Kisah Mardiyem, Pemain Sandiwara yang Menjadi Jugun Ianfu
A
A
A
JUGUN IANFU adalah perempuan penghibur yang dipaksa untuk melayani dan memuaskan nafsu tentara Jepang. Sama halnya dengan pekerja paksa atau romusha, para jugun ianfu diambil paksa dari desa-desa di pedalaman.
Bedanya, para jugun ianfu dilakukan secara sembunyi-sembunyi di bawah tangan. Dengan menggunakan tipu muslihat disertai ancaman, para jugun ianfu dijadikan budak seks para tentara dan petugas sipil Jepang di Indonesia.
Dengan menggunakan sistem tertutup seperti itu, Pemerintah Militer Jepang banyak dibantu oleh para pejabat daerah seperti lurah, camat, dan tonarigumi. Mereka menawarkan dan memaksa para perempuan muda mengikuti program pengerahan tenaga kerja.
Tidak jarang dalam aksinya itu, para tentara Jepang mendatangi langsung rumah gadis yang diincarnya. Seperti diungkapkan langsung oleh mantan jugun ianfu asal Yogyakarta yang orangtuanya dipanggil lurah.
Dikatakannya, anaknya itu akan dididik oleh Jepang, disekolahkan di Balikpapan dan setelah lulus akan dipekerjakan di kantor. Namun, itu hanya tipu muslihat. Anaknya yang masih berumur 15 tahun dijadikan jugun ianfu selama enam bulan.
Para perempuan yang menjadi jugun ianfu rata-rata berpendidikan rendah, bahkan tidak berpendidikan dan buta huruf. Selain karena kebodohan yang menjeratnya, mereka juga terdesak oleh kebutuhan ekonomi sehingga saat ditawarkan kerja mau saja.
Tidak hanya lurah dan camat, dokter dan para pejabat tinggi maupun rendah di Indonesia juga turut menyumbang para jugun ianfu. Mereka dianggap memiliki akses tersendiri bagi kaum perempuan di desa dan kota.
Perekrutan jugun ianfu juga dilakukan melalui jalur hiburan. Seperti yang dialami pemain sandiwara keliling dari grup Pantja Soerja Mardiyem. Pada awalnya, Mardiyem diimingi untuk jadi penyanyi di Kalimantan.
Lantaran bosan menjadi abdi dalem pada keluarga bangsawan Jawa di Suryotarunan, dia akhirnya mau saja dibujuk Jepang. Tetapi, sesampainya di sana dia malah dijadikan budak seks para tentara Jepang yang pulang dari perang.
Para jugun ianfu banyak berasal dari keluarga baik-baik dan berusia di bawah umur. Tetapi ada juga yang telah bersuami dan memiliki anak. Mereka mengikuti perintah Jepang untuk dijadikan budak seks karena takut dipancung jika menolak.
Para perempuan yang dijadikan jugun ianfu kemudian dimasukkan ke rumah-rumah bordil ala Jepang yang telah disiapkan dan biasa disebut lanjo. Temopat ini merupakan asrama peninggalan Belanda, markas militer Jepang dan rumah penduduk.
Masing-masing jugun ianfu akan menempati satu kamar yang telah diberi nomor dan mendapatkan nama Jepang. Seperti Mardiyem yang namanya diganti Momoye. Penggantian nama ini untuk dimaksudkan untuk mengingatkan kampung halaman.
Mardiyem termasuk satu dari 24 perempuan angkatan pertama yang dijadikan jugun ianfu yang ditempatkan di lanjo Telawang, sebuah kampung di pinggiran Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Bersama Mardiyem, ada Giyah yang namanya diganti Sakura.
Selama di Lanjo Telawang, Giyah menjadi idola para tentara Jepang. Dalam hari ke hari, badannya menjadi sangt kurus dan akhirnya meninggal. Mayat Giyah kemudian ditumpuk bersama mayat-mayat romusha dan dibiarkan membusuk di Pasar Lama.
Melihat peristiwa itu, Mardiyem melakukan protes. Meski mendapatkan siksaan dari para serdadu Jepang, tetapi akhirnya dia dan perempuan lainnya berhasil menguburkan mayat Giyah di pemakaman umum layaknya manusia.
