Tugu Juang Lobusona, Saksi Perjuangan Melawan Belanda
A
A
A
Perjuangan Indonesia melepaskan diri dari cengkeraman penjajah Belanda di kawasan Sumatera Timur, khususnya Labuhanbatu Raya, tidak terlepas dari keberadaan dataran tinggi di lereng bukit barisan Lobusona, Kecamatan Rantau Selatan, Kabupaten Labuhanbatu.
Seiring dengan perjalanan waktu, dibangunlah tugu di lokasi yang menjadi tempat berkumpulnya para pejuang yang bergerilya menentang penjajah Belanda tersebut. Tugu tersebut diberi nama Tugu Juang Lobusona.
Kawasan itu juga menjadi salah satu saksi sejarah para pejuang kemerdekaan mengusir penjajah Belanda dari daerah ini.
Konon, pejuang yang berasal dari Tapanuli Selatan, Asahan, dan Labuhanbatu kerap bertemu di lokasi tugu ini, untuk membahas penentangan terhadap penjajah Belanda. Mereka mengatur stategi perlawanan agar penjajah Belanda hengkang dari daerah ini.
Bukit Tugu Juang Lobusona cukup tersohor bagi para pejuang di Labuhanbatu sejak zaman dahulu. Selain menjadi base camp, lokasi itu juga dijadikan sebagai tempat diskusi untuk membahas tata cara melakukan gerilya menentang penjajahan Belanda.
Maka, tidak heran, pada masa itu, kawasan Tugu Juang jarang sepi di siang hari maupun malam hari. Padahal, base camp ini tanpa penerangan yang memadai kecuali hanya lampu teplok atau api unggun.
Lokasi Tugu Juang berjarak sekitar 8 km dari kota Rantauprapat. Karena itu, kawasan ini dianggap cukup strategis untuk bersembunyi dari kejaran penjajah.
Sedangkan salah satu markas Belanda pada masa itu berada tidak jauh dari Tugu Juang yakni sebuah bangunan di Jalan Lobusona. Setelah kemerdekaan diraih Indonesia, markas Belanda itu berubah fungsi menjadi Lembaga Pemasyarakatan (LP) Lobu Sona. Jaraknya hanya sekitar 3 km dari letak Tugu Juang Lobusona.
Secara geografi, daerah ini memang cocok untuk melakukan gerilya mengingat lokasinya sangat dekat dengan bukit barisan. Maka, para pejuang dapat memata-matai aktivitas tentara Belanda.
Salah seorang mantan anggota DPRD Labuhanbatu Alfie menceritakan, sesuai informasi dari pejuang atau veteran pada masa perjuangan merebut kemerdekaan, pejuang di Labuhanbatu sudah terbiasa bergerilya di sekitar bukit barisan.
Lokasi Tugu Juang yang berada di lereng bukit barisan, juga menjadi tempat istrahat bagi para pejuang setelah melakukan gerilya melawan penjajah Belanda.
"Mereka tidak kenal lelah. Pejuang kita di sini rela berkorban apa saja demi kepentingan negara ini. Mereka mengorbankan segalanya, bahkan rela jauh dari keluarganya. Tujuan perjuangan mereka adalah bebas dari kekejaman penjajah. Lokasi Tugu Juang itulah tempat bagi para pejuang di Labuhanbatu mengatur strategi perjuangan melawan Belanda," jelas Alfie.
Wakil Ketua Dewan Harian Cabang (DHC) Angkatan '45 Kabupaten Labuhanbatu Abdul Hakim Lubis mengatakan, Tugu Juang ini merupakan saksi sejarah dalam pendirian Kabupaten Labuhanbatu.
Kala itu, lokasi tersebut dijadikan tempat pertemuan para pejuang kemerdekaan dan tokoh masyarakat untuk membahas pendirian KabupatenLabuhanbatu agar tidak lagi direbut oleh penjajah Belanda.
"Jadi, di sinilah tokoh pendiri Labuhanbatu Djamaluddin Tambunan dan rekan-rekannya merumuskan pendirian Labuhanbatu."
Di dalam Tugu Juang Lobusona juga masih tersimpan secara rapi sejumlah dokumen foto perjuangan pendiri Labuhanbatu di kala zaman kemerdekaan.
Ironisnya, kata Abdul Hakim selama tahun 2015, Pemkab Labuhanbatu tidak pernah mengucurkan hibah untuk biaya perawatan dan listrik Tugu Juang. Akibatnya, biaya penjagaan nunggak selama satu tahun kepada satu keluarga yang selalu menjaga lokasi tersebut.
