Rumah Limas Potong, Rumah Tradisional Terakhir di Tanah Batam
A
A
A
Rumah panggung itu terbuat dari kayu. Berdiri tegak di atas tiang pancang setinggi 1,5 meter, rumah bercat krem itu terlihat lebih tinggi dari rumah-rumah lain di sebelahnya. Atapnya spandek, terlihat lebih modern dibandingkan dinding papan rumahnya.
Ada pagar besi yang mengelilingi. Di pintu gerbang, ada semacam prasasti bertuliskan Selamat Datang yang menyambut setiap tamu yang berkunjung. Itulah Rumah Limas Potong di Kampung Melayu, Batubesar, Nongsa, Batam, Kepulauan Riau. Rumah ini terbilang istimewa karena merupakan rumah tradisional Melayu satu-satunya yang masih bertahan di Batam.
Menapak ke dalam rumah tersebut, kita seperti melihat kembali kepada lembaran-lembaran sejarah masa lampau. Maklum, dahulu, rumah warga Melayu di Nongsa, termasuk rumah sosok penting di Batam, Raja Nong Isa, memang berbentuk seperti Rumah Limas Potong. (Baca juga: Raja Isa, Sosok Penting dalam Sejarah Pemerintahan di Batam).
Rumah Limas Potong yang berdiri hingga saat ini dibangun pada November 1959 oleh Haji Abdul Karim atas permintaan Haji Sain. Abdul Karim sudah meninggal dunia, sedangkan Sain sudah berumur 92 tahun.
Anak dari kedua tokoh tadilah yang menemani KORAN SINDO BATAM melihat-lihat isi Rumah Limas Potong tersebut. Muhammad Zen, anak Abdul Karim, sedangkan Abdul Rasyid putra Haji Sain.
Tepat di ruangan pertama rumah itu, terpampang sejumlah foto bertajuk sejarah yang memamerkan aktivitas masyarakat Melayu di daerah tersebut puluhan tahun lalu. Ada pula sebuah foto beberapa pria menggenggam sejumlah dokumen sambil berjalan tersenyum di atas sebuah jembatan. Itulah foto yang diambil ketika pusat pemerintahan kecamatan pertama di Batam pindah dari Pulau Buluh ke Belakang Padang.
Foto lainnya bercerita tentang warga yang bermain-main di tanah lapang. Ada pula foto wajah seorang guru agama bernama Haji Muhammad Nur, yang sangat dihormati masyarakat setempat. Guru agama ini berkontribusi besar dalam membangun akhlak anak-anak sekitar. Seluruh foto hitam putih itu merupakan memoar sejarah yang tak terlupakan.
"Rumah ini disebut Potong Limas karena atapnya berbentuk seperti limas yang dipotong," kata Muhammad Zen.
Rumah Limas Potong terbagi dalam empat bumbung sengkuap. Pertama, anjungan teras yang berada di depan rumah, kemudian ruangan paling awal disebut rumah ibu.
Rumah ibu terbagi dua ruangan utama, yakni ruang untuk menyambut tamu lelaki dan ruang tidur. Namun, ketika ada yang menikah, ruang kamar tidur akan digunakan sebagai tempat pengantin.
Saat ini, ruang ibu kedua itu sudah dilengkapi dengan diorama yang dibuat seolah pengantin sedang menikah. Pengantin pria menggunakan pakaian Melayu cara Arab, sementara pengantin perempuan menggunakan busana Melayu cara China.
Busana pengantin ini menunjukkan bahwa akulturasi budaya Melayu dengan budaya asing sudah terjadi sejak lama.
Kedua diorama pengantin ini didudukkan di atas Pete Ratne berwarna merah. Seperti raja dan ratu, mereka diapit oleh kedua pendamping pengantin dengan baju kurung Melayu berwarna hijau. Di depan pengantin ada meja rendah kecil berwarna merah. Di atasnya rapi tersusun peralatan tepung tawar.
Persis berseberangan dengan Pete Ratne, ada sebuah pelaminan berwarna merah. Di bawahnya ada ornamen khas Melayu tempo dulu, yang sudah jarang ditemui saat ini. Pelaminan merah ini berfungsi sebagai tempat tidur pengantin.
