Abdulrachman Saleh, Dokter yang Menjadi Perintis TNI AU
A
A
A
CERITA Pagi kali ini mengisahkan sosok Abdulrachman Saleh, salah seorang perintis berdirinya Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU).
Seperti diketahui, sejarah mencatat bahwa lahirnya TNI AU tak bisa dilepaskan dari tiga sosok perintisnya yakni Adisutjipto, Abdurachman Saleh, dan Adisumarmo.
Ketiganya gugur setelah pesawat DAKOTA VT-CLA yang mereka tumpangi ditembak Belanda di daerah Ngoto, selatan Yogyakarta, 29 Juli 1947.
Siapa Abdulrachman Saleh? Dia lahir 1 Juli 1909 di Kampung Ketapang, Kwitang Barat, Jakarta. Ayahnya, dr. Mohammad Saleh, berasal dari Salatiga. Sementara, ibunya seorang gadis Jakarta.
Abdulrachman Saleh adalah anak kedua dari 11 bersaudara. Sejak kecil, Abdulrachman Saleh dan saudara-saudaranya dibiasakan hidup tertib dan mandiri. Sampai soal makanan pun sangat menjadi perhatian keluarganya.
Sebelum sekolah, Maman, panggilan Abdulrachman Saleh, selalu berpindah-pindah tempat tinggal, mulai dari Jakarta, Boyolali, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah, hingga daerah di Jawa Timur seperti Bondowoso, Pasuruan, dan Probolinggo.
Awalnya, Maman sekolah di Holland Indische School (HIS), lalu Meer Urgebreid Lagere Onderwijs (MULO). Setelah lulus, dia ingin melanjutkan studi ke School Tot Opleding van Indische Artsen (STOVIA) di Jakarta, untuk mengikuti jejak ayahnya.
Namun, baru beberapa bulan masuk STOVIA, sekolah itu dibubarkan. Pemerintah Belanda beranggapan bahwa dasar sekolah ini kurang memenuhi syarat, karena untuk menjadi dokter dibutuhkan dasar yang kuat dari Algemene Middelbare School (AMS).
Dia melanjutkan sekolah ke AMS Malang. Setelah tamat AMS, ia memasuki Geneeskundige Hooge School (GHS) di Batavia.
Masa-masa kemahasiswaannya tidak disia-siakan begitu saja. Dia aktif di bidang kemahasiswaan, begitu pula kegiatan-kegiatannya di luar fakultas. Jiwanya yang serba ingin tahu mendorongnya untuk menceburkan diri dalam organisasi-organisasi atau perkumpulan-perkumpulan yang sangat sesuai bagi dirinya.
Bakatnya di bidang olahraga sangat besar. Waktu luang diisinya dengan kegiatan-kegiatan dalam organisasi keolahragaan. Maman pernah menjadi anggota Indonesia Muda. Di perkumpulan ini ia terjun dalam bidang olahraga atletik, layar, dan anggar.
Selain perkumpulan olahraga, perkumpulan yang bersifat sosial juga tidak luput dari perhatiannya. Sebelum masuk Kepanduan, dia bergabung dalam persatuan pemuda Jong Java yang bersifat kedaerahan dan ikut aktif pula di dalamnya.
Ketika Indonesische Padvinderij Organisatie (INPO) berdiri, ia pun masuk di dalamnya. Pada tahun 1952, INPO diganti nama menjadi Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI).
Di kalangan KBI, ia disayangi karena keramahan dan keuletannya. Dia juga disegani oleh anggota-anggota lainnya karena sifatnya yang disiplin. Dia pun menjadi seorang pemimpin yang berwibawa dalam Kepanduan.
Bakat-bakat kepemimpinannya semakin terlihat. Dengan sifat tegas dan progresif sebagai pemimpin, Maman juga sanggup memberantas segala sesuatu yang kurang baik dalam organisasi Kepanduan.
Hal-hal yang tidak pada tempatnya selalu diusahakan untuk menjadi lebih teratur. Ia juga tidak segan-segan mengoreksi sesama kawan yang menyeleweng atau kurang disiplin.
Sebelum Perang Dunia II, ada sebuah Aeroclub di Jakarta bertempat di Kemayoran yang merupakan perkumpulan olahraga terbang. Anggotanya sebagian besar terdiri dari bangsa Belanda. Biaya masuk perkumpulan tersebut sangat mahal, sehingga pemuda-pemuda Indonesia banyak yang tidak mampu menjadi anggota.
