Raden Saleh dan Perang Jawa 1825-1830
A
A
A
PELUKIS RADEN SALEH bernama lengkap Raden Saleh Sjarif Bustaman. Tidak diketahui dengan pasti kapan Raden Saleh lahir. Sebagian orang menyebut tahun 1807, 1814 atau 1815, dan sebagian lagi menyebut tahun 1809 atau 1810.
Meski dalam beberapa hal masih samar, riwayat hidup Raden Saleh menampilkan sosok kehidupan artis yang "romantik". Raden Saleh adalah keturunan ningrat, keluarga bupati terkenal. Tempat kelahirannya diketahui di Terbaya, dekat Semarang.
Salah seorang nenek moyangnya berasal dari Arab. Hal itu diketahui dari gelar Sjarif dalam namanya. Ayahnya bernama Sayyid Hoesen bin Albi bin Awal bin Jahja dan ibunya Mas Adjeng Zarip Hoesen adalah cucu dari Sayyid Abdoellah Boestaman.
Masa kecilnya hanya sedikit diketahui orang, kecuali saat masih kanak-kanak dia bertemu dengan AAJ Payen dari Belgia yang sedang diperbantukan sebagai pelukis oleh Prof Reinwardt, saat melakukan perjalanan keliling Jawa.
Prof Reinwardt adalah pendiri Kebun Raya Bogor yang saat itu masih bernama Buitenzorg, dan menjadi Direktur Pertanian, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan Pemerintah Hindia Belanda untuk daerah Jawa dan pulau-pulau yang ada di sekitarnya.
Dalam perjalan mereka ke Cianjur, Payen bertemu Raden Saleh. Saat itu, Raden Saleh tinggal di rumah Residen Priangan Jonkheer Ribert LS van der Capellen, dan menjadi murid Sekolah Raja yang baru didirikan Van der Capellen.
Payen sangat terkesan dengan kemampuan artistik Raden Saleh yang waktu itu baru berusia 12 tahun. Raden Saleh kemudian dipungut sebagai murid oleh Payen. Dari Payen, Raden Saleh pertama kali mendapat pelajaran menggambar dan melukis.
Dugaan Payen diawal ternyata benar, Raden Saleh memiliki bakat tersembunyi dalam bidang melukis. Dengan mengambil contoh dari Payen, Raden Saleh kecil membuat lukisan-lukisan cat air yang mengesankan mengenai tipe-tipe orang Jawa.
Pada tahun 1829, Raden Saleh memperoleh beasiswa untuk belajar di Eropa, suatu hal yang sangat luar biasa pada masa itu. Van der Capellen merupakan orang yang sangat berjasa dalam keberangkatan Raden Saleh ke Negeri Belanda.
Raden Saleh akhirnya berangkat ke Negeri Belanda dengan menumpang kapal sebagai klerek Inspektur Keuangan De Linge. Dia menetap di Negeri Kincir Angin itu hingga tahun 1837 untuk belajar melukis pada Schelfhout dan Kruseman.
Selama di Belanda, segala aktivitas Raden Saleh mendapat pengawasan dari JC Baud, Gubernur Jenderal yang baru, kemudian menjadi Menteri Daerah Jajahan Hindia Belanda. Lewat Baud inilah, Raden Saleh bisa mengenal Cornelis Kruseman.
Dalam sehari, Raden Saleh belajar melukis di sanggar lukis Kruseman selama empat jam. Namun hal itu tidak lama, sebab Raden Saleh meninggalkan Kreseman dan menjalin hubungan dengan pelukis lain yang juga terkenal Andreas Schelfhout.
Saat bersama Schelfhout inilah, Raden Saleh banyak menyalin lukisan para pelukis Belanda ternama, terutama lukisan Stie Banteng) karya Potter yang sangat menarik minatnya. Karakter hewan sangat menarik lukisan Raden Saleh.
Ketika beasiswanya berakhir, Raden Saleh yang merasa betah di Negeri Belanda awalnya tidak mau dipulangkan ke Jawa. Karena semua masalah keuangannya selama di Belanda ditanggung pemerintah dan dia punya sanggar sendiri.
Perlakuan Pemerintah Hindia Belanda terhadap Raden Saleh terkesan memanjakan dia. Padahal, pemerintah melakukan itu bukan untuk kesejahteraan Raden Saleh, melainkan karena tidak tahu lagi apa yang mesti dilakukan terhadap pelukis itu.
