Awang Long, Panglima Perang Kutai yang Gugur Melawan Belanda
A
A
A
Awang Long adalah anak bungsu atau anak keempat dari Mangkubumi Kerajaan Kutai yang bernama Ni Raden Pati Perbangsa dari isterinya Ni Dayang Manta.
Awang Long diangkat oleh Sultan Kutai sebagai Panglima Sepangan dengan gelar Ario Senopati. Awang Long juga merupakan panglima muda yang sangat berani jujur dan berwibawa dan selalu digaris depan saat dalam pertempuran mengusir penjajah.
Perlawan Awang Long terhadap penjajah di mulai ketika pihak Kerajaan Belanda pada waktu itu sedang mengadakan perayaan keberhasilan mereka dalam melakukan perdagangan di daerah-daerah Asia terutama Nusantara. Dalam perayaan tersebut beberapa kerajaan barat lainnya seperti Inggris, Perancis, Belgia, Portugal hadir.
Semua yang hadir amat kagum dengan pameran hasil bumi yang dipamerkan oleh pihak Belanda. Dalam kesempatan tersebut banyak pihak yang berniat melakukan pula perdagangan ke daerah Nusantara yang masih bebas dan belum dikuasai oleh pihak manapun juga.
Yang paling berminat waktu itu adalah dari Kerajaan Inggris. Karenanya pada tahun 1844 pihak kerajaan Inggris lalu mengirimkan dua buah kapal perangnya menuju Nusantara di bawah pimpinan James Erskine Murray.
Daerah yang dituju adalah Borneo atau Kalimantan terutama ke Kerajaan Kutai Kartanegara. Kapal pun memasuki Sungai Mahakam dan berlabuh di Samarinda.
Seperti biasa apalagi dari kalangan bangsawan Inggris, mereka ini selain angkuh juga sangat arogan. Mereka merasa diri mereka berderajat paling tinggi dan sangat meremehkan penduduk pribumi. Apalagi setelah mereka melihat Kerajaan Kutai yang dianggap kecil serta penduduk seperti budak.
Dengan leluasa mereka pergi berlayar di Sungai Mahakam walau telah diberi peringatan oleh pihak kerajaan Kutai yang pada waktu itu dirajai Sultan Aji Muhammad Salehudin. Tetapi Murray tak menggubris peringatan tersebut. Bahkan dia memasuki Sungai Mahakam hingga sampai ke kota Bangun.
Dalam pikiran James Erskine Murray, dia bermaksud membeli tanah di Seberang Samarinda (Samarinda Kota sekarang ) untuk dibangun tempat penumpukan barang hasil bumi sekaligus dijadikan Benteng. Tetapi karena kesombongan dan tak menghormati serta menghina Kerajaan Kutai, permintaan tersebut ditolak oleh Sultan Aji Muhammad Salehudin.
Dengan penolakan ini Murray menjadi murka. Dia lalu memberangkatkan kapalnya menuju Tenggarong. Sesampainya di Tenggarong kedua kapal perang Inggris ini lalu dengan meriam-meriamnya menembaki kota. Penduduk kota berlarian kesana kemari menyelamatkan diri dari sasaran peluru. Kota menjadi porak poranda.
Melihat kejadian yang tak diduga ini Sultan Salehudin lalu memanggil Panglima Awang Long untuk memimpin prajurit melakukan perlawanan dan mengusir orang-orang Inggris tersebut. Perlawananpun terjadi, adu tembak mulai dilakukan oleh prajurit-prajurit Sepangan (Pasukan elit) di bawah pimpinan Panglima Awang Long.
Kapal-kapal Inggris yang mendapat perlawanan jadi kalang kabut. Mereka dikepung baik oleh peluru meriam maupun pasukan perahu yang menyerang dan menaiki kapal-kapal mereka.
Pertarungan terjadi di atas kapal. Namun karena prajurit Inggris berkelahi bukan hanya dengan pedang tetapi ada juga dengan pistol dan bedil, pasukan perahu menjadi mundur karena mereka hanya dilengkapi dengan pedang dan tombak.
Tetapi walau demikian prajurit Inggris dikedua kapal menjadi ciut nyalinya. Mereka lalu memutar haluan kapal dan melarikan diri menuju lautan lepas. Apalagi pada saat pelarian tersebut di Samarinda mereka disambut oleh pasukan Kutai dari orang orang Bugis yang sangat berani.
Dalam pertarungan ini Jemes Erskine Murray tewas. Dengan demikian keadaan bertambah kacau. Untung saat itu hari telah malam, keadaan ini sangat membantu upaya penyelamatan. Dengan susah payah kedua kapal akhirnya dapat menyelamatkan diri lari menuju laut lepas sehingga mereka berhasil selamat.
Pengejaran prajurit-prajurit Kutai ini terus berlangsung hingga sampai matahari terbit dimana mereka melihat ada sebuah kapal yang sedang kandas. Kapal yang kandas ini bukanlah salah satu kapal Inggris yang lari, tetapi kapal tersebut adalah milik armada dagang Belgia yang terdampar di daerah Muara Badak.
