Ferdinand Lumban Tobing, Dokter yang Menjadi Target Pembunuhan Jepang
A
A
A
Ferdinand lahir di Sibuluan, Sibolga, Tapanuli Tengah, pada 19 Februari 1899. Ayahnya adalah Herman Lumban Tobing. Ibunya bernama Laura Sitanggang.
Ia adalah anak keempat dari sembilan bersaudara. Pada usia 5 tahun, Ferdinand dibawa oleh ayah angkatnya, Jonathan Pasanea ke Depok dan disekolahkan di Sekolah Dasar Belanda (Europesche Lagere School).
Selepas pendidikan dasar, Ferdinand melanjutkan pendidikan sekolah dokter di STOVIA. Setamat dari STOVIA, ia bekerja sebagai dokter bagian penyakit menular di rumah sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, red).
Selama menjadi dokter, Ferdinand sering dipindahtugaskan. Beberapa tahun bekerja di CBZ, ia dipindahkan ke Tenggarong, Kalimantan Timur.
Saat bertugas di Tenggarong, dia mengalami suatu peristiwa yang mengesankan. Saat itu, Sultan Kutai menderita sakit parah. Banyak dokter dan ahli berusaha mengobati, namun gagal. Akhirnya, Ferdinand berusaha mengobati sang Sultan. Atas ridho Tuhan, usahanya berhasil. Sultan Kutai kembali sehat. Sebagai tanda terima kasih, Sultan Kutai mengangkat Ferdinand Lumban Tobing sebagai ayah.
Pada tahun 1931, dia dipindahkan ke Surabaya dan ditugaskan di bagian penyakit dalam. Tahun 1935, dia dipindahkan lagi ke daerah Tapanuli, tanah kelahirannya. Di daerah Tapanuli, pertama-tama dia ditempatkan di Padang Sidempuan, kemudian dipindahkan ke Sibolga.
Saat Ferdinand bertugas di Sibolga, Perang Dunia II berkecamuk. Di Indonesia, pasukan pendudukan Belanda mengalami kekalahan dari pasukan Jepang. Hal ini berdampak kepada bangsa Indonesia yang tadinya merupakan koloni Belanda, kemudian digantikan oleh Jepang.
Jepang ternyata tidak berbeda dengan Belanda maupun bangsa imperialis lainnya. Bahkan, kekejaman tentara Jepang melebihi tentara Belanda. Semua laki-laki dewasa diwajibkan romusha, yakni kerja paksa untuk mengerjakan pembukaan jalan, membuat benteng, dan lain-lain tanpa diupah.
Di era pendudukan Jepang ini, Ferdinand bertugas sebagai dokter pengawas kesehatan romusha. Karena itu, ia menyaksikan dengan jelas pada romusha yang saat itu membuat benteng di Teluk Sibolga, diperlakukan tidak manusiawi oleh tentara Jepang.
Hatinya berontak. Ia protes. Akibatnya, dia dicurigai dan menjadi target pembunuhan tentara Jepang. Tapi, nasib baik berpihak pada Ferdinand.
Saat itu, seorang perwira Kempetai, satuan polisi militer Jepang yang ditempatkan di seluruh wilayah Jepang termasuk daerah jajahan, bernama Inoue, mengalami kecelakaan parah saat belajar mengendarai mobil. Dokter-dokter Jepang sudah berusaha menyembuhkannya, tetapi tak berhasil. Sementara, kondisi Inoue makin gawat. Ferdinand lalu menawarkan diri untuk membantu menyembuhkan Inoue.
Awalnya, tawaran itu ditolak karena orang-orang Jepang mencurigai Ferdinand dan juga memandang rendah kemampuannya. Akhirnyam setelah tidak ada jalan lain, tawaran Ferdinand diterima.
Atas seizin Tuhan, Inoue berangsur sembuh. Inoue dan orang-orang Jepang kemudian berterima kasih dan menghormati Ferdinand Lumban Tobing. Ferdinand diangkat menjadi Ketua Dewan Perwakilan Daerah (Syu Sangi Kai) untuk Karesidenan Tapanuli pada November 1943.