Masuk ke ruangan lebih dalam, ada dua buah ruangan yang disebut Bandung Satu dan Bandung Dua.
Bandung Satu adalah tempat untuk bercengkerama antarkeluarga. Jika ada sanak famili yang sedang berkunjung, di sanalah mereka duduk, makan, berbincang, dan tidur. Di tengahnya terhampar sebuah tikar anyaman pandan sederhana. Di atasnya ada tudung saji kerucut yang biasanya dipakai menutupi makanan.
Lantai Bandung Dua agak lebih rendah dari Bandung satu. Masyarakat Melayu biasa menyebutnya bendul. Bandung Dua adalah dapur, yang berisi berbagai alat masak, perangkat makanan, dan tempat penyimpanan bahan makanan.
Ada sebuah tiang besar antara Bandung Satu dan Bandung Dua. Tiang ini dinamakan Tiang Seri. Tak sembarang orang boleh duduk di sana. Itu adalah tempat khusus yang digunakan kepala keluarga untuk bersandar kala duduk berkumpul bersama keluarga di Bandung Satu.
"Kami dulu diajarkan, kalau duduk di sana akan kualat. Bisa kena sambar petir. Itulah yang menunjukkan bahwa tempat itu tak boleh sembarangan diduduki," ujar Muhammad Zen.
Ahli waris Rumah Limas Potong ini, Abdul Rasyid mengatakan, sejak diresmikan sebagai situs budaya oleh Wali Kota Batam Ahmad Dahlan pada 2011, belum ada turis yang mampir ke sana. Hanya ada satu pria berkebangsaan Perancis yang berkunjung. Kunjungannya pun didampingi oleh Kadis Pariwisata Kota Batam Yusfa Hendri.
"Sejak itu tak ada lagi. Hanya itulah satu-satunya turis yang datang ke sini. Saya tak mungkin tak tahu kalau ada yang datang, kerena kunci rumah ini ada pada saya," ujarnya.
Jika ada yang berkunjung ke sana, kebanyakan adalah para siswa yang ingin belajar lebih banyak mengenai kebudayaan Melayu. Atau calon-calon pengantin yang ingin mengambil foto prewedding berlatar Rumah Limas Potong ini.
Sekarang, status rumah ini adalah hak bersama antara Pemko Batam dan ahli waris. Pemko Batam sempat mengungkapkan niatnya untuk membeli rumah dan tanah tersebut pada 2011. Ahli waris mengungkapkan harganya, tapi sejak itu tak ada respons dari Pemko Batam.
"Kami bilang harganya Rp300 ribu per meter untuk tanah plus rumahnya. Tapi setelah itu sepertinya tak ada respons lagi," ujarnya.
Menurutnya, sangat baik bila rumah tersebut dijadikan museum. Namun keluarganya sudah menyerahkan seluruh penggunaan rumah tersebut kepada Pemko Batam. Dia sendiri tak bisa memberikan keputusan lagi terkait penggunaan rumah tersebut tanpa perundingan bersama terlebih dahulu.
Rumah Limas Potong yang ada sekarang adalah generasi ketiga. Sementara, generasi kedua dan pertama sudah tak ada lagi. Rumah generasi ketiga ini pun sudah merupakan yang terakhir. Tergerus oleh pembangunan rumah-rumah dengan gaya yang lebih modern.
Menurut Muhammad Zen, awalnya pemerintah merencanakan Rumah Limas Potong ini sebagai titik objek wisata untuk dikunjungi, tapi sampai sekarang belum terlaksana.
Zen merasa sedih melihat kondisi tersebut, mengingat keberadaan Rumah Limas Potong ini merupakan kebanggaan warga sekitar. Pemerintah hanya memberikan bantuan berupa dana perawatan, tanpa disertai program untuk meningkatkan kunjungan wisata ke sana.