Jadi Tempat Pacaran
Kondisi Tugu Juang tersebut kini terkesan terabaikan pemerintah daerah. Selain lokasinya berada di tempat yang sepi, kondisi bangunan Tugu Juang ini juga tak ubahnya sebagai bangunan telantar.
Pagar besi mengelilingi bangunan Tugu Juang telah raib. Tidak ada yang tersisa dari pagar besi itu, karena sudah dipotong rata pada fondasi pagar oleh orang tidak bertanggung jawab. Kuat dugaan, potongan besi itu dijual kepada pengumpul barang bekas.
Kondisi bangunan kini tampak tidak terawat. Sedangkan patung di sisi kiri dan kanan bangunan yang menggambarkan pejuang memegang senjata bambu runcing dan senjata api dalam melawan penjajah tampak kumuh.
Catnya mulai pudar. Termasuk juga cet bendera merah putih, kini berubah warna menjadi seperti cokelat putih. Begitu juga taman yang berada di depan gambar patung itu tidak terawat. Rumput liar sudah mengelilingi tanaman bunga yang ada.
Kondisi di bagian belakang bagunan Tugu Juang terlihat lebih menyedihkan. Tembok penghias yang dibangun sebelum pembatas pagar besi yang sudah raib itu juga tampak kumuh dan lumutan.
Dua pohon kelapa sawit yang tidak terawat semakin menambah seramnya bangunan itu.Sementara, jalan mendaki menuju lokasi juga kondisinya rusak parah.
Di sepanjang jalan sekitar 800 meter mulai dari simpang empat Jalan By Pass Adam Malik (Jalinsum) sampai Tugu Juang hanya tampak sisa aspal yang sudah terkelupas menjadi tanah kuning.
Akibatnya, orang enggan berkunjung ke lokasi yang menyimpan sejarah perjuangan itu. Kecuali, sejumlah remaja yang memiliki niat untuk sekadar pacaran.
Sedangkan di sisi kiri jalan menuju Tugu Lobusona tersebut dihiasi dengan keberadaan kafe remang-remang. Kafe-kafe itu juga disebut-sebut menyediakan wanita penghibur. Kondisi itu menambah citra buruk Tugu Juang Lobusona.
"Saksi sejarah perjuangan melawan Belanda tidak terjaga dengan baik. Sejak saya anak muda sampai sekarang, lokasi ini masih dijadikan tempat pacaran," kata Surya (35), warga Rantauprapat.
Seiring dengan perjalanan waktu, dibangunlah tugu di lokasi yang menjadi tempat berkumpulnya para pejuang yang bergerilya menentang penjajah Belanda tersebut. Tugu tersebut diberi nama Tugu Juang Lobusona.
Kawasan itu juga menjadi salah satu saksi sejarah para pejuang kemerdekaan mengusir penjajah Belanda dari daerah ini.
Konon, pejuang yang berasal dari Tapanuli Selatan, Asahan, dan Labuhanbatu kerap bertemu di lokasi tugu ini, untuk membahas penentangan terhadap penjajah Belanda. Mereka mengatur stategi perlawanan agar penjajah Belanda hengkang dari daerah ini.
Bukit Tugu Juang Lobusona cukup tersohor bagi para pejuang di Labuhanbatu sejak zaman dahulu. Selain menjadi base camp, lokasi itu juga dijadikan sebagai tempat diskusi untuk membahas tata cara melakukan gerilya menentang penjajahan Belanda.
Maka, tidak heran, pada masa itu, kawasan Tugu Juang jarang sepi di siang hari maupun malam hari. Padahal, base camp ini tanpa penerangan yang memadai kecuali hanya lampu teplok atau api unggun.
Lokasi Tugu Juang berjarak sekitar 8 km dari kota Rantauprapat. Karena itu, kawasan ini dianggap cukup strategis untuk bersembunyi dari kejaran penjajah.
Sedangkan salah satu markas Belanda pada masa itu berada tidak jauh dari Tugu Juang yakni sebuah bangunan di Jalan Lobusona. Setelah kemerdekaan diraih Indonesia, markas Belanda itu berubah fungsi menjadi Lembaga Pemasyarakatan (LP) Lobu Sona. Jaraknya hanya sekitar 3 km dari letak Tugu Juang Lobusona.
Secara geografi, daerah ini memang cocok untuk melakukan gerilya mengingat lokasinya sangat dekat dengan bukit barisan. Maka, para pejuang dapat memata-matai aktivitas tentara Belanda.
