Soeharto, Antara Fakta dan Rekayasa

Senin, 01 Februari 2016 - 05:05 WIB
Soeharto, Antara Fakta dan Rekayasa
Soeharto, Antara Fakta dan Rekayasa
A A A
PRESIDEN SOEHARTO mangkat pada 27 Januari 2008. Kendati baru delapan tahun berlalu, sosoknya sudah mulai dilupakan orang. Bagaimana bisa orang yang berkuasa selama 32 tahun lamanya dengan mudah dilupakan begitu saja?

Cerita Pagi hari ini akan berusaha mengulas secara ringkas riwayat hidup pendiri Orde Baru yang penuh kontroversi itu. Seperti apa ulasan kisahnya? Berikut sari yang berhasil dihimpun.

Kontroversi Kelahirannya

Pada 1974, Majalah POP menurunkan berita tentang asal usul Soeharto. Dikatakan, Soeharto yang lahir pada 8 Juni 1921, di Dusun Kemusuk, Desa Godean, Yogyakarta, adalah keturunan seorang bangsawan.

Dalam berita itu disebutkan ayah Soeharto bernama Padmodipuro, keturunan Sultan Yogyakarta Hamengkubuwono II. Sementara menurut versi resmi, ayahnya bernama Kartosudiro dan ibunya Sukirah.

Saat usianya enam tahun, Soeharto dan ibunya dibuang ke Desa Kertorejo, karena ayahnya Padmodipuro ingin menikah lagi dengan seorang putri kepala distrik yang berpengaruh. Berita ini kontan membuat geger.

Tetapi sebenarnya kabar burung mengenai asal usul Soeharto sudah banyak beredar saat itu. Sebelum heboh Majalah POP, Soeharto juga pernah digosipkan sebagai anak haram Sultan Yogya Hamengkubuwono VIII.

Mantan tetangga dan sahabat Soeharto, Mashuri bahkan mengatakan bahwa ayah kandung Soeharto adalah seorang pedagang keliling keturunan China. Namun semua kabar itu dibantah Soeharto.

Menurut Soeharto, semua gosip yang beredar sengaja dibuat untuk menjatuhkan wibawa dirinya dan Orde Baru. Untuk menepis semua isu itu, dia mengumpulkan seluruh wartawan dari dalam dan luar negeri.

Dalam keterangannya terhadap pers, Soeharto mengatakan dirinya adalah seorang anak petani miskin dari Kemukus. Masa kecilnya kelam, hidupnya selalu berpindah-pindah, menumpang dari satu rumah ke rumah lain.

Sejak kecil, Soeharto tidak mengenal belaian kasih sayang ayah dan ibu. Orangtuanya cerai saat dia sangat membutuhkan kasih sayang. Lebih jauh, Soeharto menganggap dirinya sebagai orang yang paling miskin dan menderita.

Keterangan Soeharto itu dirasa berlebihan. Sebab faktanya dia masih bisa merasakan bangku sekolahan yang hanya bisa dinikmati oleh anak-anak orang kaya waktu itu dan bukan oleh anak-anak petani miskin.

Penulis biografi Soeharto yang karyanya dinilai paling manusiawi, RE Elson malah meragukan kemiskinan yang diceritakan Soeharto. Menurutnya, ayah Soeharto bukan warga desa biasa dan masuk kategori mampu.

Kehidupan desa yang banyak mendapat perhatian Soeharto dalam buku otobiografinya dinilai sebagai kenangan romantis terhadap masyarakat desa dan hanya sebagai kerja sampingan dari kesibukan utamanya sebagai pelajar.

Pengikut Kebatinan


Pendidikan Soeharto memang tidak setinggi para pendiri bangsa lainnya seperti Tan Malaka, Mohammad Hatta dan Soekarno. Dia juga tidak pernah menunjukkan minatnya terhadap buku-buku bacaan yang mencerminkan kaum intelektual.

Soeharto tidak pernah menunjukkan perhatiannya untuk belajar bahasa Belanda atau bahasa asing lainnya. Dia bahkan tidak pernah berinteraksi dengan orang Eropa yang menunjukkan tidak adanya kesadaran penjajahan terhadap Tanah Air-nya.

Meski demikian, justru hal itulah yang membentuk pribadinya. Berbagai kesengsaraan hidup di masa kecilnya, telah menempa wataknya menjadi seorang anak yang mandiri dan tahan banting dari cobaan hidup yang berat.

Selama sekolah, kecerdasan Soeharto tidak menonjol. Dia murid yang biasa-biasa saja. Pendidikan modern tidak membekas dalam pribadinya. Sebaliknya, ajaran-ajaran filsafah hidup masyarakat petani Jawa-lah yang merasuki jiwanya.