Raden Saleh merupakan orang Indonesia pertama yang mendapat pendidikan modern di Negeri Belanda dan pelopor mahasiswa yang belajar di Negeri Belanda. Pendidikan yang didapat Raden Saleh akan berbahaya ketika dia sampai di Jawa.
Apalagi saat itu Perang Jawa 1825-1830 yang dipimpin Pangeran Diponegoro baru saja selesai ditumpas. Dengan adanya Raden Saleh, bukan mustahil jika Perang Jawa babak kedua terjadi lagi dengan Raden Saleh sebagai pemimpinnya.
Karena dianggap terlalu berbahaya, akhirnya beasiswa Raden Saleh diperpanjang selama dua tahun. Ketika waktu dua tahun itu habis pada 1837, Pemerintah Hindia Belanda kembali dihadapkan dengan masalah yang sama terkait kepulangan Raden Saleh.
Akhirnya diputuskan agar Raden Saleh melakukan perjalanan studi ke luar negeri dengan tujuan Jerman. Tetapi pemerintah menemui kendala besar, yakni Raden Saleh tidak bisa berbahasa Prancis dan terpaksa harus kursus terlebih dahulu.
Setelah dua tahun mengikuti kursus bahasa Prancis, Raden Saleh akhirnya berangkat ke Jerman. Perjalanan Raden Saleh ke Jerman, tercatat pada Mei 1839. Di sini, Raden Saleh menetap selama lima tahun. Dia tinggal di Dresden.
Selama tinggal di Jerman, Raden Saleh menjalin persahabatan dengan para bangsawan negara itu, seperti Groot-Hertog van Saksen-Coburg-Gotha, saudara-saudari Ratu Viktoria. Lewat Groothertog itu pula dia mengenal Hertogin dari Kent.
Pada 1844, Raden Saleh kembali ke Negeri Belanda. Saat itu, dia telah dikenal sebagai pelukis besar. Raja Willem II lalu menerima dan memberinya anugerah penghormatan Bintang Eikenkroon, suatu tanda penghargaan dari Luxemburg.
Setelah menerima penghargaan itu, Raden Saleh kembali ke luar negeri. Tujuannya kali ini adalah Paris. Di Negeri Mode itu, Raden Saleh mendapat kehormatan besar bertemu dengan Raja Louis Philippe dan melakukan audiensi dengannya.
Saat audiensi itu, penampilan Raden Saleh yang nyentrik terlihat mencolok, mendapat perhatian banyak orang. Dia dijuluki Pangeran Jawa atau Pangeran Jalma, seorang tokoh Ler juif errant (Yahudi Pengembara) dalam roman karangan Eugene Sue.
Di Paris ini jugalah Raden Saleh bertemu dengan pelukis Horace Vernet dan dengan dialah Raden Saleh tinggal di Aljazair selama beberapa waktu. Dari Paris, Raden Saleh kembali ke Belanda dan bertemu Raja Willem III.
Raden Saleh kemudian diangkat sebagai pelukis istana, Pelukis Raja. Inilah puncak karir melukis Raden Saleh. Raden Saleh juga diangkat sebagai anggota pada Lembaga Bahasa, Sejarah, dan Antropologi Hindia Belanda (KITLV).
Pada 1851, Raden Saleh akhirnya kembali ke Jawa dan menikah dengan seorang wanita Eropa tuan tanah kaya Nona Winkelman. Pernikahan ini tidak berlangsung lama, mereka bercerai dan Raden Saleh menikah lagi dengan seorang wanita Jawa.
Kekhawatiran Pemerintah Hindia Belanda kepada Raden Saleh ternyata tidak pernah terbukti. Meski menyimpan simpati terhadap perjuangan para elite bangsawan Jawa dalam Perang Jawa, Raden Saleh tidak pernah berbuat seperti yang dituduhkan.
Sebaliknya, di Jawa, Raden Saleh banyak membuat karya besarnya. Terutama dalam melukis karakter binatang buas yang sangat dikaguminya. Untuk mendapatkan model lukisannya, dia membangun tempat untuk binatang-binatang langka.
Tempat itu saat ini dikenal sebagai Kebun Binatang Jakarta. Selain melukis binatang, Raden Saleh juga gemar melukis wajah manusia, pemandangan alam, dan adegan sejarah sesuai dengan selera pelukis-pelukis romantik Prancis masa itu.