"Dana perawatan diberikan setiap bulannya. Itulah yang digunakan oleh pemilik tempat ini untuk merawat rumah ini. Tapi kalau program promosi dan sebagainya tampaknya belum ada. Kunjungan wisatawan bisa dibilang kurang," jelasnya.
Padahal, bukan tak mungkin bila pemerintah merancang beberapa program misal dengan mengadakan acara tahunan yang dipusatkan di sana, atau mengimbau travel-travel di Batam untuk memasukkannya ke dalam rute perjalanan wisata di Batam, jumlah kunjungan wisatawan ke Rumah Limas Potong tersebut akan naik.
"Kita harap bisa seperti itu. Atau sekalian jadikan museum. Kalau soal syarat-syarat, kita bisa pelajari bersama. Dengan demikian potensi wisata edukasi, penelitian, dan objek wisata bisa dioptimalkan. Lingga saja sampai mendirikan replika istananya. Kita sudah ada, tinggal diberdayakan," tuturnya.
Perhatian LAM
Pelestarian Rumah Limas Potong sebagai satu-satunya rumah tradisional Melayu Batam mendapat perhatian khusus dari Lembaga Adat Melayu (LAM) Kota Batam. Sejauh ini, LAM sudah berupaya agar rumah tradisional tersebut mendapat perhatian pemerintah.
"Ini rumah tradisional terakhir yang punya sejarah. Selain ini tak ada lagi. Memang sudah selayaknya pemerintah memerhatikan pelestariannya," ujar Ketua Dewan Penasihat LAM Kota Batam Machmur Ismail.
Menurut dia, keberadaan Rumah Limas Potong tersebut memiliki nilai penting terutama untuk memperkenalkan budaya dan sejarah Melayu Batam kepada generasi berikutnya. Rumah Limas Potong harus dioptimalkan untuk menjadi sarana edukasi dan penelitian budaya.
Namun, hingga hari ini tampaknya potensi Rumah Limas Potong belum diperhatikan dengan baik. Terbukti, kunjungan budaya atau kunjungan edukasi ke rumah tradisional itu sangat minim. Bahkan, kunjungan wisata ke sana terbilang nihil.
Padahal, kunjungan wisatawan asing ke Batam sangat besar. Jumlahnya menjadikan Batam sebagai destinasi favorit wisman ketiga di Indonesia setelah Bali dan Jakarta.
"Kami selalu memberikan pandangan kepada Pemko Batam untuk melestarikan budaya Melayu, khususnya Rumah Limas Potong ini. Sementara LAM sendiri tak bisa berbuat lebih banyak, karena masih terkendala dana," jelasnya.
Kendati terkendala dana, bukan berarti tak ada langkah yang dilakukan oleh lembaga adat ini. LAM telah memulai pembicaraan dengan beberapa negara serumpun seperti Malaysia dan Singapura terkait Rumah Limas Potong.
LAM menawarkan agar negara-negara tersebut mengarahkan turisnya untuk berkunjung ke Rumah Limas Potong di Nongsa. Percakapan tersebut membuahkan hasil positif. Negara serumpun bersedia membantu.
Namun, untuk mengoptimalkan pengelolaannya, LAM masih menunggu pemerintah daerah mengeluarkan legalitas kampung tua di daerah tersebut. Tanpa legalitas tersebut, sulit membuat nota kesepahaman dengan negara serumpun.
"Legalitas Kampung Tua menjadi hal yang paling krusial di sini. Karena itu, kami selalu mendorong agar pemerintah segera menyelesaikan ini. Tak hanya Pemko, juga BP Batam dan semua stakeholder lainnya," tegasnya.
Ke depan, jika semua Kampung Tua sudah punya legalitas yang jelas, tak menutup kemungkinan LAM akan mendorong pembangunan replika-replika Rumah Limas Potong di beberapa Kampung Tua lainnya.
Selain itu, LAM sudah mengonsep adanya kampung wisata budaya yang seluruh isinya merepresentasikan budaya Melayu Batam. Mulai adanya keberadaan Rumah Limas Potong, juga ornamen dan replika peninggalan sejarah.