Tak ampun kapal ini menjadi sasaran para pengejar dari Kutai. Kapal diserang dan dibakar isinya diambil sebagai barang rampasan. Para pelaut Belgia ini selain banyak yang tewas juga ada yang sempat melarikan diri dengan sekoci menuju laut.
Para pelaut Belgia ini akhirnya sampai ke Makassar dan melaporkan apa yang dialami mereka pada Gubernemen Hindia Belanda yang berkedudukan di sana.
Gubernemen Belanda yang merasa bertanggung jawab atas keamanan laut Makasar lalu memerintahkan pada Letnan I Laut bernama T.Hooft, untuk memimpin armada menghukum orang-orang dari Kerajaan Kutai yang dianggap sudah melakukan perampokan dan merugikan nama baik kerajaan Belanda.
Di Kerajaan Kutai, Aji Sultan Salehudin memerintahkan agar pasukan yang dipimpin Awang gelar Ario Senopati tetap berjaga. Mereka yakin kalau armada Inggris ini akan kembali dengan kekuatan besar untuk menyerang mereka.
Pasukan diperkuat sedang rakyat diungsikan ke tempat aman. Begitu pula dengan Sultan dan keluarga. Aji Sultan Salehudin diungsikan ke Kota Bangun disertai seribu prajurit. Sedang Awang Long dengan kekuatan yang cukup besar melakukan penjagaan baik di Tenggarong maupun sampai ke Samarinda.
Yang ditunggu memang datang. Tetapi yang datang bukanlah armada perang Inggris melainkan tujuh armada perang Belanda yang dipimpin oleh T.Hooft. Pertempuran tak terhindarkan.
Awang Long sebelumnya diminta menyerah dengan menaikkan bendera putih, namun permintaan itu tak digubris. Bahkan sebagai jawabannya meriam dari daratan berdentum menghantam kapal-kapal Belanda tersebut.
Pertempuranpun terjadi. Tembak menembak saling balas selama siang dan malam tak pernah berhenti. Pasukan sepangan yang menyerbu kapal kapal tersebut tak dapat mendekat karena pihak Belanda telah siap menyambut mereka dengan bedil. Korbanpun berjatuhan dari kedua pihak.
Namun karena kekuatan pasukan dan persenjataan yang tak seimbang, pihak kerajaan Kutai akhirnya dapat dikalahkan oleh pihak Belanda. Kutai kalah karena Panglima mereka Awang Long tewas dihantam reruntuhan benteng yang terkena peluru meriam Belanda. Belanda mendarat dan menguasai wilayah Tenggarong dan sekitarnya.
Kutai dikuasai Belanda secara penuh. Sultan diminta tunduk dan berada di bawah kekuasaan Gubernement Van Hindia Belanda yang berkedudukan di Makasar.
Semua peraturan dan kewajiban membayar pajak harus melalui dan diserahkan kepada pihak Belanda. Sedang Kerajaan Kutai hanya menerima bagian yang telah disepakati sebagai suatu kerajaan dibawah Pemerintahan Hindia Belanda.
Sumber:
kerajaannusantara.
kesultanan.kutaikartanegara
Mainzhu.blogspot.
Awang Long diangkat oleh Sultan Kutai sebagai Panglima Sepangan dengan gelar Ario Senopati. Awang Long juga merupakan panglima muda yang sangat berani jujur dan berwibawa dan selalu digaris depan saat dalam pertempuran mengusir penjajah.
Perlawan Awang Long terhadap penjajah di mulai ketika pihak Kerajaan Belanda pada waktu itu sedang mengadakan perayaan keberhasilan mereka dalam melakukan perdagangan di daerah-daerah Asia terutama Nusantara. Dalam perayaan tersebut beberapa kerajaan barat lainnya seperti Inggris, Perancis, Belgia, Portugal hadir.
Semua yang hadir amat kagum dengan pameran hasil bumi yang dipamerkan oleh pihak Belanda. Dalam kesempatan tersebut banyak pihak yang berniat melakukan pula perdagangan ke daerah Nusantara yang masih bebas dan belum dikuasai oleh pihak manapun juga.
Yang paling berminat waktu itu adalah dari Kerajaan Inggris. Karenanya pada tahun 1844 pihak kerajaan Inggris lalu mengirimkan dua buah kapal perangnya menuju Nusantara di bawah pimpinan James Erskine Murray.
Daerah yang dituju adalah Borneo atau Kalimantan terutama ke Kerajaan Kutai Kartanegara. Kapal pun memasuki Sungai Mahakam dan berlabuh di Samarinda.
Seperti biasa apalagi dari kalangan bangsawan Inggris, mereka ini selain angkuh juga sangat arogan. Mereka merasa diri mereka berderajat paling tinggi dan sangat meremehkan penduduk pribumi. Apalagi setelah mereka melihat Kerajaan Kutai yang dianggap kecil serta penduduk seperti budak.