Tahun 1945, Perang Dunia II berakhir. Jepang menyerah kepada pasukan Sekutu. Jepang dipaksa meninggalkan Indonesia. Indonesia pun merdeka. Di awal kemerdekaan, Ferdinand diangkat menjadi Residen Tapanuli, sejak Oktober 1945.
Namun, Pemerintah Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia. Mereka berusaha kembali merebut kemerdekaan Indonesia dengan melancarkan Agresi Militer I dan II.
Pada awal revolusi inilah Ferdinand berperan aktif mempertahankan kemerdekaan. Selanjutnya, pada Agresi Militer II, Ferdinand bersedia diangkat menjadi Gubernur Milter Tapanuli
Singkat cerita, kemerdekaan Indonesia diakui internasional. Ferdinand lalu ditawari menjadi Gubernur Provinsi Sumatera Utara yang meliputi Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli. Namun, ia menolak. Menurutnya, penggabungan tiga wilayah tersebut menjadi satu provinsi tidaklah tepat karena corak kebudayaan masing-masing daerah itu berbeda.
Pada Kabinet Ali Sastroamijoyo I (Juli 1953-Juli 1955), Ferdinand menjadi Menteri Penerangan dan Menteri Kesehatan. Ia juga pernah menjadi Menteri Urusan Hubungan Antardaerah dan terakhir menjadi Menteri Negara Urusan Transmigrasi.
Ferdinand meninggal dunia pada tanggal 7 Oktober 1962 di Jakarta. Dia dimakamkan di Kolang-Sibolga Sumatera Utara.
Pada 17 November 1962, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional kepadanya, melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 316 Tahun 1962.
Namanya kemudian diabadikan sebagai nama sebuah bandara di Kecamatan Pinangsori, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Sumber: Buku Pahlawan-Pahlawan Bangsa yang Terlupakan (Penulis Johan Prasetya, Penerbit Saufa, Agustus 2014) dan www.pahlawancenter.com.
PILIHAN:
Abdulrachman Saleh, Dokter yang Menjadi Perintis TNI AU
Ia adalah anak keempat dari sembilan bersaudara. Pada usia 5 tahun, Ferdinand dibawa oleh ayah angkatnya, Jonathan Pasanea ke Depok dan disekolahkan di Sekolah Dasar Belanda (Europesche Lagere School).
Selepas pendidikan dasar, Ferdinand melanjutkan pendidikan sekolah dokter di STOVIA. Setamat dari STOVIA, ia bekerja sebagai dokter bagian penyakit menular di rumah sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, red).
Selama menjadi dokter, Ferdinand sering dipindahtugaskan. Beberapa tahun bekerja di CBZ, ia dipindahkan ke Tenggarong, Kalimantan Timur.
Saat bertugas di Tenggarong, dia mengalami suatu peristiwa yang mengesankan. Saat itu, Sultan Kutai menderita sakit parah. Banyak dokter dan ahli berusaha mengobati, namun gagal. Akhirnya, Ferdinand berusaha mengobati sang Sultan. Atas ridho Tuhan, usahanya berhasil. Sultan Kutai kembali sehat. Sebagai tanda terima kasih, Sultan Kutai mengangkat Ferdinand Lumban Tobing sebagai ayah.
Pada tahun 1931, dia dipindahkan ke Surabaya dan ditugaskan di bagian penyakit dalam. Tahun 1935, dia dipindahkan lagi ke daerah Tapanuli, tanah kelahirannya. Di daerah Tapanuli, pertama-tama dia ditempatkan di Padang Sidempuan, kemudian dipindahkan ke Sibolga.
Saat Ferdinand bertugas di Sibolga, Perang Dunia II berkecamuk. Di Indonesia, pasukan pendudukan Belanda mengalami kekalahan dari pasukan Jepang. Hal ini berdampak kepada bangsa Indonesia yang tadinya merupakan koloni Belanda, kemudian digantikan oleh Jepang.