"Kami sedang mencari kampung mana yang cocok. Yang paling pasti itu Nongsa dan Tanjungriau. Ini juga sudah kami bicarakan dengan Pemko Batam. Jadi perjuangan (legalitas) Kampung Tua itu juga melestarikan budaya Melayu itu sendiri," katanya.
Ada pagar besi yang mengelilingi. Di pintu gerbang, ada semacam prasasti bertuliskan Selamat Datang yang menyambut setiap tamu yang berkunjung. Itulah Rumah Limas Potong di Kampung Melayu, Batubesar, Nongsa, Batam, Kepulauan Riau. Rumah ini terbilang istimewa karena merupakan rumah tradisional Melayu satu-satunya yang masih bertahan di Batam.
Menapak ke dalam rumah tersebut, kita seperti melihat kembali kepada lembaran-lembaran sejarah masa lampau. Maklum, dahulu, rumah warga Melayu di Nongsa, termasuk rumah sosok penting di Batam, Raja Nong Isa, memang berbentuk seperti Rumah Limas Potong. (Baca juga: Raja Isa, Sosok Penting dalam Sejarah Pemerintahan di Batam).
Rumah Limas Potong yang berdiri hingga saat ini dibangun pada November 1959 oleh Haji Abdul Karim atas permintaan Haji Sain. Abdul Karim sudah meninggal dunia, sedangkan Sain sudah berumur 92 tahun.
Anak dari kedua tokoh tadilah yang menemani KORAN SINDO BATAM melihat-lihat isi Rumah Limas Potong tersebut. Muhammad Zen, anak Abdul Karim, sedangkan Abdul Rasyid putra Haji Sain.
Tepat di ruangan pertama rumah itu, terpampang sejumlah foto bertajuk sejarah yang memamerkan aktivitas masyarakat Melayu di daerah tersebut puluhan tahun lalu. Ada pula sebuah foto beberapa pria menggenggam sejumlah dokumen sambil berjalan tersenyum di atas sebuah jembatan. Itulah foto yang diambil ketika pusat pemerintahan kecamatan pertama di Batam pindah dari Pulau Buluh ke Belakang Padang.
Foto lainnya bercerita tentang warga yang bermain-main di tanah lapang. Ada pula foto wajah seorang guru agama bernama Haji Muhammad Nur, yang sangat dihormati masyarakat setempat. Guru agama ini berkontribusi besar dalam membangun akhlak anak-anak sekitar. Seluruh foto hitam putih itu merupakan memoar sejarah yang tak terlupakan.
"Rumah ini disebut Potong Limas karena atapnya berbentuk seperti limas yang dipotong," kata Muhammad Zen.
Rumah Limas Potong terbagi dalam empat bumbung sengkuap. Pertama, anjungan teras yang berada di depan rumah, kemudian ruangan paling awal disebut rumah ibu.
Rumah ibu terbagi dua ruangan utama, yakni ruang untuk menyambut tamu lelaki dan ruang tidur. Namun, ketika ada yang menikah, ruang kamar tidur akan digunakan sebagai tempat pengantin.
Saat ini, ruang ibu kedua itu sudah dilengkapi dengan diorama yang dibuat seolah pengantin sedang menikah. Pengantin pria menggunakan pakaian Melayu cara Arab, sementara pengantin perempuan menggunakan busana Melayu cara China.
Busana pengantin ini menunjukkan bahwa akulturasi budaya Melayu dengan budaya asing sudah terjadi sejak lama.
Kedua diorama pengantin ini didudukkan di atas Pete Ratne berwarna merah. Seperti raja dan ratu, mereka diapit oleh kedua pendamping pengantin dengan baju kurung Melayu berwarna hijau. Di depan pengantin ada meja rendah kecil berwarna merah. Di atasnya rapi tersusun peralatan tepung tawar.
Persis berseberangan dengan Pete Ratne, ada sebuah pelaminan berwarna merah. Di bawahnya ada ornamen khas Melayu tempo dulu, yang sudah jarang ditemui saat ini. Pelaminan merah ini berfungsi sebagai tempat tidur pengantin.
Masuk ke ruangan lebih dalam, ada dua buah ruangan yang disebut Bandung Satu dan Bandung Dua.
