Kisah Pangeran Diponegoro dan Wanita-wanita di Sekelilingnya
A
A
A
Kisah kehidupan pemimpin Perang Jawa, Pangeran Diponegoro ternyata tak luput dari wanita-wanita yang mendampinginya baik yang dinikahi secara resmi maupun tidak. Selain itu ibu kandung, nenek buyut dan kerabat perempuan sang pangeran juga diakui membentuk watak dan pandangan hidup Pangeran Diponegoro dalam mengisi hidupnya.
Para wanita tersebut turut mendampingi Pangeran Diponegoro mulai dari Tegalrejo, masa perang Jawa hingga akhir hayatnya di pengasingan.
Sosok yang paling berpengaruh terhadap Diponegoro muda adalah nenek buyutnya sendiri yang bergelar Ratu Ageng (istri Sultan Hamengkubowono I) atau sering disebut Ratu Ageng Tegalrejo, anak perempuan Kiai Ageng Derpoyudo.
Ratu Ageng adalah perempuan gagah perkasa yang pernah memimpin korps prajurit estri atau pengawal perempuan elite di Kesultanan Yogyakarta. Diponegoro muda pernah dibawa Ratu Ageng untuk menemani masa tuanya di Tegalrejo.
Ratu Ageng yang kala itu telah berusia 65 tahun adalah sosok perempuan yang sangat energik dan berkemauan keras yang disegani oleh Diponegoro muda (sesuai Babad Diponegoro). Diponegoro terus digembleng pendidikan agama maupun ilmu berperang oleh nenek buyutnya hingga wafatnya Ratu Ageng pada 17 Oktober 1803.
Satu lagi wanita yang mungkin juga ikut membentuk kepribadian Pangeran Diponegoro adalah neneknya Ratu Kedaton. Ketaatan neneknya yang berasal dari Madura dalam menjalankan ajaran Islam mengesankan bagi Diponegoro.
Kemudian pada 1803, tahun dimana Pangeran Diponegoro kehilangan sosok nenek buyutnya dia mulai berkenalan dengan Raden Ayu (RA) Retna Madubrongto. Sehingga Raden Ontowiryo ini akhirnya melangsungkan pernikahan yang pertama dengan putri Kiai Gedhe Dadapan, ulama terkenal dari Desa Dadapan, sub distrik Tempel, dekat perbatasan Kedu dan Yogyakarta. Dari perkawinannya dengan RA Retna Madubrongto ini sang pangeran dikarunai seorang putra Raden Mantri Muhamad Ngarip atau Pangeran Diponegoro II.
Selang beberapa tahun kemudian rupanya ayahandanya Sultan Hamengku Buwono III membujuk Diponegoro agar putranya ini menikahi wanita ningrat yang lebih bergengsi secara politis. Sang Pangeran pun dipisahkan dari istri pertamanya.
Akhirnya sang pangeran dinikahkan dengan Raden Ajeng Supadmi (RA Retnakusuma), putri Raden Tumenggung Natawijaya III, Bupati Panolan, Jipang. Pesta perkawinan digelar besar-besaran pada 27 Februari 1807. Diponegoro bertemu untuk pertama kali dengan istri keduanya hanya tiga bulan sebelum mereka menikah. Namun perkawinan mereka tidak membawa kebahagiaan dan berumur pendek.
Dalam otobiografinya, sang pangeran tidak pernah sekali pun menyebut-nyebut istrinya yang satu ini. Nampaknya mereka dipisahkan saat kelahiran putra pertama dan satu-satunya yaitu Pangeran Diponingrat.
Pada 1808, Madubrongto istri pertama sang pengeran meninggal di usia muda kemudian di tahun yang sama sang pangeran menikah lagi dengan dengan RA Retnodewati. Tapi Retnodewati istri ketiganya ini juga wafat sewaktu Pangeran Diponegoro masih berada di Tegalrejo.
Dua tahun kemudian di awal 1810, Pangeran Diponegoro saat melakukan perjalanan spritual ke wilayah timur dia sempat berkenalan dengan Raden Ayu Citrowati, putri Raden Tumenggung Ronggo Parwirosentiko dengan salah satu istri selir.
Pangeran kemudian menikahi wanita ini namun tidak lama setelah melahirkan anaknya istri keempatnya ini meninggal dalam kerusuhan di Madiun. Bayi yang baru saja dilahirkan tersebut kemudian oleh Pangeran Diponegoro bayi diserahkan kepada Ki Tembi untuk diasuh. Dan diberi nama Singlon yang artinya adalah nama samaran sehingga bayi tersebut terkenal dengan nama Raden Mas Singlon.
Lalu beberapa tahun kemudian Pangeran Diponegoro bertemu kembali dengan RA Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretno (putri HB II). Karena sebelumnya saat hendak dinikahkan dengan Raden Ajeng Supadmi (istri keduanya) Pangeran sempat bertemu dengan RA Maduretno (Babad Diponegoro II:89).