Salah seorang mantan anggota DPRD Labuhanbatu Alfie menceritakan, sesuai informasi dari pejuang atau veteran pada masa perjuangan merebut kemerdekaan, pejuang di Labuhanbatu sudah terbiasa bergerilya di sekitar bukit barisan.
Lokasi Tugu Juang yang berada di lereng bukit barisan, juga menjadi tempat istrahat bagi para pejuang setelah melakukan gerilya melawan penjajah Belanda.
"Mereka tidak kenal lelah. Pejuang kita di sini rela berkorban apa saja demi kepentingan negara ini. Mereka mengorbankan segalanya, bahkan rela jauh dari keluarganya. Tujuan perjuangan mereka adalah bebas dari kekejaman penjajah. Lokasi Tugu Juang itulah tempat bagi para pejuang di Labuhanbatu mengatur strategi perjuangan melawan Belanda," jelas Alfie.
Wakil Ketua Dewan Harian Cabang (DHC) Angkatan '45 Kabupaten Labuhanbatu Abdul Hakim Lubis mengatakan, Tugu Juang ini merupakan saksi sejarah dalam pendirian Kabupaten Labuhanbatu.
Kala itu, lokasi tersebut dijadikan tempat pertemuan para pejuang kemerdekaan dan tokoh masyarakat untuk membahas pendirian KabupatenLabuhanbatu agar tidak lagi direbut oleh penjajah Belanda.
"Jadi, di sinilah tokoh pendiri Labuhanbatu Djamaluddin Tambunan dan rekan-rekannya merumuskan pendirian Labuhanbatu."
Di dalam Tugu Juang Lobusona juga masih tersimpan secara rapi sejumlah dokumen foto perjuangan pendiri Labuhanbatu di kala zaman kemerdekaan.
Ironisnya, kata Abdul Hakim selama tahun 2015, Pemkab Labuhanbatu tidak pernah mengucurkan hibah untuk biaya perawatan dan listrik Tugu Juang. Akibatnya, biaya penjagaan nunggak selama satu tahun kepada satu keluarga yang selalu menjaga lokasi tersebut.
Jadi Tempat Pacaran
Kondisi Tugu Juang tersebut kini terkesan terabaikan pemerintah daerah. Selain lokasinya berada di tempat yang sepi, kondisi bangunan Tugu Juang ini juga tak ubahnya sebagai bangunan telantar.
Pagar besi mengelilingi bangunan Tugu Juang telah raib. Tidak ada yang tersisa dari pagar besi itu, karena sudah dipotong rata pada fondasi pagar oleh orang tidak bertanggung jawab. Kuat dugaan, potongan besi itu dijual kepada pengumpul barang bekas.
Kondisi bangunan kini tampak tidak terawat. Sedangkan patung di sisi kiri dan kanan bangunan yang menggambarkan pejuang memegang senjata bambu runcing dan senjata api dalam melawan penjajah tampak kumuh.
Catnya mulai pudar. Termasuk juga cet bendera merah putih, kini berubah warna menjadi seperti cokelat putih. Begitu juga taman yang berada di depan gambar patung itu tidak terawat. Rumput liar sudah mengelilingi tanaman bunga yang ada.
Kondisi di bagian belakang bagunan Tugu Juang terlihat lebih menyedihkan. Tembok penghias yang dibangun sebelum pembatas pagar besi yang sudah raib itu juga tampak kumuh dan lumutan.
Dua pohon kelapa sawit yang tidak terawat semakin menambah seramnya bangunan itu.Sementara, jalan mendaki menuju lokasi juga kondisinya rusak parah.
Di sepanjang jalan sekitar 800 meter mulai dari simpang empat Jalan By Pass Adam Malik (Jalinsum) sampai Tugu Juang hanya tampak sisa aspal yang sudah terkelupas menjadi tanah kuning.
Akibatnya, orang enggan berkunjung ke lokasi yang menyimpan sejarah perjuangan itu. Kecuali, sejumlah remaja yang memiliki niat untuk sekadar pacaran.
Sedangkan di sisi kiri jalan menuju Tugu Lobusona tersebut dihiasi dengan keberadaan kafe remang-remang. Kafe-kafe itu juga disebut-sebut menyediakan wanita penghibur. Kondisi itu menambah citra buruk Tugu Juang Lobusona.
"Saksi sejarah perjuangan melawan Belanda tidak terjaga dengan baik. Sejak saya anak muda sampai sekarang, lokasi ini masih dijadikan tempat pacaran," kata Surya (35), warga Rantauprapat.
(zik)