Lukisan peristiwa sejarah Raden Saleh yang sangat terkenal adalah Penangkapan Pangeran Diponegoro. Lukisan ini merupakan bentuk simpati Raden Saleh terhadap pemimpin elite bangsawan Jawa yang melakukan pemberontakan dalam Perang Jawa.
Lukisan itu diselesaikan Raden Saleh pada 1859. Dalam lukisannya, Raden Saleh menempatkan Pangeran Diponegoro sebagai pemenang bermoral, yang berjalan ke tahanan dengan mata menantang, tidak gentar menghadapi sedadu Belanda yang menawannya.
Lukisan itu juga diartikan sebagai pembacaan Raden Saleh atas Perang Jawa dengan tokoh sentralnya Pangeran Diponegoro yang ditipu secara licik dan ditangkap oleh Jenderal HM de Kock, pagi 28 Maret 1830, di luar Rumah Karesidenan di Magelang.
Surat kabar Javasche Courant pada 3 Februari 1855 memberitakan, pada pagi hari, pukul 6.30 Wib, Pangeran Diponegoro yang menjadi tahanan negara meninggal dunia, di Fort Benteng Rotterdam, Makassar, pada umur 74 tahun.
Jasadnya dimakamkan petang hari itu juga, menurut ketentuan agama Islam yang sempurna, disertai dengan penghormatan yang sesuai dengan martabat kelahirannya. Sesuai dengan permintaan almarhum, dia dimakamkan di Kampung Melayu, Makassar.
Makam itu berdekatan dengan pusara anak laki-lakinya Raden Mas Sarkuma yang meninggal dunia pada Maret 1849. Berita kematian Pangeran Diponegoro ini dibaca oleh Radeh Saleh yang kemudian tergerak untuk membuat lukisan tentangnya.
Lukisan itu kemudian menjadi penting, karena memberikan penafsiran lain dari lukisan serupa hasil karya Nicolaas Pieneman (1809-1860) yang berada di Rijks Museum Amsterdam yang menempatkan Pangeran Diponegoro sebagai pemberontak.
Menurut Peter Carey, penulis buku Asal Usul Perang Jawa, Pemberontakan Sepoy dan Lukisan Raden Saleh, lukisan Pieneman kelihatan kaku dan bersifat resmi dari sudut pandang penjajah Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Sementara dalam lukisan Raden Saleh, tampak adanya penjiwaan yang begitu dalam oleh suasana kesedihan dan drama yang menjadi ciri khas seni lukis romantik, di mana tampak sikap keras Kompeni dan wajah sedu pengikut Diponegoro.
Sementara ekspresi Pangeran Diponegoro dalam lukisan itu berdiri tegak menantang, menunjukkan sikap perlawanan. Meski secara politik Raden Saleh condong berpihak pada monarkhi, tetapi dalam lukisan itu sikap ini sama sekali tidak terlihat.
Saat ini, lukisan karya Raden Saleh yang sangat masyur itu masih bisa disaksikan di Puri Bhakti Renatama, Museum Istana Presiden Republik Indonesia (RI). Inilah salah satu peninggalan Raden Saleh yang sangat berharga bagi bangsa ini.
Akhirnya, pada 1875, Raden Saleh kembali mengunjungi Eropa. Kali ini bersama istrinya yang orang Jawa. Di sana, dia diterima oleh raja dan langsung menuju ke kediaman musim panas Groothertog Saksen-Coburg-Gotha.
Kunjungan itu merupakan yang terakhir kalinya bagi Raden Saleh. Setelah kembali ke Jawa pada 1878, sesudah berkunjung juga ke Italia, dua tahun kemudian Raden Saleh meninggal dunia, di Bogor 23 April 1880. Sampai di sini ulasan Cerita Pagi, semoga bermanfaat .
Sumber Tulisan
*Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Batas-batas Pembaratan, Jilid 1, PT Gramedia Pustaka Utama, 2000.
*Marthias Dusky Pandoe, Jernih Melihat Cermat Mencatat, Antologi Karya Jurnalistik Wartawan Senior Kompas, Cetakan Pertama, Mei 2010.
*MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, PT Serambi Ilmu Semesta, Cetakan I, November 2008.
*Alwi Shahab, Saudagar Baghdad dari Betawi, Penerbit Republika, 2004.
