Mohammad Hatta, Pribadinya dalam Kenangan

Senin, 14 Maret 2016 - 05:12 WIB
Mohammad Hatta, Pribadinya dalam Kenangan
Mohammad Hatta, Pribadinya dalam Kenangan
A A A
MOHAMMAD HATTA adalah sosok manusia Indonesia yang paling komplet. Dia jujur, pintar menjaga rahasia, teguh memegang prinsip, sederhana, dan setia dengan cita-cita sosialisme-demokrasi.

Hari ini, Senin 14 Maret 2016 adalah peringatan 36 tahun meninggalnya Mohammad Hatta. Banyak hal yang bisa dipetik dari pribadi Proklamator Kemerdekaan Indonesia dan pemimpin bangsa itu.

Menarik diperhatikan adalah bagaimana Bung Hatta di tengah kesibukannya sebagai pemimpin rakyat sekaligus menjadi kepala keluarga di rumah, dan Bung Hatta sebagai seorang manusia biasa.

Cerita Pagi akan berusaha mengulas pribadi Hatta menurut kenangan keluarga dan orang terdekatnya. Seperti apa ulasannya? Dimulai saat Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia.

Bung Hatta sebagai Manusia Biasa


Mohammad Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia pada 1 Desember 1956. Keputusan ini diambil Hatta dengan pertimbangan yang sangat matang dan mendapat dukungan dari keluarga Hatta.

Setelah tidak lagi menjabat sebagai Wakil Presiden, Bung Hatta dan keluarga langsung pindah dari Jalan Merdeka Selatan 13 menuju Jalan Diponegoro 57 yang ditempati Prof Aulia.

Menjadi manusia biasa tidak mudah bagi Bung Hatta. Meski demikian dia berusaha tetap tegar dan tidak pernah menyesali keputusan yang telah dibuatnya. Caranya, dengan bekerja lebih keras lagi.

Uang pensiunnya tidak pernah mencukupi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari. Untuk menambah keuangan keluarga, Hatta terpaksa menambah penghasilan dari menulis buku dan mengajar sebagai dosen.

Meski begitu, kehidupan keluarga Bung Hatta tetap saja kekurangan. Hal ini menimbulkan keprihatinan dari para sahabatnya yang berada di luar negeri dan mengundangnya untuk pergi melakukan kunjungan ke luar negeri.

Setelah beberapa tahun berlalu, ekonomi Bung Hatta tetap saja memburuk. Bahkan sekedar membeli kopi dan gula saja Bung Hatta tidak mampu. Hal ini pernah menjadi bahan olok-olokan keluarga Hatta.

"Mestinya kita taruh saja bokor di tengah rumah, supaya tamu-tamu mengganti biaya pengeluaran teh kopi yang disuguhkan kepada mereka," cetus salah seorang anggota keluarga Hatta.

Reaksi Hatta saat mendengar olok-olok yang tidak lucu itu langsung marah. Sejak itu, tidak ada anggota keluarga lainnya yang berani mengolok-olok kemiskinan yang tengah dialami Hatta dan keluarganya.

Cobaan lain yang dirasa berat bagi Hatta adalah saat menerima tagihan rekening listrik yang tinggi. Dengan terkejut, Hatta berkata, "Bagaimana saya bisa membayarnya dengan pensiun saya?"

"Kalau tidak ingat Yuke, saya tidak berkeberatan hanya memakai lampu tempel (telpok) saja." Kata itu diucapkan Hatta dengan ekspresi yang sungguh-sungguh dan tanpa olok-olok merendahkan.

Kemudian Hatta menulis sepucuk surat kepada Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin agar semua tagihan listriknya dipotong langsung dari uang pensiun yang diterimanya setiap bulan.

Saat membaca surat dari Hatta, Ali Sadikin merasa sangat prihatin setelah melihat tingginya tagihan listrik terhadap keluarga Hatta dan kecilnya uang pensiun yang diterimanya setiap bulan.

Jawaban Ali Sadikin atas surat Hatta saat itu adalah menanggung seluruh biaya listrik dan air leideng keluarga Hatta. Keputusan Gubernur DKI Jakarta itu disambut gembira oleh keluarga Hatta.

Pada 1978, saat Sri Sultan Hamengku Buwono IX akan mengakhiri masa jabatannya sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia kedua, besaran uang pensiun Wakil Presiden Indonesia ditinjau ulang.

