kalangan muslim untuk melawan kaum penjajah Belanda.
"Melalui pesantren yang merangkap markas ini, beliau (KH Muhyidin) membina mental spiritual dan fisik para pejuang Hizbullah dalam memerangi Belanda," tutur Dandi.
Akibat aktivitas perlawanannya, Muhyidin ditangkap oleh Belanda dan dijebloskan ke Rutan Kebonwaru Bandung.
Pada 1945, setelah Proklamasi Kemerdekaan RI dan selepas dari Rutan Kebonwaru, Muhyidin kembali ke pesantrennya di Cimeuhmal. Namun, beberapa tahun kemudian situasi ternyata kacau karena muncul gerombolan dan pergolakan politik.
Kondisi tersebut memaksa dia meninggalkan pesantrennya dan mengungsi ke Sumedang, tepatnya di daerah yang sekarang berdiri Masjid Agung Kota Sumedang.
Di daerah ini, kedatangan Muhyidin disambut masyarakat, yang mendorongnya kembali mendirikan sebuah pesantren, yang juga diberinya nama 'Pagelaran' (kini bernama Pagelaran II).
Belakangan, setelah situasi politik mulai mereda, seiring ditumpasnya gerombolan oleh pemerintahan Presiden Soekarno, sejumlah santri (murid) Muhyidin dan masyarakat Cisalak, memintanya untuk kembali ke Subang dan mendirikan pesantren baru.
Pada 1962, Muhyidin pulang ke Subang, tepatnya ke daerah Gardusayang, Kecamatan Cisalak, dan kembali mendirikan pesantren baru, yang lagi-lagi diberinya nama 'Pagelaran' (kini bernama Pagelaran III).
Di pesantrennya yang ketiga inilah, Muhyidin menetap cukup lama hingga meninggal dunia pada 1973 dalam usia 93 tahun. Namun, jasadnya dimakamkan di Kompleks Pesantren Pagelaran I Cimeuhmal, Kecamatan Tanjungsiang.
Menurut Dandi, KH Muhyidin atau Mama Pagelaran ini meninggalkan 25 anak dari empat istrinya, yang jika dikumpulkan dengan cucu dan cicitnya mencapai 800 orang.
Saat ini, kepemimpinan ketiga pesantren yang diberinya nama Pagelaran I, II, dan III tersebut dilanjutkan oleh keturunannya, mulai dari anak hingga cucunya.
"Setelah Mama (Muhyidin) meninggal, Pesantren Pagelaran dilanjutkan anak-anaknya. Misalnya Pagelaran III diteruskan oleh anaknya yang bernama KH Oom Abdul Koyum," jelasnya.
Sistem pendidikan ketiga pesantren tersebut mulai berubah, dengan mengadopsi dan menyesuaikan pola modern.
Pesantren Pagelaran III dengan jumlah santri sekitar 400 orang ini, kini dipimpin KH Dandi Sobron Muhyidin, yang merupakan cucu KH Muhyidin dari anaknya yang bernama KH Oom Abdul Koyum.
Pesantren yang berdiri di lahan seluas tiga hektare tersebut tak hanya mengajarkan pola pendidikan salafiyah (khas kepesantrenan). Sistem pendidikan modern seperti SMP, SMA, dan SMK juga diterapkan.
"Namun, sistemnya bersifat plus, dengan tetap mengedepankan kekhasan model pendidikan kepesantrenan, seperti kajian kitab-kitab kuning, sistem mondok (asrama), dan sebagainya," imbuh Ajengan Dandi.
(zik)