Bidang penerbangan ini mulai menarik dirinya. Berkat kemauan yang keras dan semangat pantang mundur dalam bersaing dengan pemuda-pemuda Belanda, brevet terbang diraihnya.
Pada tahun 1933, Abdulrachman Saleh menikah dengan seorang gadis kelahiran Purworejo, Jawa Tengah. Keduanya dikaruniai dua orang putra
Setelah memperoleh gelar dokter, ia memperdalam pengetahuannya di bidang ilmu faal. Dokter muda ini termasuk mahasiswa yang pandai, sehingga terpilih menjadi asisten dalam ilmu faal, mula-mula dosen pada NIAS, Surabaya, dan akhirnya ia menjadi dosen pada Perguruan Tinggi Kedokteran di Jakarta, dan menjadi guru besar di Klaten.
Abdulrachman Saleh juga memimpin Vereniging voor Oosterse Radio Omroep (VORO), sebuah perkumpulan bidang radio. Sesudah kemerdekaan diproklamasikan, ia menyiapkan sebuah pemancar yang dinamakan Siaran Radio Indonesia Merdeka.
Melalui pemancar tersebut, berita-berita mengenai Indonesia terutama tentang Proklamasi Indonesia dapat disiarkan hingga luar negeri. Ia juga berperan mendirikan Radio Republik Indonesia pada 11 September 1945.
Setelah menyelesaikan tugasnya itu, ia memutuskan berpindah ke bidang militer dan memasuki dinas Angkatan Udara. Ia belajar menerbangkan pesawat terbang militer bekas milik Jepang seperti Hayabusa, Cukiu, Cureng, dan Guntai. Instrukturnya adalah Komodor Muda Udara Agustinus Adisutjipto. (Baca juga: Mengenal Adisutjipto, Bapak Penerbang Indonesia).
Dalam waktu singkat, dia mampu menerbangkan berbagai jenis pesawat terbang itu. Setelah itu, dia membantu melatih melatih pemuda-pemuda calon penerbang.
Maklum, saat itu jumlah penerbang Indonesia masih amat sedikit. Selain itu, pesawat-pesawat terbang peninggalan Jepang yang digunakan dalam kondisi rusak. Suku cadang tidak ada, buku panduan pun tertulis dalam bahasa Jepang. Tentu saja sulit memanfaatkan pesawat-pesawat terbang yang menyerupai besi tua itu.
Tapi, Abdulrachman Saleh bersama para ahli teknik lainnya berusaha keras untuk memperbaiki pesawat-pesawat terbang tua itu. Hebatnya, mereka berhasil. Beberapa pesawat terbang itu dapat kembali terbang di angkasa Indonesia.
Pada sayap pesawat terbang yang dikemudikan oleh para pilot Indonesia sendiri itu, termasuk Abdulrachman Saleh, tergambar tanda merah putih.
Lalu, Abdulrachman Saleh diserahi tugas memimpin Pangkalan Udara Maospati di Madiun. Dia segera mendirikan Sekolah Radio Udara.
Kemudian, ia dipindahkan ke Malang. Di kota itu pula ia mendirikan Sekolah Teknik Udara.
Meski sibuk di bidang penerbangan, ia masih tetap memberi kuliah di Perguruan Tinggi Kedokteran di Klaten, Jawa Tengah.
Ia berangkat dari rumahnya di Malang dengan mengemudikan pesawat terbang sendiri ke Lapangan Udara Panasan, Surakarta. Kemudian ia menuju Klaten dengan mengendarai kereta api, mobil, sepeda motor, bahkan pernah pula naik sepeda ke Klaten.
Suatu ketika, saat mendarat di Maguwo, dia menuju Klaten dengan kereta. Tiba-tiba, kereta api berhenti di tengah jalan, lokomotifnya mogok. Dia segera turun tangan memperbaiki mesin yang rusak sehingga kereta dapat meneruskan perjalanan hingga Klaten.
Singkat cerita, hubungan Belanda dan Republik Indonesia waktu itu buruk. Meski ada Perjanjian Linggarjati, Belanda masih ingin menjajah Indonesia. Belanda melakukan blokade di daratan, lautan, maupun udara. Namun, para penerbang AURI berkali-kali sukses menerobos blokade itu.