Akhirnya, besaran uang pensiun Wakil Presiden Republik Indonesia dinaikkan dan secara otomatis besaran pensiun yang diterima Bung Hatta setiap bulannya juga ikut naik menyesuaikan.

Bung Hatta sebagai Negarawan Pemberi Teladan


Mohammad Hatta adalah seorang negarawan sejati. Dia memiliki prinsip yang tidak bisa digoyang, bahkan oleh orang-orang terdekatnya sekalipun. Sikapnya yang tegas dan lemah lembut itu menjadi teladan bagi keluarganya.

Seperti yang terjadi pada tahun 1950-an. Saat itu, Hatta masih menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia. Istri Hatta, Rahmi Hatta sedang menabung untuk membeli mesin jahit. Tetapi tiba-tiba terjadi pemotongan nilai mata uang.

Sebagai pejabat tinggi negara, tentu Hatta mengetahui hal itu. Tetapi dia tidak pernah menceritakan rencana pemotongan nilai mata uang itu sebelumnya kepada sang istri, hingga membuat istrinya sangat kecewa dan marah.

"Aduh, ayah.. Mengapa tidak bilang terlebih dahulu bahwa akan diadakan pemotongan uang? Yaa, uang tabungan kita tidak ada gunanya lagi! Untuk membeli mesin jahit sudah tidak bisa lagi, tidak ada harganya lagi," terang Rahmi Hatta.

Saat mendengar keluhan dari istrinya itu, Hatta menjelaskan, bahwa rahasia negara harus dijaga. Bahkan dari keluarganya sendiri. Di sini, Bung Hatta ingin menunjukkan sikapnya sebagai negarawan sejati kepada keluarganya.

"Rahasia negara adalah tetap rahasia. Sungguhpun saya bisa percaya padamu, tetapi rahasia ini tidak patut dibocorkan kepada siapapun. Biarlah kita rugi sedikit, demi kepentingan seluruh negara," jawab Hatta coba menenangkan istrinya.

Keteladan Hatta yang juga menarik ditulis adalah saat peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ABRI, pada 4 Oktober 1974, di Lapangan Parkir Senayan. Saat itu, Hatta sudah tidak lagi menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia.

Meski usia Hatta saat itu sudah lanjut, saat diminta hadir pukul 7.00 Wib, dirinya tetap datang. Bahkan, dia sudah berangkat pukul 6.30 Wib. Rahmi Hatta yang khawatir dengan kesehatan Hatta sempat mencegahnya berangkat.

"Ah, buat apa datang ke sana ayah? Ayah toh sekarang harus menjaga kesehatan, dan ayah toh tidak akan dipedulikan orang juga.. Sekarang kan banyak orang lupa kepada Bung Hatta?" terang Rahmi coba mencegah Hatta.

Reaksi Hatta saat mendengar keluhan istrinya sangat prihatin. Namun, dengan sabar dia mengatakan, biar saja orang-orang melupakan Hatta, karena dirinya tidak akan melupakan Angkatan Perang Republik Indonesia.

"Biar saja orang lupa kepada saya. Bagi Kak Hatta itu tidak penting. Cukup hati saya saja yang tahu bahwa sayalah yang dulu juga mendirikan Angkatan Perang Republik Indonesia," papar Hatta dengan sabar.

Kecintaan Hatta kepada ABRI semakin tampak saat dirinya memutuskan tidak mau menginjakkan kakinya lagi di Singapura setelah negara itu menghukum dua orang tentara Indonesia dengan cara digantung. Bagi Hatta, ini penghinaan.

Meski demikian, dia tidak melarang anak-anak dan keluarganya yang lain untuk pergi ke Singapura. Baginya, ini adalah soal prinsip. Untuk itu, setiap mendapat undangan ke Singapura, Hatta selalu menolaknya dengan halus.

Sikap Hatta ini diketahui oleh keluarganya, namun tidak pernah disampaikan langsung kepada para sahabatnya yang sering mengundang dia ke Singapura. Pihak keluarga pun tidak mencoba menggoyahkan pendirian Hatta.

Bung Hatta sebagai Kepala Keluarga


Sebagai seorang kepala keluarga, Bung Hatta dikenal sangat tegas dan cintanya sangat dalam. Kehidupan keluarga merupakan inti yang sangat penting baginya. Mencintai keluarga, bagi Bung Hatta sama dengan mendidiknya.