*Seno Gumira Ajidarma, Surat dari Palmerah, Indonesia dalam Politik Mehong, 1996-1999, KPG, Cetakan Pertama, April 2002.
*Harry A Poeze, Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, KPG, Cetakan I, Juli 2008.
Meski dalam beberapa hal masih samar, riwayat hidup Raden Saleh menampilkan sosok kehidupan artis yang "romantik". Raden Saleh adalah keturunan ningrat, keluarga bupati terkenal. Tempat kelahirannya diketahui di Terbaya, dekat Semarang.
Salah seorang nenek moyangnya berasal dari Arab. Hal itu diketahui dari gelar Sjarif dalam namanya. Ayahnya bernama Sayyid Hoesen bin Albi bin Awal bin Jahja dan ibunya Mas Adjeng Zarip Hoesen adalah cucu dari Sayyid Abdoellah Boestaman.
Masa kecilnya hanya sedikit diketahui orang, kecuali saat masih kanak-kanak dia bertemu dengan AAJ Payen dari Belgia yang sedang diperbantukan sebagai pelukis oleh Prof Reinwardt, saat melakukan perjalanan keliling Jawa.
Prof Reinwardt adalah pendiri Kebun Raya Bogor yang saat itu masih bernama Buitenzorg, dan menjadi Direktur Pertanian, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan Pemerintah Hindia Belanda untuk daerah Jawa dan pulau-pulau yang ada di sekitarnya.
Dalam perjalan mereka ke Cianjur, Payen bertemu Raden Saleh. Saat itu, Raden Saleh tinggal di rumah Residen Priangan Jonkheer Ribert LS van der Capellen, dan menjadi murid Sekolah Raja yang baru didirikan Van der Capellen.
Payen sangat terkesan dengan kemampuan artistik Raden Saleh yang waktu itu baru berusia 12 tahun. Raden Saleh kemudian dipungut sebagai murid oleh Payen. Dari Payen, Raden Saleh pertama kali mendapat pelajaran menggambar dan melukis.
Dugaan Payen diawal ternyata benar, Raden Saleh memiliki bakat tersembunyi dalam bidang melukis. Dengan mengambil contoh dari Payen, Raden Saleh kecil membuat lukisan-lukisan cat air yang mengesankan mengenai tipe-tipe orang Jawa.
Pada tahun 1829, Raden Saleh memperoleh beasiswa untuk belajar di Eropa, suatu hal yang sangat luar biasa pada masa itu. Van der Capellen merupakan orang yang sangat berjasa dalam keberangkatan Raden Saleh ke Negeri Belanda.
Raden Saleh akhirnya berangkat ke Negeri Belanda dengan menumpang kapal sebagai klerek Inspektur Keuangan De Linge. Dia menetap di Negeri Kincir Angin itu hingga tahun 1837 untuk belajar melukis pada Schelfhout dan Kruseman.
Selama di Belanda, segala aktivitas Raden Saleh mendapat pengawasan dari JC Baud, Gubernur Jenderal yang baru, kemudian menjadi Menteri Daerah Jajahan Hindia Belanda. Lewat Baud inilah, Raden Saleh bisa mengenal Cornelis Kruseman.
Dalam sehari, Raden Saleh belajar melukis di sanggar lukis Kruseman selama empat jam. Namun hal itu tidak lama, sebab Raden Saleh meninggalkan Kreseman dan menjalin hubungan dengan pelukis lain yang juga terkenal Andreas Schelfhout.
Saat bersama Schelfhout inilah, Raden Saleh banyak menyalin lukisan para pelukis Belanda ternama, terutama lukisan Stie Banteng) karya Potter yang sangat menarik minatnya. Karakter hewan sangat menarik lukisan Raden Saleh.
Ketika beasiswanya berakhir, Raden Saleh yang merasa betah di Negeri Belanda awalnya tidak mau dipulangkan ke Jawa. Karena semua masalah keuangannya selama di Belanda ditanggung pemerintah dan dia punya sanggar sendiri.
Perlakuan Pemerintah Hindia Belanda terhadap Raden Saleh terkesan memanjakan dia. Padahal, pemerintah melakukan itu bukan untuk kesejahteraan Raden Saleh, melainkan karena tidak tahu lagi apa yang mesti dilakukan terhadap pelukis itu.
Raden Saleh merupakan orang Indonesia pertama yang mendapat pendidikan modern di Negeri Belanda dan pelopor mahasiswa yang belajar di Negeri Belanda. Pendidikan yang didapat Raden Saleh akan berbahaya ketika dia sampai di Jawa.