Bandung Satu adalah tempat untuk bercengkerama antarkeluarga. Jika ada sanak famili yang sedang berkunjung, di sanalah mereka duduk, makan, berbincang, dan tidur. Di tengahnya terhampar sebuah tikar anyaman pandan sederhana. Di atasnya ada tudung saji kerucut yang biasanya dipakai menutupi makanan.
Lantai Bandung Dua agak lebih rendah dari Bandung satu. Masyarakat Melayu biasa menyebutnya bendul. Bandung Dua adalah dapur, yang berisi berbagai alat masak, perangkat makanan, dan tempat penyimpanan bahan makanan.
Ada sebuah tiang besar antara Bandung Satu dan Bandung Dua. Tiang ini dinamakan Tiang Seri. Tak sembarang orang boleh duduk di sana. Itu adalah tempat khusus yang digunakan kepala keluarga untuk bersandar kala duduk berkumpul bersama keluarga di Bandung Satu.
"Kami dulu diajarkan, kalau duduk di sana akan kualat. Bisa kena sambar petir. Itulah yang menunjukkan bahwa tempat itu tak boleh sembarangan diduduki," ujar Muhammad Zen.
Ahli waris Rumah Limas Potong ini, Abdul Rasyid mengatakan, sejak diresmikan sebagai situs budaya oleh Wali Kota Batam Ahmad Dahlan pada 2011, belum ada turis yang mampir ke sana. Hanya ada satu pria berkebangsaan Perancis yang berkunjung. Kunjungannya pun didampingi oleh Kadis Pariwisata Kota Batam Yusfa Hendri.
"Sejak itu tak ada lagi. Hanya itulah satu-satunya turis yang datang ke sini. Saya tak mungkin tak tahu kalau ada yang datang, kerena kunci rumah ini ada pada saya," ujarnya.
Jika ada yang berkunjung ke sana, kebanyakan adalah para siswa yang ingin belajar lebih banyak mengenai kebudayaan Melayu. Atau calon-calon pengantin yang ingin mengambil foto prewedding berlatar Rumah Limas Potong ini.
Sekarang, status rumah ini adalah hak bersama antara Pemko Batam dan ahli waris. Pemko Batam sempat mengungkapkan niatnya untuk membeli rumah dan tanah tersebut pada 2011. Ahli waris mengungkapkan harganya, tapi sejak itu tak ada respons dari Pemko Batam.
"Kami bilang harganya Rp300 ribu per meter untuk tanah plus rumahnya. Tapi setelah itu sepertinya tak ada respons lagi," ujarnya.
Menurutnya, sangat baik bila rumah tersebut dijadikan museum. Namun keluarganya sudah menyerahkan seluruh penggunaan rumah tersebut kepada Pemko Batam. Dia sendiri tak bisa memberikan keputusan lagi terkait penggunaan rumah tersebut tanpa perundingan bersama terlebih dahulu.
Rumah Limas Potong yang ada sekarang adalah generasi ketiga. Sementara, generasi kedua dan pertama sudah tak ada lagi. Rumah generasi ketiga ini pun sudah merupakan yang terakhir. Tergerus oleh pembangunan rumah-rumah dengan gaya yang lebih modern.
Menurut Muhammad Zen, awalnya pemerintah merencanakan Rumah Limas Potong ini sebagai titik objek wisata untuk dikunjungi, tapi sampai sekarang belum terlaksana.
Zen merasa sedih melihat kondisi tersebut, mengingat keberadaan Rumah Limas Potong ini merupakan kebanggaan warga sekitar. Pemerintah hanya memberikan bantuan berupa dana perawatan, tanpa disertai program untuk meningkatkan kunjungan wisata ke sana.
"Dana perawatan diberikan setiap bulannya. Itulah yang digunakan oleh pemilik tempat ini untuk merawat rumah ini. Tapi kalau program promosi dan sebagainya tampaknya belum ada. Kunjungan wisatawan bisa dibilang kurang," jelasnya.