Anak pertama Hatta, Meutia Farida Swasono mempunyai kenangan yang dalam tentang pribadi ayahnya itu. Saat Hatta masih menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia, kesibukan Hatta sangat padat.

Dia tidak pernah bisa menemani anaknya sepanjang hari, seperti mengantar membeli baju, pergi ke toko buku, atau sekedar jalan-jalan ke pasar membelikan jepitan rambut. Namun, dia selalu mengganti waktu hilangnya itu dengan liburan.

"Kami sering bermain bersama, terutama di villa Megamendung. Kami bersenang bersama, bertendang-tendangan bola, balapan lari di pekarangan.. Saya juga suka naik ke atas punggungnya, meski beliau sedang menerima tamu," kenang Meutia.

Pagi harinya, mereka berjalan-jalan ke bukit teh dan masuk hutan di kawasan villa. Dan pada malamnya, dengan sikap yang rapi, Meutia mendengarkan dongengan Hatta yang diceritakan dari buku karangan Hans Christian Andersen.

Meski kegiatan serupa itu tidak sering dilakukan, namun kesempatan yang ada sangat dimanfaatkan oleh Hatta hingga sangat membekas di hati Farida. Bahkan menjadi kenangan yang sangat manis untuk diceritakan.

Kepada istrinya Rahmi Hatta, sikap Hatta juga sangat manis. Seperti saat keduanya sedang pergi bersama-sama. Hatta selalu memperhatikan dengan seksama dari arah mana mobil dan di mana posisi matahari saat mobil melintas.

Ketika matahari berada di sebelah kanan, maka Hatta selalu meminta istrinya agar duduk di sebelah kiri. Begitupun jika matahari sedang berada di sebelah kiri, Hatta akan meminta istrinya pindah di sebelah kanan.

Perhatian kecil ini, terekam oleh Meutia, ketika mereka bepergian bersama-sama. Meski demikian, Hatta tidak pernah secara terbuka menunjukkan rasa cintanya di muka umum. Hal-hal seperti itu hanya dilakukan Hatta saat tertentu.

Dalam berkomunikasi dengan keluarga, Hatta bukan termasuk orang yang ramai. Bahkan menurut Farida, komunikasi mereka lebih banyak menggunakan batin. Jika alis Hatta berkerut artinya dia tidak senang, dan sebaliknya kalau dia tersenyum.

Pernah suatu ketika, adik Meutia, Gemala Rabiah Chalil Hatta bercerita kepada Hatta dan keluarga lainnya bahwa dirinya mendapat tawaran kerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Di waktu yang sama, ada rumah sakit swasta yang menawarkan pekerjaan kepadanya dengan gaji lebih besar. Setelah ditimang-timang, akhirnya Gemala memilih PNS, karena persoalannya bukan semata uang. Tetapi adalah karir.

Saat mendengar cerita Gemala, Hatta tidak bicara apa-apa. Dia hanya tersenyum. Hal ini dianggap oleh Gemala sebagai restu. Sebaliknya, jika reaksi Hatta saat itu mengerutkan alis, artinya Hatta tidak setuju.

Dalam mendidik anak-anaknya, Hatta selalu menekankan pentingnya membaca. Bagi Bung Hatta, membaca adalah hal pokok yang harus dicintai oleh anak-anaknya. Untuk menumbuhkan minat baca anak-anaknya, Hatta menyesuaikan dengan usia mereka.

Dengan buku-buku bacaan yang dipilihnya secara langsung, anak-anak Hatta mulai dikenalkan dengan buku bacaan. Pada usia delapan tahun, Meutia mengaku sudah memiliki buku cerita yang banyaknya sepanjang tiga deret rak buku.

Pernah suatu ketika, Meutia dipanggil Hatta. Saat itu Hatta meminta kepada Farida untuk memilih buku-buku milik Hatta untuk bahan pelajarannya. Pertemuan yang sangat menyedihkan ini membuat Farida menjaga warisan terpenting Hatta.

"Meutia, pilihlah buku-buku dari bibliotik ayah di atas yang berguna bagi studi Meutia?" kata Hatta dengan wajah tanpa ekspresi seperti percakapan-percakapan mereka biasanya. "Buat apa yah?" jawab Farida.

"Buat Meutia sendiri. Sebab kalau ayah meninggal nanti, mungkin kalian bermaksud menjual buku-buku ayah untuk biaya hidup ibu dan kalian. Meutia kan tahu, pensiun ayah.." terang Hatta terdengar sangat menyedihkan hati Meutia.