Apalagi saat itu Perang Jawa 1825-1830 yang dipimpin Pangeran Diponegoro baru saja selesai ditumpas. Dengan adanya Raden Saleh, bukan mustahil jika Perang Jawa babak kedua terjadi lagi dengan Raden Saleh sebagai pemimpinnya.
Karena dianggap terlalu berbahaya, akhirnya beasiswa Raden Saleh diperpanjang selama dua tahun. Ketika waktu dua tahun itu habis pada 1837, Pemerintah Hindia Belanda kembali dihadapkan dengan masalah yang sama terkait kepulangan Raden Saleh.
Akhirnya diputuskan agar Raden Saleh melakukan perjalanan studi ke luar negeri dengan tujuan Jerman. Tetapi pemerintah menemui kendala besar, yakni Raden Saleh tidak bisa berbahasa Prancis dan terpaksa harus kursus terlebih dahulu.
Setelah dua tahun mengikuti kursus bahasa Prancis, Raden Saleh akhirnya berangkat ke Jerman. Perjalanan Raden Saleh ke Jerman, tercatat pada Mei 1839. Di sini, Raden Saleh menetap selama lima tahun. Dia tinggal di Dresden.
Selama tinggal di Jerman, Raden Saleh menjalin persahabatan dengan para bangsawan negara itu, seperti Groot-Hertog van Saksen-Coburg-Gotha, saudara-saudari Ratu Viktoria. Lewat Groothertog itu pula dia mengenal Hertogin dari Kent.
Pada 1844, Raden Saleh kembali ke Negeri Belanda. Saat itu, dia telah dikenal sebagai pelukis besar. Raja Willem II lalu menerima dan memberinya anugerah penghormatan Bintang Eikenkroon, suatu tanda penghargaan dari Luxemburg.
Setelah menerima penghargaan itu, Raden Saleh kembali ke luar negeri. Tujuannya kali ini adalah Paris. Di Negeri Mode itu, Raden Saleh mendapat kehormatan besar bertemu dengan Raja Louis Philippe dan melakukan audiensi dengannya.
Saat audiensi itu, penampilan Raden Saleh yang nyentrik terlihat mencolok, mendapat perhatian banyak orang. Dia dijuluki Pangeran Jawa atau Pangeran Jalma, seorang tokoh Ler juif errant (Yahudi Pengembara) dalam roman karangan Eugene Sue.
Di Paris ini jugalah Raden Saleh bertemu dengan pelukis Horace Vernet dan dengan dialah Raden Saleh tinggal di Aljazair selama beberapa waktu. Dari Paris, Raden Saleh kembali ke Belanda dan bertemu Raja Willem III.
Raden Saleh kemudian diangkat sebagai pelukis istana, Pelukis Raja. Inilah puncak karir melukis Raden Saleh. Raden Saleh juga diangkat sebagai anggota pada Lembaga Bahasa, Sejarah, dan Antropologi Hindia Belanda (KITLV).
Pada 1851, Raden Saleh akhirnya kembali ke Jawa dan menikah dengan seorang wanita Eropa tuan tanah kaya Nona Winkelman. Pernikahan ini tidak berlangsung lama, mereka bercerai dan Raden Saleh menikah lagi dengan seorang wanita Jawa.
Kekhawatiran Pemerintah Hindia Belanda kepada Raden Saleh ternyata tidak pernah terbukti. Meski menyimpan simpati terhadap perjuangan para elite bangsawan Jawa dalam Perang Jawa, Raden Saleh tidak pernah berbuat seperti yang dituduhkan.
Sebaliknya, di Jawa, Raden Saleh banyak membuat karya besarnya. Terutama dalam melukis karakter binatang buas yang sangat dikaguminya. Untuk mendapatkan model lukisannya, dia membangun tempat untuk binatang-binatang langka.
Tempat itu saat ini dikenal sebagai Kebun Binatang Jakarta. Selain melukis binatang, Raden Saleh juga gemar melukis wajah manusia, pemandangan alam, dan adegan sejarah sesuai dengan selera pelukis-pelukis romantik Prancis masa itu.
Lukisan peristiwa sejarah Raden Saleh yang sangat terkenal adalah Penangkapan Pangeran Diponegoro. Lukisan ini merupakan bentuk simpati Raden Saleh terhadap pemimpin elite bangsawan Jawa yang melakukan pemberontakan dalam Perang Jawa.