Sebelum menjalani tugas sebagai budak seks, para jugun ianfu menjalani pemeriksaan kesehatan yang sangat merendahkan martabat. Mereka ditelanjangi dan tubuhnya digerayangi, lalu alat vitalnya dimasukkan besi panjang.
Jika ditekan, ujung besi panjang itu akan mengembang dan membuka alat kelamin menjadi lebih lebar. Alat yang dikenal dengan sebutan cocor bebek ini, tentara Jepang dapat mengetahui penyakit kelamin jugun ianfu.
Mardiyem menjadi jugun ianfu saat masih berusia 13 tahun dan belum mengalami haid. Dia mengaku, pertama kali diperkosa oleh tentara Jepang berambut berewok yang merupakan pembantu dokter tentara yang memeriksa kesehatannya.
Pada hari pertama itu, Mardiyem diperkosa oleh enam orang tentara, padahal saat itu dia sudah mengalami pendarahan. Hari pertama diperkosa itu, Mardiyem mengaku sempat ingin bunuh diri, tetapi urung karena bertemu almahhum ayahnya dalam mimpi.
Ketika dia berusia 15 tahun, Mardiyem dipaksa untuk menggugurkan kandungannya yang telah berusia lima bulan dengan cara ditekan perutnya dengan paksa oleh dokter tanpa melalui pembiusan. Setelah itu, dia dipaksa melayani pengelola lanjo.
Saat itu Mardiyem memberanikan diri menolak, tetapi sebagai gantinya dia disiksa secara fisik dengan sangat hebat. Dia mendapat pukulan dan tendangan berkali-kali hingga mengalami cacat fisik dan trauma.
Siksaan yang dialami Mardiyem juga dialami oleh para jugun ianfu lainnya. Apalagi saat tentara yang akan memperkosanya dalam keadaan mabuk dan sering kali dalam kondisi seperti itu. Sehingga tidak jarang para jugun ianfu pingsan.
Setiap tentara dan kalangan sipil yang datang ke lanjo harus antre untuk mendapatkan karcis dan kondom. Namun sebagian pengunjung lonji tidak pernah mau menggunakan kondom saat melakukan pemerkosaan.
Sistem karcis ini digunakan untuk memungut bayaran dari tentara dan sipil. Biaya yang dikenakan pada siang hari bagi tentara adalah 2,5 rupiah, sedangkan bagi sipil 3,5 rupiah mulai sore pukul 17.00-24.00.
Bagi merek yang ingin menggunakan jasa jugun ianfu sampai pagi dikenakan biaya 12,5 rupiah. Meski begitu, para jugun ianfu tidak pernah menerima pembayaran uang itu dengan alasan sebagai tebusan jika mereka berhenti menjadi jugun ianfu.
Namun janji itu tidak pernah direalisasikan. Para jugun ianfu yang ingin berhenti bekerja tidak pernah dikasih. Sebaliknya, mereka akan mendapatkan siksaan kembali yang lebih hebat. Sehingga tidak jarang jugun ianfu yang bunuh diri.
Selain wanita pribumi, tentara Jepang juga mengambil para perempuan Belanda menjadi jugun ianfu. Mereka diambil paksa dari kamp interniran Ambarawa, Jawa Tengah ke tempat pelacuran yang berada tidak jauh dari sana.
Perempuan-perempuan bule bermata biru sangat diminati para tentara Jepang. Salah satu di antaranya bercerita, para tentara Jepang sangat senang mengelus-elus rambutnya yang pirang. Tetapi lambat laun dijambak secara kasar.
Dalam sehari, para wanita bule ini diperkosa oleh lima hingga 10 tentara Jepang. Mereka tidak diperbolehkan keluar rumah pelacuran dan harus tinggal di kamar seharian menunggu diperkosa. Kebanyakan mereka menjadi gila.
Menurut Katoppo, korban jugun ianfu tentara Jepang berjumlah 200.000 perempuan di Asia. Sebanyak 10.000 di antaranya adalah para perempuan Indonesia. Sedang perempuan Belanda yang dijadikan jugun ianfu mencapai 100 orang.
Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Perawan Remaja sempat merekam pengalaman pedih para jugun ianfu dalam novelnya. Semua pengalaman para jugun ianfu itu didapat dari sesama tapol yang dibuang ke Pulau Buru.
Sumber Tulisan
*Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia, Balai Pustaka, 2008.