Pada Juli 1947, Abdulrachman Saleh dan Adisucipto berangkat ke India. Mereka mendapat tugas untuk memperoleh pesawat terbang, instruktur, dan obat-obatan. Saat itu, Belanda melancarkan Agresi Militer I pada tanggal 21 Juli 1947.
Delapan hari kemudian, tanggal 29 Juli 1947, beberapa pesawat terbang AURI berhasil mengebom instalasi militer Belanda di Semarang, Ambarawa, dan Salatiga. Belanda terkejut dan jengkel. Kejengkelan itu dilampiaskan pada pesawat terbang Dakota VT-CLA milik seorang pengusaha India bernama Patnaik, yang sedang menuju Indonesia.
Pesawat Dakota itu membawa obat-obatan dari Palang Merah Malaya untuk Palang Merah Indonesia. Di dalamnya terdapat beberapa penumpang berkebangsaan Inggris, Australia, India, dan Indonesia, termasuk Komodor Muda Udara Agustinus Adisutjipto dan Prof. Dr. Abdulrachman Saleh.
Sore hari tanggal 29 Juli 1947 itu, pesawat Dakota VT-CLA tersebut bersiap-siap mendarat di Maguwo, Yogyakarta. Tiba-tiba, muncul dua pesawat pemburu KittyHawk Belanda dari arah utara dan memberondong pesawat Dakota.
Seketika, pesawat Dakota terguncang, namun berusaha melakukan pendaratan darurat. Usaha itu tidak berhasil. Pesawat menabrak pohon di atas sawah, lalu hancur dan terbakar. Kecuali seorang penumpang, seluruh penumpang dan awak pesawat tewas, termasuk Abdulrachman Saleh.
Bersama Komodor Muda Udara Adisutjipto, almarhum dianugerahi pangkat Laksamana Muda Udara. Di tempat jatuhnya pesawat didirikan tugu peringatan. Pada 17 Agustus 1952, AURI menetapkan Pangkalan Udara Bugis, Malang menjadi Pangkalan Udara Abdulrachman Saleh.
Sebagai penghargaan jasanya yang sangat besar di bidang kedokteran umumnya dan bagi ilmu faal khususnya, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tanggal 5 Desember 1958 meresmikan Abdulrachman Saleh sebagai Bapak Ilmu Faal Indonesia.
Pada tanggal 16 April 1959, Presiden Soekarno memberikan Satyalencana Bintang Garuda kepada Ibu Abdulrachman Saleh, sebagai tanda terima kasih rakyat Republik Indonesia atas jasa almarhum.
Penghargaan dan penghormatan berikutnya juga diberikan pada tanggal 15 Pebruari 1961 oleh Presiden kepada Ibu Abdulrachman Saleh yakni Bintang Mahaputera.
Ya, Marsekal Muda Anumerta Prof. Dr. Abdulrachman Saleh atau lebih dikenal dengan nama panggilan "Pak Karbol" adalah salah satu di antara Pahlawan Pembina Angkatan Udara Republik Indonesia yang serba bisa.
Untuk diketahui, "Karbol" adalah nama panggilan populer yang melekat pada Abdulrachman Saleh.
Sesuai Surat Keputusan Komandan Akademi Angkatan Udara Nomor: 145/KPTS/AAU/1965 tertanggal 3 Agustus 1965 dianggap perlu nama "Pak Karbol" diberikan pada Taruna Akademi. Nama panggilan "Kadet" diganti dengan nama panggilan "Karbol".
Dalam perjalanan sejarah, panggilan "Karbol" berubah menjadi "Taruna". Namun, sebutan "Karbol" dikukuhkan kembali sebagai panggilan Taruna Akademi Angkatan Udara berdasarkan Surat Keputusan Kasau Nomor: Skep/179/VII/2000 tanggal 18 Juli 2000.
Abdulrachman Saleh ditetapkan sebagai pahlawan nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor: 071/TK/1974 tanggal 9 November 1974.
Pada 14 Juli 2000, atas prakarsa Kepala Staf TNI AU Hanafi Asnan, kerangka jenazah Abdulrachman Saleh dan Adi Sutjipto beserta istri dipindahkan ke lokasi tempat jatuhnya pesawat VT-CLA.
Di lokasi tersebut dibangun monumen megah sekaligus sebagai makam kedua tokoh TNI AU beserta istri. Monumen itu diberi nama Monumen Perjuangan TNI AU, sebagai pengganti nama Monumen Ngoto.
