Hakim Tolak Saksi dari Kejaksaan

Jum'at, 08 April 2016 - 19:46 WIB
Hakim Tolak Saksi dari Kejaksaan
Hakim Tolak Saksi dari Kejaksaan
A A A
SURABAYA - Hakim tunggal sidang permohonan praperadilan atas penetapan Ketua Umum Kadin Jatim La Nyalla Mattalitti sebagai tersangka, Ferdinandus, menolak dua saksi fakta yang diajukan oleh pihak termohon Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, yaitu Dandeni Herdiana dan Andre.

Hakim menolak kedua saksi itu karena merupakan bagian dari pihak termohon. Keduanya adalah penyidik di Kejati Jatim.

"Sesuai UU Kejaksaan, kejaksaan adalah satu kesatuan. Jadi tidak mungkin jaksa bersaksi untuk dirinya sendiri," tegas Ferdinandus dalam lanjutan sidang praperadilan La Nyalla di PN Surabaya, Jumat (8/4/2016).

Keputusan hakim itu langsung diprotes keras oleh pihak Kejati. Alilah dari Kejati Jatim mengajukan sejumlah argumentasi, yang lalu ditanggapi oleh Fahmi Bachmid dari Tim Advokat Kadin Jatim. Tanggapan kuasa hukum pemohon itu direaksi keras oleh Alilah dengan berteriak kencang,"Tolong dengarkan saya!"

Suasana gaduh pun tercipta. Aristo Pangaribuan dari Tim Advokat Kadin Jatim menenangkan suasana. "Ibu, mohon jangan berteriak-teriak. Ini persidangan," ujar Aristo.

Hakim Ferdinandus pun tetap pada keputusannya. "Tidak bisa jaksa bersaksi untuk dirinya sendiri," tegasnya lalu mengetuk palu.

Kedua saksi dari Kejati Jatim itu pun diminta dengan hormat meninggalkan ruang persidangan.

Sementara itu, Tim Advokat Kadin Jatim Aristo Pangaribuan mengatakan, proses penetapan tersangka terhadap La Nyalla mengingkari HAM terkait pidana. La Nyalla dinyatakan tersangka tanpa pernah diperiksa sebagai calon tersangka sebagaimana dipersyaratkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014.

Yang ironis, sambung dia, saksi ahli dari termohon, Adnan P, menyatakan, saat penyelidikan pun sebenarnya sudah bisa ditetapkan adanya tersangka. Padahal, kata Aristo, tersangka hanya bisa ditetapkan saat tahap penyidikan. Penyelidikan hanyalah tahap awal pemeriksaan, di mana bisa dinaikkan ke tahap penyidikan untuk mengetahui ada atau tidak adanya penyidikan.

"Bahaya kalau pemahamannya seperti itu, artinya kita menganut crime control mode. Yang penting orang dipenjara tanpa due process. Pikiran begini artinya penegak hukum dipenuhi prasangka bersalah, bukan praduga tak bersalah. Ini bahaya karena memeriksa orang dengan pikiran-pikiran jahat yang ada di benaknya. Ditarget dulu, cari alasan belakangan," tegasnya.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0586 seconds (0.1#10.140)