*Catatan Kaki dalam Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan, Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI, Galangpress, Cetakan I, 2010.
*Pramoedya Ananta Toer, Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, KPG, Cetakan Kelima, Februari 2007.
Bedanya, para jugun ianfu dilakukan secara sembunyi-sembunyi di bawah tangan. Dengan menggunakan tipu muslihat disertai ancaman, para jugun ianfu dijadikan budak seks para tentara dan petugas sipil Jepang di Indonesia.
Dengan menggunakan sistem tertutup seperti itu, Pemerintah Militer Jepang banyak dibantu oleh para pejabat daerah seperti lurah, camat, dan tonarigumi. Mereka menawarkan dan memaksa para perempuan muda mengikuti program pengerahan tenaga kerja.
Tidak jarang dalam aksinya itu, para tentara Jepang mendatangi langsung rumah gadis yang diincarnya. Seperti diungkapkan langsung oleh mantan jugun ianfu asal Yogyakarta yang orangtuanya dipanggil lurah.
Dikatakannya, anaknya itu akan dididik oleh Jepang, disekolahkan di Balikpapan dan setelah lulus akan dipekerjakan di kantor. Namun, itu hanya tipu muslihat. Anaknya yang masih berumur 15 tahun dijadikan jugun ianfu selama enam bulan.
Para perempuan yang menjadi jugun ianfu rata-rata berpendidikan rendah, bahkan tidak berpendidikan dan buta huruf. Selain karena kebodohan yang menjeratnya, mereka juga terdesak oleh kebutuhan ekonomi sehingga saat ditawarkan kerja mau saja.
Tidak hanya lurah dan camat, dokter dan para pejabat tinggi maupun rendah di Indonesia juga turut menyumbang para jugun ianfu. Mereka dianggap memiliki akses tersendiri bagi kaum perempuan di desa dan kota.
Perekrutan jugun ianfu juga dilakukan melalui jalur hiburan. Seperti yang dialami pemain sandiwara keliling dari grup Pantja Soerja Mardiyem. Pada awalnya, Mardiyem diimingi untuk jadi penyanyi di Kalimantan.
Lantaran bosan menjadi abdi dalem pada keluarga bangsawan Jawa di Suryotarunan, dia akhirnya mau saja dibujuk Jepang. Tetapi, sesampainya di sana dia malah dijadikan budak seks para tentara Jepang yang pulang dari perang.
Para jugun ianfu banyak berasal dari keluarga baik-baik dan berusia di bawah umur. Tetapi ada juga yang telah bersuami dan memiliki anak. Mereka mengikuti perintah Jepang untuk dijadikan budak seks karena takut dipancung jika menolak.
Para perempuan yang dijadikan jugun ianfu kemudian dimasukkan ke rumah-rumah bordil ala Jepang yang telah disiapkan dan biasa disebut lanjo. Temopat ini merupakan asrama peninggalan Belanda, markas militer Jepang dan rumah penduduk.
Masing-masing jugun ianfu akan menempati satu kamar yang telah diberi nomor dan mendapatkan nama Jepang. Seperti Mardiyem yang namanya diganti Momoye. Penggantian nama ini untuk dimaksudkan untuk mengingatkan kampung halaman.
Mardiyem termasuk satu dari 24 perempuan angkatan pertama yang dijadikan jugun ianfu yang ditempatkan di lanjo Telawang, sebuah kampung di pinggiran Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Bersama Mardiyem, ada Giyah yang namanya diganti Sakura.
Selama di Lanjo Telawang, Giyah menjadi idola para tentara Jepang. Dalam hari ke hari, badannya menjadi sangt kurus dan akhirnya meninggal. Mayat Giyah kemudian ditumpuk bersama mayat-mayat romusha dan dibiarkan membusuk di Pasar Lama.
Melihat peristiwa itu, Mardiyem melakukan protes. Meski mendapatkan siksaan dari para serdadu Jepang, tetapi akhirnya dia dan perempuan lainnya berhasil menguburkan mayat Giyah di pemakaman umum layaknya manusia.
Sebelum menjalani tugas sebagai budak seks, para jugun ianfu menjalani pemeriksaan kesehatan yang sangat merendahkan martabat. Mereka ditelanjangi dan tubuhnya digerayangi, lalu alat vitalnya dimasukkan besi panjang.
