Isa Anshary, Tokoh Persis Penentang Komunisme

Sabtu, 19 Desember 2015 - 05:00 WIB
Isa Anshary, Tokoh Persis...
Isa Anshary, Tokoh Persis Penentang Komunisme
A A A
Di antara sekian banyak ulama Tanah Air yang menentang komunisme, tersebutlah nama Muhammad Isa Anshary. Berikut kisah orator ulung tersebut.

Muhammad Isa Anshary atau biasa disapa Isa Anshary lahir di Maninjau, Sumatera Barat, 1 Juli 1916.

Dia lahir di tengah keluarga sederhana. Sejak kecil, dia dikenal sebagai anak cerdas dan tangkas dalam berbicara. Tanda-tanda kecil ini yang mengantarkannya menjadi orator ulung dan pandai membakar semangat pendengarnya.

Pemerhati sejarah dari STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh Fikrul Hanif Sufyan mengatakan, Isa Anshary adalah sosok yang sama tipikal berpidatonya dengan Soekarno.

Kepada Sindonews, Fikrul mengatakan Isa begitu berapi-api di podium. Sehingga, tidak mengherankan bila julukan singa podium melekat padanya. Dia memang memiliki kemampuan berorasi, mengobarkan semangat setiap yang mendengar pidatonya.

Ketika remaja, Isa aktif di berbagai organisasi keislaman, di antaranya Muhammadiyah, PSII, Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia, dan Indonesia Berparlemen.

Pada usia 16 tahun, setelah menyelesaikan pendidikannya di madrasah, Isa merantau ke Bandung untuk mengikuti berbagai kursus ilmu pengetahuan umum.

Di Bandung, ia memperluas cakrawala keislamannya dalam Jam'iyyah Persatuan Islam (Persis). Tampilnya Isa Anshary sebagai pucuk pimpinan Persis dimulai pada 1940, ketika ia menjadi anggota Pimpinan Pusat Persis.

Tahun 1948, ia melakukan reorganisasi Persis yang mengalami kevakuman sejak masa pendudukan Jepang dan Perang Kemerdekaan.
Tahun 1953 hingga 1960, ia terpilih menjadi ketua umum Pimpinan Pusat Persis.

Di bawah kepemimpinan Isa, jumlah anggota Persis ditaksir mencapai sepuluh ribuan. Cabang-cabang Persis pun berdiri dan tersebar luas di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah bagian barat, Bangil Jawa Timur, dan Palembang.

Persis saat itu cenderung politis karena sangat didominasi oleh pembahasan masalah politik dibandingkan fikih ritual keagamaan. Sikap dan pandangan politik Isa dinilai sangat tegas.

Ia menyatakan bahwa perjuangan dalam politik saat itu adalah wajib. Perjuangan Islam, termasuk Persis, tidak hanya pada lapangan fikih ibadah ritualistik, tetapi juga ibadah untuk berjuang di medan politik.

Karena itu, Persis sepenuhnya mendukung Partai Masyumi. Isa pun menjadi pemimpin Partai Masyumi wilayah Jawa Barat.

Tahun 1956, ia menjadi Pengurus Pusat Masyumi. Ia juga menjadi anggota Fraksi Masyumi dalam Majelis Konstituante Republik Indonesia hasil Pemilu 1955.

Saat itu, elite-elite Persis masuk dan aktif dalam gelanggang politik praktis. Peranan menonjol yang mereka lakukan di dalam Masyumi adalah perjuangan memenangkan ideologi Islam berhadapan dengan komunisme. (Baca juga: Jejak Tokoh Masyumi Prawoto Mangkusasmito).

Persis menjadi corong perlawanan sehingga sepakat mengharamkan ajaran komunisme. Mereka sepakat bahwa komunisme tidak bisa tumbuh di Indonesia.

Bahkan, Persis dengan dimotori Isa membentuk Front Antikomunis pada pertengahan November 1954 yang bermarkas di Kantor Persis.

Front Antikomunis merupakan satu gerakan dan bentuk perjuangan total untuk membendung bahaya komunisme, fasisme, dan totalitarisme di Indonesia.

Dibantu oleh Yusuf Wibisono dan Syarif Usman, Isa menerbitkan buku yang berkenaan dengan penolakan terhadap komunisme. Buku itu berjudul Bahaya Merah di Indonesia (1956).

Terkait hal ini, Fikrul Hanif Sufyan mengatakan, pascarevolusi kemerdekaan hingga tahun 1960-an, Isa Anshary memang dikenal sebagai gerbang terdepan perlawanan Islam terhadap komunisme.

Beberapa pemikirannya tentang antiMarxisme antara lain bisa ditemui dalam Bahaya Merah di Indonesia (1956), Barat dan Timur (1948), dan Islam Menentang Komunisme (1956).

Menurut Isa, komunisme adalah musuh paling berbahaya di Tanah Air. Paham ini menganggap agama cuma candu yang mengekang manusia. Karena itu, paham ini tidak boleh hidup di atas bumi pertiwi Nusantara, harus musnah selama-lamanya.

Isa Anshary meninggal dunia di Bandung, Jawa Barat, 11 Desember 1969. Sebelumnya, dia sempat menuangkan ide untuk khotbah Idul Fitri. Tapi, naskah khotbah tersebut tak bisa disampaikannya karena dia keburu dipanggil Sang Pencipta.

Meski Isa telah tiada, sejumlah pemikiran dan tulisannya yang menentang komunisme tetap abadi.

Sumber:

Wikipedia dan Buku Pahlawan-Pahlawan Bangsa yang Terlupakan, penulis Johan Prasetya, Penerbit Saufa, Agustus 2014.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1023 seconds (0.1#10.140)