Sebelum Hatta menyelesaikan bicaranya, Meutia cepat memotong. "Jangan ayah! Saya tidak mau ambil buku ayah dari atas. Buku-buku ayah tidak boleh kami jual. Masih banyak barang-barang lain yang bisa kami jual," terang Meutia.

Buku merupakan benda yang paling dicintai Hatta. Dia mengumpulkan buku-bukunya sejak usia 19 tahun. Kemanapun Hatta pergi, dia selalu membawa buku-bukunya. Saat di pengasingan, buku-buku itulah yang menjadi teman setianya.

Saat itu, Meutia teringat dengan koleksi buku Prof M Yamin yang telah berpindah tangan ke Pertamina dan sangat tidak terurus. Bahkan banyak yang mengalami rusak akibat tidak terawat dengan baik.

Meutia tidak ingin hal itu terjadi pada buku-buku koleksi Hatta. Untuk itu, dia berjanji akan merawat semua buku-buku itu. Bahkan kalau bisa menambah jumlahnya menjadi lebih banyak lagi. Dan hal itulah yang akhirnya dilakukan.

Saat mendengar jawaban Meutia, Hatta merasa tersentuh. Bibirnya tersenyum tanda dia setuju. Setelah percakapan itu, Hatta kembali memanggil Meutia. Tetapi kali ini untuk memberikan buku The History of Java karya Thomas Stamford Raffles.

Buku itu sangat istimewa, karena berisi dua jilid, yakni jilid I dan II, terbitan tahun 1817. Hatta memberikan buku itu, karena memiliki dua seri dan sebagai hadiah ulang tahun Meutia yang ke-30.

Bung Hatta Diakhir Hayatnya


Kesehatan Bung Hatta semakin menurun pada 1979. Saat itu, Hatta sudah mulai sakit-sakitan. Meski begitu, Hatta tetap mengikuti perkembangan politik nasional dan dunia. Perhatiannya terhadap masalah kebangsaan tidak pernah luntur.

Pada tahun baru 1980, Hatta dan keluarga masih sempat berlibur ke vila Megamendung. Saat itu, Hatta masih sempat berbicara tentang politik dunia. Analisanya tetap tajam. Dia bahkan sempat meramalkan bahwa Indira Gandhi akan menang.

Analisa Hatta terbukti benar. Indira Gandhi terpilih lagi menjadi Perdana Menteri India. Pada 3 Maret 1980, kesehatan Hatta bertambah buruk. Dia masuk Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Paviliun Cendrawasih.

Hatta dirawat hingga 13 Maret 1980 dipindah ke ruang perawatan intensif RSCM. Tidak sampai 24 jam setelah dipindahkan, pada 14 Maret 1980, Hatta menghembuskan nafas terakhirnya.

Sebelum Hatta menghembuskan nafas terakhirnya, Fatmawati datang membesuk ke rumah sakit. Saat itu, Fatwamati menuntun Hatta dalam doa. "Sebutlah nama Allah bung! Allah.. Allah.. Allahu Akbar.." Bung Hatta mengikuti dengan susah payah.

Beberapa jam setelah mengucap "Allahu Akbar," Bung Hatta tidak sadarkan diri dan akhirnya meninggal dunia. Dua bulan kemudian, tepat pada tanggal yang sama, Fatmawati dengan mendadak berpulang ke Rahmatullah.

Sebelum meninggal, Hatta pernah berpesan kepada keluarga ingin dikuburkan di tengah-tengah rakyat yang sangat dicintainya. Presiden Soeharto lalu menguburkan jenazah Hatta di Pemakaman Tanah Kusir, Jakarta.

Sampai di sini ulasan singkat Cerita Pagi tentang pribadi Mohammad Hatta diakhiri. Semoga memberikan manfaat.

Sumber Tulisan:
*Meutia Farida Swasono, Bung Hatta, Peribadinya dalam Kenangan, Penerbit Sinar Harapan bekerja sama dengan Penerbit Universitas Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta 1980.
*Salman Alfarizi, Mohammad Hatta, Biografi Singkat 1902-1980, Garasi, Cetakan III, 2010.
*Dr Deliar Noer, Mohammad Hatta, Hati Nurani Bangsa, PT Kompas Media Nusantara, April 2012.
*Hatta, Mohammad, Mohammad Hatta Memoir, Tinta Mas Jakarta, 1979.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2763 seconds (0.1#10.140)