Benih cinta yang pernah ada didiri pangeran membuatnya mabuk kepayang sehingga RA Maduretno yang merupakan saudara seayah dengan Sentot Prawirodirjo, tetapi lain ibu ini akhirnya dinikahi Pangeran Diponegoro.
Ketika Pangeran Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid, dia diangkat sebagai permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton, 18 Februari 1828.
Namun berdasarkan (Babad Diponegoro) pada sekitar Oktober 1826 Pangeran Diponegoro mengaku telah tergoda dengan pesona seorang perempuan Tionghoa yang dibawa kepadanya sebagai tawanan. Lalu wanita Tionghoa ini dikaryakan menjadi juru pijit persis sebelum pertempuran Gawok. Diponegoro menyesali perilaku bersenang-senang dengan perempuan China ini sebagai biang keladi kekalahan pasukannya dan hilangnya kekebalannya dalam pertempuran tersebut.
Pada bulan Januari 1828 Pangeran Diponegoro menikahi RA Retnaningrum, putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II.
Kemudian saat masa Perang Jawa pangeran bertemu dengan RA Retnaningsih yang kelak menjadi istri ketujuhnya. Istri sang pangeran ini merupakan, putri Raden Tumenggung Sumoprawiro, Bupati Jipang Kepadhangan. Retnaningsih inilah yang akhirnya menemani Pangeran Diponegoro hingga akhir hayatnya di Fort Rotterdam di Makassar, Sulsel karena hanya Retnaningsih yang diperkenankan untuk menemani pangeran di pengasingan.
Selain itu saat Perang Jawa Pangeran Diponegoro yang tinggalnya tidak menetap ini juga sempat menikahi RA Retnakumala, putri Kiai Guru Kasongan.
Saat pengasingan di Manado, pangeran juga pernah melamar putri seorang warga muslim setempat. Namun oleh ayah gadis itu Letnan Hasan Latif seorang opsir tentara milisi Manado pinangan pangeran ditolak.
Lalu ketika tinggal di Makassar, sang pangeran disebut-sebut juga sempat menikah lagi dengan Syarifah Fathimah Wajo putri Datuk Husain (Wanita dari Wajo, Makassar), makamnya ada di Makassar. Syarifah Fathimah ini nasab lengkapnya adalah Syarifah Fathimah Wajo binti Datuk Husain bin Datuk Ahmad bin Datuk Abdullah bin Datuk Thahir bin Datuk Thayyib bin Datuk Ibrahim bin Datuk Qasim bin Datuk Muhammad bin Datuk Nakhoda Ali bin Husain Jamaluddin Asghar bin Husain Jamaluddin Akbar.
Sumber :
- Buku Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855, Peter Carey
- Wikipedia dan diolah dari berbagai sumber
Para wanita tersebut turut mendampingi Pangeran Diponegoro mulai dari Tegalrejo, masa perang Jawa hingga akhir hayatnya di pengasingan.
Sosok yang paling berpengaruh terhadap Diponegoro muda adalah nenek buyutnya sendiri yang bergelar Ratu Ageng (istri Sultan Hamengkubowono I) atau sering disebut Ratu Ageng Tegalrejo, anak perempuan Kiai Ageng Derpoyudo.
Ratu Ageng adalah perempuan gagah perkasa yang pernah memimpin korps prajurit estri atau pengawal perempuan elite di Kesultanan Yogyakarta. Diponegoro muda pernah dibawa Ratu Ageng untuk menemani masa tuanya di Tegalrejo.
Ratu Ageng yang kala itu telah berusia 65 tahun adalah sosok perempuan yang sangat energik dan berkemauan keras yang disegani oleh Diponegoro muda (sesuai Babad Diponegoro). Diponegoro terus digembleng pendidikan agama maupun ilmu berperang oleh nenek buyutnya hingga wafatnya Ratu Ageng pada 17 Oktober 1803.
Satu lagi wanita yang mungkin juga ikut membentuk kepribadian Pangeran Diponegoro adalah neneknya Ratu Kedaton. Ketaatan neneknya yang berasal dari Madura dalam menjalankan ajaran Islam mengesankan bagi Diponegoro.
Kemudian pada 1803, tahun dimana Pangeran Diponegoro kehilangan sosok nenek buyutnya dia mulai berkenalan dengan Raden Ayu (RA) Retna Madubrongto. Sehingga Raden Ontowiryo ini akhirnya melangsungkan pernikahan yang pertama dengan putri Kiai Gedhe Dadapan, ulama terkenal dari Desa Dadapan, sub distrik Tempel, dekat perbatasan Kedu dan Yogyakarta. Dari perkawinannya dengan RA Retna Madubrongto ini sang pangeran dikarunai seorang putra Raden Mantri Muhamad Ngarip atau Pangeran Diponegoro II.
Selang beberapa tahun kemudian rupanya ayahandanya Sultan Hamengku Buwono III membujuk Diponegoro agar putranya ini menikahi wanita ningrat yang lebih bergengsi secara politis. Sang Pangeran pun dipisahkan dari istri pertamanya.