Lukisan itu diselesaikan Raden Saleh pada 1859. Dalam lukisannya, Raden Saleh menempatkan Pangeran Diponegoro sebagai pemenang bermoral, yang berjalan ke tahanan dengan mata menantang, tidak gentar menghadapi sedadu Belanda yang menawannya.
Lukisan itu juga diartikan sebagai pembacaan Raden Saleh atas Perang Jawa dengan tokoh sentralnya Pangeran Diponegoro yang ditipu secara licik dan ditangkap oleh Jenderal HM de Kock, pagi 28 Maret 1830, di luar Rumah Karesidenan di Magelang.
Surat kabar Javasche Courant pada 3 Februari 1855 memberitakan, pada pagi hari, pukul 6.30 Wib, Pangeran Diponegoro yang menjadi tahanan negara meninggal dunia, di Fort Benteng Rotterdam, Makassar, pada umur 74 tahun.
Jasadnya dimakamkan petang hari itu juga, menurut ketentuan agama Islam yang sempurna, disertai dengan penghormatan yang sesuai dengan martabat kelahirannya. Sesuai dengan permintaan almarhum, dia dimakamkan di Kampung Melayu, Makassar.
Makam itu berdekatan dengan pusara anak laki-lakinya Raden Mas Sarkuma yang meninggal dunia pada Maret 1849. Berita kematian Pangeran Diponegoro ini dibaca oleh Radeh Saleh yang kemudian tergerak untuk membuat lukisan tentangnya.
Lukisan itu kemudian menjadi penting, karena memberikan penafsiran lain dari lukisan serupa hasil karya Nicolaas Pieneman (1809-1860) yang berada di Rijks Museum Amsterdam yang menempatkan Pangeran Diponegoro sebagai pemberontak.
Menurut Peter Carey, penulis buku Asal Usul Perang Jawa, Pemberontakan Sepoy dan Lukisan Raden Saleh, lukisan Pieneman kelihatan kaku dan bersifat resmi dari sudut pandang penjajah Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.
Sementara dalam lukisan Raden Saleh, tampak adanya penjiwaan yang begitu dalam oleh suasana kesedihan dan drama yang menjadi ciri khas seni lukis romantik, di mana tampak sikap keras Kompeni dan wajah sedu pengikut Diponegoro.
Sementara ekspresi Pangeran Diponegoro dalam lukisan itu berdiri tegak menantang, menunjukkan sikap perlawanan. Meski secara politik Raden Saleh condong berpihak pada monarkhi, tetapi dalam lukisan itu sikap ini sama sekali tidak terlihat.
Saat ini, lukisan karya Raden Saleh yang sangat masyur itu masih bisa disaksikan di Puri Bhakti Renatama, Museum Istana Presiden Republik Indonesia (RI). Inilah salah satu peninggalan Raden Saleh yang sangat berharga bagi bangsa ini.
Akhirnya, pada 1875, Raden Saleh kembali mengunjungi Eropa. Kali ini bersama istrinya yang orang Jawa. Di sana, dia diterima oleh raja dan langsung menuju ke kediaman musim panas Groothertog Saksen-Coburg-Gotha.
Kunjungan itu merupakan yang terakhir kalinya bagi Raden Saleh. Setelah kembali ke Jawa pada 1878, sesudah berkunjung juga ke Italia, dua tahun kemudian Raden Saleh meninggal dunia, di Bogor 23 April 1880. Sampai di sini ulasan Cerita Pagi, semoga bermanfaat .
Sumber Tulisan
*Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Batas-batas Pembaratan, Jilid 1, PT Gramedia Pustaka Utama, 2000.
*Marthias Dusky Pandoe, Jernih Melihat Cermat Mencatat, Antologi Karya Jurnalistik Wartawan Senior Kompas, Cetakan Pertama, Mei 2010.
*MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, PT Serambi Ilmu Semesta, Cetakan I, November 2008.
*Alwi Shahab, Saudagar Baghdad dari Betawi, Penerbit Republika, 2004.
*Seno Gumira Ajidarma, Surat dari Palmerah, Indonesia dalam Politik Mehong, 1996-1999, KPG, Cetakan Pertama, April 2002.
*Harry A Poeze, Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, KPG, Cetakan I, Juli 2008.
(san)