Nabiel Ghali Azumi, Rampungkan Novel meski Tak Bisa Melihat
A
A
A
PONOROGO - Cacat fisik atau disabilitas bukan hambatan untuk terus berkarya. Di Ponorogo, Jawa Timur, seorang siswa SMA penyandang tunanetra, Nabiel Ghali Azumi, mampu menjadi penulis puisi, cerita pendek, serta novel. Bahkan, novel buah karyanya dicetak dua kali.
Nafas sang Pekat. Begitu judul novel karya Nabiel. Novel setebal 130 halaman itu bercerita tentang perjalanan hidup seorang bocah penyandang tunanetra sejak lahir.
Keluarganya berharap agar sang anak bisa sembuh dan hidup normal, bisa melihat seperti kebanyakan bocah seusianya. Namun, ternyata kebutaan itu tak bisa disembuhkan. Sang bocah pun menerima kenyataan ini dengan pasrah.
Nabiel adalah pelajar kelas 1 SMA Muhammadiyah Ponorogo yang tinggal di pondok khusus tunanetra Muhammadiyah di Jalan Ukel Ponorogo.
Sehari-hari, Nabiel tinggal bersama penyandang tunanetra di pondok ini. Di sela-sela kesibukannya sekolah, dia menyempatkan diri untuk menulis.
Kebetulan, ia sudah terbiasa menulis cerpen dan fabel sejak masih kelas 3 SDLB.
Saat dikenalkan dengan aplikasi tombol font bersuara di laptopnya, Nabiel kian semangat menulis. Setelah enam bulan, akhirnya karyanya dibukukan dalam bentuk novel, berjudul Nafas sang Pekat. Kini novelnya sudah dicetak untuk kedua kalinya karena banyaknya permintaan.
Nabiel mengaku masih akan terus menulis dan membuat novel lagi. Baginya, tak bisa melihat bukan halangan untuk berkarya.
"Saya berpesan agar semua tunanetra dan difabel, teruslah berkarya. Jangan menjadi beban orang lain," ujarnya.
Nafas sang Pekat. Begitu judul novel karya Nabiel. Novel setebal 130 halaman itu bercerita tentang perjalanan hidup seorang bocah penyandang tunanetra sejak lahir.
Keluarganya berharap agar sang anak bisa sembuh dan hidup normal, bisa melihat seperti kebanyakan bocah seusianya. Namun, ternyata kebutaan itu tak bisa disembuhkan. Sang bocah pun menerima kenyataan ini dengan pasrah.
Nabiel adalah pelajar kelas 1 SMA Muhammadiyah Ponorogo yang tinggal di pondok khusus tunanetra Muhammadiyah di Jalan Ukel Ponorogo.
Sehari-hari, Nabiel tinggal bersama penyandang tunanetra di pondok ini. Di sela-sela kesibukannya sekolah, dia menyempatkan diri untuk menulis.
Kebetulan, ia sudah terbiasa menulis cerpen dan fabel sejak masih kelas 3 SDLB.
Saat dikenalkan dengan aplikasi tombol font bersuara di laptopnya, Nabiel kian semangat menulis. Setelah enam bulan, akhirnya karyanya dibukukan dalam bentuk novel, berjudul Nafas sang Pekat. Kini novelnya sudah dicetak untuk kedua kalinya karena banyaknya permintaan.
Nabiel mengaku masih akan terus menulis dan membuat novel lagi. Baginya, tak bisa melihat bukan halangan untuk berkarya.
"Saya berpesan agar semua tunanetra dan difabel, teruslah berkarya. Jangan menjadi beban orang lain," ujarnya.
(zik)