Sumber: Wikipedia, pahlawancenter.com, dan http://tni-au.mil.id.
Seperti diketahui, sejarah mencatat bahwa lahirnya TNI AU tak bisa dilepaskan dari tiga sosok perintisnya yakni Adisutjipto, Abdurachman Saleh, dan Adisumarmo.
Ketiganya gugur setelah pesawat DAKOTA VT-CLA yang mereka tumpangi ditembak Belanda di daerah Ngoto, selatan Yogyakarta, 29 Juli 1947.
Siapa Abdulrachman Saleh? Dia lahir 1 Juli 1909 di Kampung Ketapang, Kwitang Barat, Jakarta. Ayahnya, dr. Mohammad Saleh, berasal dari Salatiga. Sementara, ibunya seorang gadis Jakarta.
Abdulrachman Saleh adalah anak kedua dari 11 bersaudara. Sejak kecil, Abdulrachman Saleh dan saudara-saudaranya dibiasakan hidup tertib dan mandiri. Sampai soal makanan pun sangat menjadi perhatian keluarganya.
Sebelum sekolah, Maman, panggilan Abdulrachman Saleh, selalu berpindah-pindah tempat tinggal, mulai dari Jakarta, Boyolali, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah, hingga daerah di Jawa Timur seperti Bondowoso, Pasuruan, dan Probolinggo.
Awalnya, Maman sekolah di Holland Indische School (HIS), lalu Meer Urgebreid Lagere Onderwijs (MULO). Setelah lulus, dia ingin melanjutkan studi ke School Tot Opleding van Indische Artsen (STOVIA) di Jakarta, untuk mengikuti jejak ayahnya.
Namun, baru beberapa bulan masuk STOVIA, sekolah itu dibubarkan. Pemerintah Belanda beranggapan bahwa dasar sekolah ini kurang memenuhi syarat, karena untuk menjadi dokter dibutuhkan dasar yang kuat dari Algemene Middelbare School (AMS).
Dia melanjutkan sekolah ke AMS Malang. Setelah tamat AMS, ia memasuki Geneeskundige Hooge School (GHS) di Batavia.
Masa-masa kemahasiswaannya tidak disia-siakan begitu saja. Dia aktif di bidang kemahasiswaan, begitu pula kegiatan-kegiatannya di luar fakultas. Jiwanya yang serba ingin tahu mendorongnya untuk menceburkan diri dalam organisasi-organisasi atau perkumpulan-perkumpulan yang sangat sesuai bagi dirinya.
Bakatnya di bidang olahraga sangat besar. Waktu luang diisinya dengan kegiatan-kegiatan dalam organisasi keolahragaan. Maman pernah menjadi anggota Indonesia Muda. Di perkumpulan ini ia terjun dalam bidang olahraga atletik, layar, dan anggar.
Selain perkumpulan olahraga, perkumpulan yang bersifat sosial juga tidak luput dari perhatiannya. Sebelum masuk Kepanduan, dia bergabung dalam persatuan pemuda Jong Java yang bersifat kedaerahan dan ikut aktif pula di dalamnya.
Ketika Indonesische Padvinderij Organisatie (INPO) berdiri, ia pun masuk di dalamnya. Pada tahun 1952, INPO diganti nama menjadi Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI).
Di kalangan KBI, ia disayangi karena keramahan dan keuletannya. Dia juga disegani oleh anggota-anggota lainnya karena sifatnya yang disiplin. Dia pun menjadi seorang pemimpin yang berwibawa dalam Kepanduan.
Bakat-bakat kepemimpinannya semakin terlihat. Dengan sifat tegas dan progresif sebagai pemimpin, Maman juga sanggup memberantas segala sesuatu yang kurang baik dalam organisasi Kepanduan.
Hal-hal yang tidak pada tempatnya selalu diusahakan untuk menjadi lebih teratur. Ia juga tidak segan-segan mengoreksi sesama kawan yang menyeleweng atau kurang disiplin.
Sebelum Perang Dunia II, ada sebuah Aeroclub di Jakarta bertempat di Kemayoran yang merupakan perkumpulan olahraga terbang. Anggotanya sebagian besar terdiri dari bangsa Belanda. Biaya masuk perkumpulan tersebut sangat mahal, sehingga pemuda-pemuda Indonesia banyak yang tidak mampu menjadi anggota.