Jepang ternyata tidak berbeda dengan Belanda maupun bangsa imperialis lainnya. Bahkan, kekejaman tentara Jepang melebihi tentara Belanda. Semua laki-laki dewasa diwajibkan romusha, yakni kerja paksa untuk mengerjakan pembukaan jalan, membuat benteng, dan lain-lain tanpa diupah.
Di era pendudukan Jepang ini, Ferdinand bertugas sebagai dokter pengawas kesehatan romusha. Karena itu, ia menyaksikan dengan jelas pada romusha yang saat itu membuat benteng di Teluk Sibolga, diperlakukan tidak manusiawi oleh tentara Jepang.
Hatinya berontak. Ia protes. Akibatnya, dia dicurigai dan menjadi target pembunuhan tentara Jepang. Tapi, nasib baik berpihak pada Ferdinand.
Saat itu, seorang perwira Kempetai, satuan polisi militer Jepang yang ditempatkan di seluruh wilayah Jepang termasuk daerah jajahan, bernama Inoue, mengalami kecelakaan parah saat belajar mengendarai mobil. Dokter-dokter Jepang sudah berusaha menyembuhkannya, tetapi tak berhasil. Sementara, kondisi Inoue makin gawat. Ferdinand lalu menawarkan diri untuk membantu menyembuhkan Inoue.
Awalnya, tawaran itu ditolak karena orang-orang Jepang mencurigai Ferdinand dan juga memandang rendah kemampuannya. Akhirnyam setelah tidak ada jalan lain, tawaran Ferdinand diterima.
Atas seizin Tuhan, Inoue berangsur sembuh. Inoue dan orang-orang Jepang kemudian berterima kasih dan menghormati Ferdinand Lumban Tobing. Ferdinand diangkat menjadi Ketua Dewan Perwakilan Daerah (Syu Sangi Kai) untuk Karesidenan Tapanuli pada November 1943.
Tahun 1945, Perang Dunia II berakhir. Jepang menyerah kepada pasukan Sekutu. Jepang dipaksa meninggalkan Indonesia. Indonesia pun merdeka. Di awal kemerdekaan, Ferdinand diangkat menjadi Residen Tapanuli, sejak Oktober 1945.
Namun, Pemerintah Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia. Mereka berusaha kembali merebut kemerdekaan Indonesia dengan melancarkan Agresi Militer I dan II.
Pada awal revolusi inilah Ferdinand berperan aktif mempertahankan kemerdekaan. Selanjutnya, pada Agresi Militer II, Ferdinand bersedia diangkat menjadi Gubernur Milter Tapanuli
Singkat cerita, kemerdekaan Indonesia diakui internasional. Ferdinand lalu ditawari menjadi Gubernur Provinsi Sumatera Utara yang meliputi Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli. Namun, ia menolak. Menurutnya, penggabungan tiga wilayah tersebut menjadi satu provinsi tidaklah tepat karena corak kebudayaan masing-masing daerah itu berbeda.
Pada Kabinet Ali Sastroamijoyo I (Juli 1953-Juli 1955), Ferdinand menjadi Menteri Penerangan dan Menteri Kesehatan. Ia juga pernah menjadi Menteri Urusan Hubungan Antardaerah dan terakhir menjadi Menteri Negara Urusan Transmigrasi.
Ferdinand meninggal dunia pada tanggal 7 Oktober 1962 di Jakarta. Dia dimakamkan di Kolang-Sibolga Sumatera Utara.
Pada 17 November 1962, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional kepadanya, melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 316 Tahun 1962.
Namanya kemudian diabadikan sebagai nama sebuah bandara di Kecamatan Pinangsori, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Sumber: Buku Pahlawan-Pahlawan Bangsa yang Terlupakan (Penulis Johan Prasetya, Penerbit Saufa, Agustus 2014) dan www.pahlawancenter.com.
PILIHAN:
Abdulrachman Saleh, Dokter yang Menjadi Perintis TNI AU
(zik)