Akhirnya sang pangeran dinikahkan dengan Raden Ajeng Supadmi (RA Retnakusuma), putri Raden Tumenggung Natawijaya III, Bupati Panolan, Jipang. Pesta perkawinan digelar besar-besaran pada 27 Februari 1807. Diponegoro bertemu untuk pertama kali dengan istri keduanya hanya tiga bulan sebelum mereka menikah. Namun perkawinan mereka tidak membawa kebahagiaan dan berumur pendek.
Dalam otobiografinya, sang pangeran tidak pernah sekali pun menyebut-nyebut istrinya yang satu ini. Nampaknya mereka dipisahkan saat kelahiran putra pertama dan satu-satunya yaitu Pangeran Diponingrat.
Pada 1808, Madubrongto istri pertama sang pengeran meninggal di usia muda kemudian di tahun yang sama sang pangeran menikah lagi dengan dengan RA Retnodewati. Tapi Retnodewati istri ketiganya ini juga wafat sewaktu Pangeran Diponegoro masih berada di Tegalrejo.
Dua tahun kemudian di awal 1810, Pangeran Diponegoro saat melakukan perjalanan spritual ke wilayah timur dia sempat berkenalan dengan Raden Ayu Citrowati, putri Raden Tumenggung Ronggo Parwirosentiko dengan salah satu istri selir.
Pangeran kemudian menikahi wanita ini namun tidak lama setelah melahirkan anaknya istri keempatnya ini meninggal dalam kerusuhan di Madiun. Bayi yang baru saja dilahirkan tersebut kemudian oleh Pangeran Diponegoro bayi diserahkan kepada Ki Tembi untuk diasuh. Dan diberi nama Singlon yang artinya adalah nama samaran sehingga bayi tersebut terkenal dengan nama Raden Mas Singlon.
Lalu beberapa tahun kemudian Pangeran Diponegoro bertemu kembali dengan RA Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretno (putri HB II). Karena sebelumnya saat hendak dinikahkan dengan Raden Ajeng Supadmi (istri keduanya) Pangeran sempat bertemu dengan RA Maduretno (Babad Diponegoro II:89).
Benih cinta yang pernah ada didiri pangeran membuatnya mabuk kepayang sehingga RA Maduretno yang merupakan saudara seayah dengan Sentot Prawirodirjo, tetapi lain ibu ini akhirnya dinikahi Pangeran Diponegoro.
Ketika Pangeran Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan Abdulhamid, dia diangkat sebagai permaisuri bergelar Kanjeng Ratu Kedaton, 18 Februari 1828.
Namun berdasarkan (Babad Diponegoro) pada sekitar Oktober 1826 Pangeran Diponegoro mengaku telah tergoda dengan pesona seorang perempuan Tionghoa yang dibawa kepadanya sebagai tawanan. Lalu wanita Tionghoa ini dikaryakan menjadi juru pijit persis sebelum pertempuran Gawok. Diponegoro menyesali perilaku bersenang-senang dengan perempuan China ini sebagai biang keladi kekalahan pasukannya dan hilangnya kekebalannya dalam pertempuran tersebut.
Pada bulan Januari 1828 Pangeran Diponegoro menikahi RA Retnaningrum, putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II.
Kemudian saat masa Perang Jawa pangeran bertemu dengan RA Retnaningsih yang kelak menjadi istri ketujuhnya. Istri sang pangeran ini merupakan, putri Raden Tumenggung Sumoprawiro, Bupati Jipang Kepadhangan. Retnaningsih inilah yang akhirnya menemani Pangeran Diponegoro hingga akhir hayatnya di Fort Rotterdam di Makassar, Sulsel karena hanya Retnaningsih yang diperkenankan untuk menemani pangeran di pengasingan.
Selain itu saat Perang Jawa Pangeran Diponegoro yang tinggalnya tidak menetap ini juga sempat menikahi RA Retnakumala, putri Kiai Guru Kasongan.
Saat pengasingan di Manado, pangeran juga pernah melamar putri seorang warga muslim setempat. Namun oleh ayah gadis itu Letnan Hasan Latif seorang opsir tentara milisi Manado pinangan pangeran ditolak.
Lalu ketika tinggal di Makassar, sang pangeran disebut-sebut juga sempat menikah lagi dengan Syarifah Fathimah Wajo putri Datuk Husain (Wanita dari Wajo, Makassar), makamnya ada di Makassar. Syarifah Fathimah ini nasab lengkapnya adalah Syarifah Fathimah Wajo binti Datuk Husain bin Datuk Ahmad bin Datuk Abdullah bin Datuk Thahir bin Datuk Thayyib bin Datuk Ibrahim bin Datuk Qasim bin Datuk Muhammad bin Datuk Nakhoda Ali bin Husain Jamaluddin Asghar bin Husain Jamaluddin Akbar.
Sumber :
- Buku Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855, Peter Carey
- Wikipedia dan diolah dari berbagai sumber
(sms)