Bidang penerbangan ini mulai menarik dirinya. Berkat kemauan yang keras dan semangat pantang mundur dalam bersaing dengan pemuda-pemuda Belanda, brevet terbang diraihnya.
Pada tahun 1933, Abdulrachman Saleh menikah dengan seorang gadis kelahiran Purworejo, Jawa Tengah. Keduanya dikaruniai dua orang putra
Setelah memperoleh gelar dokter, ia memperdalam pengetahuannya di bidang ilmu faal. Dokter muda ini termasuk mahasiswa yang pandai, sehingga terpilih menjadi asisten dalam ilmu faal, mula-mula dosen pada NIAS, Surabaya, dan akhirnya ia menjadi dosen pada Perguruan Tinggi Kedokteran di Jakarta, dan menjadi guru besar di Klaten.
Abdulrachman Saleh juga memimpin Vereniging voor Oosterse Radio Omroep (VORO), sebuah perkumpulan bidang radio. Sesudah kemerdekaan diproklamasikan, ia menyiapkan sebuah pemancar yang dinamakan Siaran Radio Indonesia Merdeka.
Melalui pemancar tersebut, berita-berita mengenai Indonesia terutama tentang Proklamasi Indonesia dapat disiarkan hingga luar negeri. Ia juga berperan mendirikan Radio Republik Indonesia pada 11 September 1945.
Setelah menyelesaikan tugasnya itu, ia memutuskan berpindah ke bidang militer dan memasuki dinas Angkatan Udara. Ia belajar menerbangkan pesawat terbang militer bekas milik Jepang seperti Hayabusa, Cukiu, Cureng, dan Guntai. Instrukturnya adalah Komodor Muda Udara Agustinus Adisutjipto. (Baca juga: Mengenal Adisutjipto, Bapak Penerbang Indonesia).
Dalam waktu singkat, dia mampu menerbangkan berbagai jenis pesawat terbang itu. Setelah itu, dia membantu melatih melatih pemuda-pemuda calon penerbang.
Maklum, saat itu jumlah penerbang Indonesia masih amat sedikit. Selain itu, pesawat-pesawat terbang peninggalan Jepang yang digunakan dalam kondisi rusak. Suku cadang tidak ada, buku panduan pun tertulis dalam bahasa Jepang. Tentu saja sulit memanfaatkan pesawat-pesawat terbang yang menyerupai besi tua itu.
Tapi, Abdulrachman Saleh bersama para ahli teknik lainnya berusaha keras untuk memperbaiki pesawat-pesawat terbang tua itu. Hebatnya, mereka berhasil. Beberapa pesawat terbang itu dapat kembali terbang di angkasa Indonesia.
Pada sayap pesawat terbang yang dikemudikan oleh para pilot Indonesia sendiri itu, termasuk Abdulrachman Saleh, tergambar tanda merah putih.
Lalu, Abdulrachman Saleh diserahi tugas memimpin Pangkalan Udara Maospati di Madiun. Dia segera mendirikan Sekolah Radio Udara.
Kemudian, ia dipindahkan ke Malang. Di kota itu pula ia mendirikan Sekolah Teknik Udara.
Meski sibuk di bidang penerbangan, ia masih tetap memberi kuliah di Perguruan Tinggi Kedokteran di Klaten, Jawa Tengah.
Ia berangkat dari rumahnya di Malang dengan mengemudikan pesawat terbang sendiri ke Lapangan Udara Panasan, Surakarta. Kemudian ia menuju Klaten dengan mengendarai kereta api, mobil, sepeda motor, bahkan pernah pula naik sepeda ke Klaten.
Suatu ketika, saat mendarat di Maguwo, dia menuju Klaten dengan kereta. Tiba-tiba, kereta api berhenti di tengah jalan, lokomotifnya mogok. Dia segera turun tangan memperbaiki mesin yang rusak sehingga kereta dapat meneruskan perjalanan hingga Klaten.
Singkat cerita, hubungan Belanda dan Republik Indonesia waktu itu buruk. Meski ada Perjanjian Linggarjati, Belanda masih ingin menjajah Indonesia. Belanda melakukan blokade di daratan, lautan, maupun udara. Namun, para penerbang AURI berkali-kali sukses menerobos blokade itu.
Pada Juli 1947, Abdulrachman Saleh dan Adisucipto berangkat ke India. Mereka mendapat tugas untuk memperoleh pesawat terbang, instruktur, dan obat-obatan. Saat itu, Belanda melancarkan Agresi Militer I pada tanggal 21 Juli 1947.