Jika ditekan, ujung besi panjang itu akan mengembang dan membuka alat kelamin menjadi lebih lebar. Alat yang dikenal dengan sebutan cocor bebek ini, tentara Jepang dapat mengetahui penyakit kelamin jugun ianfu.
Mardiyem menjadi jugun ianfu saat masih berusia 13 tahun dan belum mengalami haid. Dia mengaku, pertama kali diperkosa oleh tentara Jepang berambut berewok yang merupakan pembantu dokter tentara yang memeriksa kesehatannya.
Pada hari pertama itu, Mardiyem diperkosa oleh enam orang tentara, padahal saat itu dia sudah mengalami pendarahan. Hari pertama diperkosa itu, Mardiyem mengaku sempat ingin bunuh diri, tetapi urung karena bertemu almahhum ayahnya dalam mimpi.
Ketika dia berusia 15 tahun, Mardiyem dipaksa untuk menggugurkan kandungannya yang telah berusia lima bulan dengan cara ditekan perutnya dengan paksa oleh dokter tanpa melalui pembiusan. Setelah itu, dia dipaksa melayani pengelola lanjo.
Saat itu Mardiyem memberanikan diri menolak, tetapi sebagai gantinya dia disiksa secara fisik dengan sangat hebat. Dia mendapat pukulan dan tendangan berkali-kali hingga mengalami cacat fisik dan trauma.
Siksaan yang dialami Mardiyem juga dialami oleh para jugun ianfu lainnya. Apalagi saat tentara yang akan memperkosanya dalam keadaan mabuk dan sering kali dalam kondisi seperti itu. Sehingga tidak jarang para jugun ianfu pingsan.
Setiap tentara dan kalangan sipil yang datang ke lanjo harus antre untuk mendapatkan karcis dan kondom. Namun sebagian pengunjung lonji tidak pernah mau menggunakan kondom saat melakukan pemerkosaan.
Sistem karcis ini digunakan untuk memungut bayaran dari tentara dan sipil. Biaya yang dikenakan pada siang hari bagi tentara adalah 2,5 rupiah, sedangkan bagi sipil 3,5 rupiah mulai sore pukul 17.00-24.00.
Bagi merek yang ingin menggunakan jasa jugun ianfu sampai pagi dikenakan biaya 12,5 rupiah. Meski begitu, para jugun ianfu tidak pernah menerima pembayaran uang itu dengan alasan sebagai tebusan jika mereka berhenti menjadi jugun ianfu.
Namun janji itu tidak pernah direalisasikan. Para jugun ianfu yang ingin berhenti bekerja tidak pernah dikasih. Sebaliknya, mereka akan mendapatkan siksaan kembali yang lebih hebat. Sehingga tidak jarang jugun ianfu yang bunuh diri.
Selain wanita pribumi, tentara Jepang juga mengambil para perempuan Belanda menjadi jugun ianfu. Mereka diambil paksa dari kamp interniran Ambarawa, Jawa Tengah ke tempat pelacuran yang berada tidak jauh dari sana.
Perempuan-perempuan bule bermata biru sangat diminati para tentara Jepang. Salah satu di antaranya bercerita, para tentara Jepang sangat senang mengelus-elus rambutnya yang pirang. Tetapi lambat laun dijambak secara kasar.
Dalam sehari, para wanita bule ini diperkosa oleh lima hingga 10 tentara Jepang. Mereka tidak diperbolehkan keluar rumah pelacuran dan harus tinggal di kamar seharian menunggu diperkosa. Kebanyakan mereka menjadi gila.
Menurut Katoppo, korban jugun ianfu tentara Jepang berjumlah 200.000 perempuan di Asia. Sebanyak 10.000 di antaranya adalah para perempuan Indonesia. Sedang perempuan Belanda yang dijadikan jugun ianfu mencapai 100 orang.
Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Perawan Remaja sempat merekam pengalaman pedih para jugun ianfu dalam novelnya. Semua pengalaman para jugun ianfu itu didapat dari sesama tapol yang dibuang ke Pulau Buru.
Sumber Tulisan
*Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia, Balai Pustaka, 2008.
*Catatan Kaki dalam Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan, Politik Seksual di Indonesia Pascakejatuhan PKI, Galangpress, Cetakan I, 2010.
*Pramoedya Ananta Toer, Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, KPG, Cetakan Kelima, Februari 2007.
(san)