Soeharto mendalami kebudayaan luhur Jawa dari Kiai Daryatmo. Ajaran dan petuah-petuah dari Kiai Daryatmo inilah yang lebih mengena dan masuk ke dalam pribadi Soeharto, ketimbang pendidikannya di bangku sekolah.

Kepada guru spiritualnya itu, Soeharto banyak berkonsultasi tentang ajaran kesehatan, agama dan filosofis. Tidak hanya menyerap, Soeharto menjalani praktik peribadatan dan ritual yang diajarkan Kiai Daryatmo di kehidupan sehari-harinya.

Melalui ajaran kebatinan Kiai Daryatmo dan pelajaran yang ditempuhnya hingga sekolah menengah, serta pengalaman hidup di masa kanak-kanak yang pahit, Soeharto menjadi pribadi yang selalu melihat ke dalam dan bukan ke luar.

Watak Soeharto yang selalu melihat ke dalam dan mementingkan diri sendiri ini, dalam kajian psikologi dinyatakan telah membentuk sikap machiavellian dan authoritariannya dalam memimpin dan mempertahankan Orde Baru.

Komandan Soto Babat


Peran Soeharto dalam revolusi kemerdekaan Indonesia yang terbesar dan selalu dibanggakan adalah saat terjadinya Serangan 1 Maret 1949. Kepahlawanan Soeharto dalam peristiwa itu bahkan telah difilmkan (Janur Kuning dan Serangan Fadjar).

Sedemikian hebatnya kah Soeharto? Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Asvi Warman Adam meragukannya. Menurutnya konseptor dari Serangan Oemoem 1 Maret 1949 itu bukanlah Soeharto dan perannya tidak seperti yang ada dalam film.

Peristiwa yang dikenal dengan enam jam di Yogya itu adalah pengusiran tentara Belanda dari Yogya yang ketika itu menjadi Ibu Kota RI dalam waktu enam jam. Dalam serangan itu, pasukan Indonesia memakai janur kuning pada dadanya.

Jumlah pasukan Indonesia saat itu yang terdiri dari unsur pemuda, berjumlah 2.000 personel. Pemakaian janur kuning itu untuk mengenali pasukan lawan dan kawan. Serangan Oemoem 1 Maret 1949 itu sebenarnya ide Sultan Hamengkubuwono IX.

Saat itu, Soeharto adalah komandan pelaksana serangan dan bukan konseptornya. Saat terjadi perang hebat di seluruh Yogya dan pasukan Indonesia yang berada di bawah komando Latief terdesak mundur, berjumpalah mereka dengan Soeharto.

Saat bertemu Latief saat itu, Soeharto sedang asyik makan soto babat, sementara ribuan tentara dan pemuda Indonesia sedang berperang mati-matian mengusir Belanda. Inilah jasa terbesar Soeharto yang selalu dibanggakan hingga kini.

Menginjak Lubang


Karir militer Soeharto pernah mengalami masa kritis. Peristiwa itu terjadi saat dia menjadi Panglima Komandan Divisi Diponegoro (Kodam). Diam-diam, Soeharto menjalin hubungan bisnis dengan pengusaha China, Liem Sioe Liong.

Dengan alasan demi kepentingan Kodam, Soeharto melakukan barter dan penyelundupan untuk kantong pribadi. Inilah kasus korupsi pertama yang dilakukan pendiri Orde Baru itu. Akibat praktik korup ini, karir militer Soeharto nyaris tamat.

Menteri Panglima Angkatan Darat Mayjen A Yani yang mengetahui hal itu langsung marah besar. AH Nasution lalu mengusulkan agar Soeharto diadili di Mahkamah Militer dan dipecat dari Angkatan Darat (AD) karena membuat malu tentara.

Namun Wakasad Mayjen Gatot Subroto mengusulkan kepada Presiden Soekarno agar Soeharto diampuni dan disekolahkan di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung. Presiden setuju dengan ide Gatot Subroto dan Soeharto diselamatkan.

Selama mengikuti pendidikan di Seskoad inilah kemampuan militer Soeharto semakin matang. Dia mulai membangun jaringannya sendiri. Kubu Soeharto ini lahir disaat kepercayaan Amerika Serikat (AS) terhadap Nasution mulai luntur.

Jaringan Soeharto itu disebut juga Trio Soeharto-Yoga Soegama-Ali Moertopo. Mereka inilah para pendiri Orde Baru yang kemudian menggulingkan Orde Lama Soekarno dan menghancurkan musuh politik AS, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI).

Bintangnya Bersinar


Meski sempat menginjak lubang, Soeharto sanggup bangkit kembali. Karirnya dalam Seskoad bahkan menjadi lebih bersinar dari sebelumnya. Sinar itu semakin terang saat Soeharto memegang Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.

Surat itu berisi mandat kepada Soeharto untuk melakukan pengamanan di Jakarta terkait meletusnya Gerakan 30 September 1965. Melalui surat itu, pada 12 Maret 1966 Soeharto langsung mengeluarkan keputusan membubarkan PKI.