Delapan hari kemudian, tanggal 29 Juli 1947, beberapa pesawat terbang AURI berhasil mengebom instalasi militer Belanda di Semarang, Ambarawa, dan Salatiga. Belanda terkejut dan jengkel. Kejengkelan itu dilampiaskan pada pesawat terbang Dakota VT-CLA milik seorang pengusaha India bernama Patnaik, yang sedang menuju Indonesia.
Pesawat Dakota itu membawa obat-obatan dari Palang Merah Malaya untuk Palang Merah Indonesia. Di dalamnya terdapat beberapa penumpang berkebangsaan Inggris, Australia, India, dan Indonesia, termasuk Komodor Muda Udara Agustinus Adisutjipto dan Prof. Dr. Abdulrachman Saleh.
Sore hari tanggal 29 Juli 1947 itu, pesawat Dakota VT-CLA tersebut bersiap-siap mendarat di Maguwo, Yogyakarta. Tiba-tiba, muncul dua pesawat pemburu KittyHawk Belanda dari arah utara dan memberondong pesawat Dakota.
Seketika, pesawat Dakota terguncang, namun berusaha melakukan pendaratan darurat. Usaha itu tidak berhasil. Pesawat menabrak pohon di atas sawah, lalu hancur dan terbakar. Kecuali seorang penumpang, seluruh penumpang dan awak pesawat tewas, termasuk Abdulrachman Saleh.
Bersama Komodor Muda Udara Adisutjipto, almarhum dianugerahi pangkat Laksamana Muda Udara. Di tempat jatuhnya pesawat didirikan tugu peringatan. Pada 17 Agustus 1952, AURI menetapkan Pangkalan Udara Bugis, Malang menjadi Pangkalan Udara Abdulrachman Saleh.
Sebagai penghargaan jasanya yang sangat besar di bidang kedokteran umumnya dan bagi ilmu faal khususnya, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tanggal 5 Desember 1958 meresmikan Abdulrachman Saleh sebagai Bapak Ilmu Faal Indonesia.
Pada tanggal 16 April 1959, Presiden Soekarno memberikan Satyalencana Bintang Garuda kepada Ibu Abdulrachman Saleh, sebagai tanda terima kasih rakyat Republik Indonesia atas jasa almarhum.
Penghargaan dan penghormatan berikutnya juga diberikan pada tanggal 15 Pebruari 1961 oleh Presiden kepada Ibu Abdulrachman Saleh yakni Bintang Mahaputera.
Ya, Marsekal Muda Anumerta Prof. Dr. Abdulrachman Saleh atau lebih dikenal dengan nama panggilan "Pak Karbol" adalah salah satu di antara Pahlawan Pembina Angkatan Udara Republik Indonesia yang serba bisa.
Untuk diketahui, "Karbol" adalah nama panggilan populer yang melekat pada Abdulrachman Saleh.
Sesuai Surat Keputusan Komandan Akademi Angkatan Udara Nomor: 145/KPTS/AAU/1965 tertanggal 3 Agustus 1965 dianggap perlu nama "Pak Karbol" diberikan pada Taruna Akademi. Nama panggilan "Kadet" diganti dengan nama panggilan "Karbol".
Dalam perjalanan sejarah, panggilan "Karbol" berubah menjadi "Taruna". Namun, sebutan "Karbol" dikukuhkan kembali sebagai panggilan Taruna Akademi Angkatan Udara berdasarkan Surat Keputusan Kasau Nomor: Skep/179/VII/2000 tanggal 18 Juli 2000.
Abdulrachman Saleh ditetapkan sebagai pahlawan nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor: 071/TK/1974 tanggal 9 November 1974.
Pada 14 Juli 2000, atas prakarsa Kepala Staf TNI AU Hanafi Asnan, kerangka jenazah Abdulrachman Saleh dan Adi Sutjipto beserta istri dipindahkan ke lokasi tempat jatuhnya pesawat VT-CLA.
Di lokasi tersebut dibangun monumen megah sekaligus sebagai makam kedua tokoh TNI AU beserta istri. Monumen itu diberi nama Monumen Perjuangan TNI AU, sebagai pengganti nama Monumen Ngoto.
Sumber: Wikipedia, pahlawancenter.com, dan http://tni-au.mil.id.
(zik)