Padahal, bukan tak mungkin bila pemerintah merancang beberapa program misal dengan mengadakan acara tahunan yang dipusatkan di sana, atau mengimbau travel-travel di Batam untuk memasukkannya ke dalam rute perjalanan wisata di Batam, jumlah kunjungan wisatawan ke Rumah Limas Potong tersebut akan naik.
"Kita harap bisa seperti itu. Atau sekalian jadikan museum. Kalau soal syarat-syarat, kita bisa pelajari bersama. Dengan demikian potensi wisata edukasi, penelitian, dan objek wisata bisa dioptimalkan. Lingga saja sampai mendirikan replika istananya. Kita sudah ada, tinggal diberdayakan," tuturnya.
Perhatian LAM
Pelestarian Rumah Limas Potong sebagai satu-satunya rumah tradisional Melayu Batam mendapat perhatian khusus dari Lembaga Adat Melayu (LAM) Kota Batam. Sejauh ini, LAM sudah berupaya agar rumah tradisional tersebut mendapat perhatian pemerintah.
"Ini rumah tradisional terakhir yang punya sejarah. Selain ini tak ada lagi. Memang sudah selayaknya pemerintah memerhatikan pelestariannya," ujar Ketua Dewan Penasihat LAM Kota Batam Machmur Ismail.
Menurut dia, keberadaan Rumah Limas Potong tersebut memiliki nilai penting terutama untuk memperkenalkan budaya dan sejarah Melayu Batam kepada generasi berikutnya. Rumah Limas Potong harus dioptimalkan untuk menjadi sarana edukasi dan penelitian budaya.
Namun, hingga hari ini tampaknya potensi Rumah Limas Potong belum diperhatikan dengan baik. Terbukti, kunjungan budaya atau kunjungan edukasi ke rumah tradisional itu sangat minim. Bahkan, kunjungan wisata ke sana terbilang nihil.
Padahal, kunjungan wisatawan asing ke Batam sangat besar. Jumlahnya menjadikan Batam sebagai destinasi favorit wisman ketiga di Indonesia setelah Bali dan Jakarta.
"Kami selalu memberikan pandangan kepada Pemko Batam untuk melestarikan budaya Melayu, khususnya Rumah Limas Potong ini. Sementara LAM sendiri tak bisa berbuat lebih banyak, karena masih terkendala dana," jelasnya.
Kendati terkendala dana, bukan berarti tak ada langkah yang dilakukan oleh lembaga adat ini. LAM telah memulai pembicaraan dengan beberapa negara serumpun seperti Malaysia dan Singapura terkait Rumah Limas Potong.
LAM menawarkan agar negara-negara tersebut mengarahkan turisnya untuk berkunjung ke Rumah Limas Potong di Nongsa. Percakapan tersebut membuahkan hasil positif. Negara serumpun bersedia membantu.
Namun, untuk mengoptimalkan pengelolaannya, LAM masih menunggu pemerintah daerah mengeluarkan legalitas kampung tua di daerah tersebut. Tanpa legalitas tersebut, sulit membuat nota kesepahaman dengan negara serumpun.
"Legalitas Kampung Tua menjadi hal yang paling krusial di sini. Karena itu, kami selalu mendorong agar pemerintah segera menyelesaikan ini. Tak hanya Pemko, juga BP Batam dan semua stakeholder lainnya," tegasnya.
Ke depan, jika semua Kampung Tua sudah punya legalitas yang jelas, tak menutup kemungkinan LAM akan mendorong pembangunan replika-replika Rumah Limas Potong di beberapa Kampung Tua lainnya.
Selain itu, LAM sudah mengonsep adanya kampung wisata budaya yang seluruh isinya merepresentasikan budaya Melayu Batam. Mulai adanya keberadaan Rumah Limas Potong, juga ornamen dan replika peninggalan sejarah.
"Kami sedang mencari kampung mana yang cocok. Yang paling pasti itu Nongsa dan Tanjungriau. Ini juga sudah kami bicarakan dengan Pemko Batam. Jadi perjuangan (legalitas) Kampung Tua itu juga melestarikan budaya Melayu itu sendiri," katanya.
(zik)