Keputusan untuk membubarkan PKI dilanjutkan dengan penangkapan dan penahanan 15 orang menteri dengan tuduhan terlibat G30S. Keputusan Soeharto yang di luar dugaan itu kontan mengagetkan Presiden Soekarno.

Dia lantas mengirim surat kepada Soeharto pada 14 Maret 1966. Isi surat itu mengingatkan Soeharto bahwa Supersemar yang berada ditangannya merupakan surat perintah pengamanan teknis untuk wilayah khusus Jakarta dan sekitarnya.

Surat itu kemudian dibawa oleh Leimena dan diserahkan kepada Soeharto. Lebih mengejutkan lagi reaksi Soeharto saat itu. Dia menolak teguran Soekarno dan mengatakan kepada Leimena, bahwa dia bertanggung jawab terhadap semuanya.

Soeharto bahkan melanjutkan aksinya dengan menangkapi sejumlah menteri lainnya. Penangkapan juga dilakukan terhadap tiga orang menteri PKI. Ketiganya adalah DN Aidit, Njoto dan Lukman. Mereka ditangkap hidup-hidup.

Setelah sempat diinterogasi, ketiganya langsung ditembak mati secara terpisah tanpa proses pengadilan dan dilaporkan terlebih dahulu kepada Presiden. Pembunuhan ketiga orang menteri tanpa hukum itu merupakan perbuatan biadab.

Pembunuhan terhadap menteri PKI, juga dilakukan terhadap massa PKI di sejumlah daerah. Pelaku pembunuhan adalah tentara, organisasi massa yang dibina tentara, dan partai politik yang mendukung Orde Baru.

Pembantaian sangat keji itu sangat sulit dilukiskan dengan kata-kata. Nyawa manusia menjadi sangat tidak berharga, mayat dibiarkan membusuk di pinggir jalan, memenuhi sungai dan bau amis darah manusia di mana-mana. Sangat mengerikan!

Soeharto yang diberi wewenang mengamankan Jakarta dan wilayah sekitarnya malah menebar teror di mana-mana. Situasi menjadi sangat kacau. Namun begitu Soeharto terus melangkah lebih jauh dengan membongkar pasang keanggotan DPRGR.

Selesai dengan DPRGR, MPRS yang telah dikuasi Orde Baru melaksanakan sidang untuk mengukuhkan Supersemar dari surat pengamanan menjadi surat penyerahan kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Soeharto.

Sejak itu sidang-sidang digelar untuk memangkas kekuasaan Presiden Soekarno. Dimulai dengan mencabut ketetapan MPRS Juni 1963 yang menyatakan Soekarno sebagai Presiden Seumur Hidup dan memberikan kuasa kepada Soeharto untuk menyusun kabinet.

Kabinet Ampera Soekarno pun dihancurkan dan diganti dengan Kabinet Dwikora Soeharto. Kabinet ini tidak berada di bawah Presiden Soekarno, tetapi langsung di bawah Soeharto yang menyusun kabinet dan pemegang Supersemar.

Sejak itu, bintang Soeharto bersinar terang. Puncaknya yang pertama terjadi pada 7 Maret 1967. MPRS menggelar sidang istimewa yang menurunkan Soekarno dan menyerahkan kepemimpinan kepada Soeharto sebagai Pejabat Presiden.

Untuk memperkuat posisinya dan mencegah kembali tumbuhnya gerakan perlawanan terhadap Orde Baru, Soeharto membuat benteng yang sangat kokoh dengan mengeluarkan kebijakan tentara punya hak sosial politik tidak terbatas.

Bangsa gotong royong yang didirikan pada 17 Agustus 1945 pun runtuh, digantikan dengan kekuasaan yang otoriter. Setelah 32 tahun berkuasa, Soeharto akhirnya ditumbangkan dengan sangat memalukan oleh mahasiswa yang pernah ditungganginya.

Sumber Tulisan
Bagus Takwin, Hamdi Muluk, Niniek L Karim, Soeharto: Ramuan Kecerdasan dan Masa Kecil yang Liat, Komunitas Bambu, Cetakan I, 2001.
Dr H Soebandrio, Yang Saya Alami, Peristiwa G30 S, PT Bumi Intitama Sejahtera, Cetakan Pertama, Mei 2006.
G Dwipana dan Ramadhan KH, Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, PT Citra Lamtoro Gung Persada, Cetakan Kedua, 1989.
RE Elson, Suharto, Sebuah Biografi Politik, Pustaka Minda Utama, Cetakan Ketiga, Januari 2000.
Asvi Warman Adam, Sulitnya Menilai Suharto, dikutip dalam RE Elson, Suharto, Sebuah Biografi Politik, Pustaka Minda Utama, Cetakan Ketiga, Januari 2000.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.6167 seconds (0.1#10.140)