Dengan leluasa mereka pergi berlayar di Sungai Mahakam walau telah diberi peringatan oleh pihak kerajaan Kutai yang pada waktu itu dirajai Sultan Aji Muhammad Salehudin. Tetapi Murray tak menggubris peringatan tersebut. Bahkan dia memasuki Sungai Mahakam hingga sampai ke kota Bangun.
Dalam pikiran James Erskine Murray, dia bermaksud membeli tanah di Seberang Samarinda (Samarinda Kota sekarang ) untuk dibangun tempat penumpukan barang hasil bumi sekaligus dijadikan Benteng. Tetapi karena kesombongan dan tak menghormati serta menghina Kerajaan Kutai, permintaan tersebut ditolak oleh Sultan Aji Muhammad Salehudin.
Dengan penolakan ini Murray menjadi murka. Dia lalu memberangkatkan kapalnya menuju Tenggarong. Sesampainya di Tenggarong kedua kapal perang Inggris ini lalu dengan meriam-meriamnya menembaki kota. Penduduk kota berlarian kesana kemari menyelamatkan diri dari sasaran peluru. Kota menjadi porak poranda.
Melihat kejadian yang tak diduga ini Sultan Salehudin lalu memanggil Panglima Awang Long untuk memimpin prajurit melakukan perlawanan dan mengusir orang-orang Inggris tersebut. Perlawananpun terjadi, adu tembak mulai dilakukan oleh prajurit-prajurit Sepangan (Pasukan elit) di bawah pimpinan Panglima Awang Long.
Kapal-kapal Inggris yang mendapat perlawanan jadi kalang kabut. Mereka dikepung baik oleh peluru meriam maupun pasukan perahu yang menyerang dan menaiki kapal-kapal mereka.
Pertarungan terjadi di atas kapal. Namun karena prajurit Inggris berkelahi bukan hanya dengan pedang tetapi ada juga dengan pistol dan bedil, pasukan perahu menjadi mundur karena mereka hanya dilengkapi dengan pedang dan tombak.
Tetapi walau demikian prajurit Inggris dikedua kapal menjadi ciut nyalinya. Mereka lalu memutar haluan kapal dan melarikan diri menuju lautan lepas. Apalagi pada saat pelarian tersebut di Samarinda mereka disambut oleh pasukan Kutai dari orang orang Bugis yang sangat berani.
Dalam pertarungan ini Jemes Erskine Murray tewas. Dengan demikian keadaan bertambah kacau. Untung saat itu hari telah malam, keadaan ini sangat membantu upaya penyelamatan. Dengan susah payah kedua kapal akhirnya dapat menyelamatkan diri lari menuju laut lepas sehingga mereka berhasil selamat.
Pengejaran prajurit-prajurit Kutai ini terus berlangsung hingga sampai matahari terbit dimana mereka melihat ada sebuah kapal yang sedang kandas. Kapal yang kandas ini bukanlah salah satu kapal Inggris yang lari, tetapi kapal tersebut adalah milik armada dagang Belgia yang terdampar di daerah Muara Badak.
Tak ampun kapal ini menjadi sasaran para pengejar dari Kutai. Kapal diserang dan dibakar isinya diambil sebagai barang rampasan. Para pelaut Belgia ini selain banyak yang tewas juga ada yang sempat melarikan diri dengan sekoci menuju laut.
Para pelaut Belgia ini akhirnya sampai ke Makassar dan melaporkan apa yang dialami mereka pada Gubernemen Hindia Belanda yang berkedudukan di sana.
Gubernemen Belanda yang merasa bertanggung jawab atas keamanan laut Makasar lalu memerintahkan pada Letnan I Laut bernama T.Hooft, untuk memimpin armada menghukum orang-orang dari Kerajaan Kutai yang dianggap sudah melakukan perampokan dan merugikan nama baik kerajaan Belanda.
Di Kerajaan Kutai, Aji Sultan Salehudin memerintahkan agar pasukan yang dipimpin Awang gelar Ario Senopati tetap berjaga. Mereka yakin kalau armada Inggris ini akan kembali dengan kekuatan besar untuk menyerang mereka.
Pasukan diperkuat sedang rakyat diungsikan ke tempat aman. Begitu pula dengan Sultan dan keluarga. Aji Sultan Salehudin diungsikan ke Kota Bangun disertai seribu prajurit. Sedang Awang Long dengan kekuatan yang cukup besar melakukan penjagaan baik di Tenggarong maupun sampai ke Samarinda.
Yang ditunggu memang datang. Tetapi yang datang bukanlah armada perang Inggris melainkan tujuh armada perang Belanda yang dipimpin oleh T.Hooft. Pertempuran tak terhindarkan.
Awang Long sebelumnya diminta menyerah dengan menaikkan bendera putih, namun permintaan itu tak digubris. Bahkan sebagai jawabannya meriam dari daratan berdentum menghantam kapal-kapal Belanda tersebut.
Pertempuranpun terjadi. Tembak menembak saling balas selama siang dan malam tak pernah berhenti. Pasukan sepangan yang menyerbu kapal kapal tersebut tak dapat mendekat karena pihak Belanda telah siap menyambut mereka dengan bedil. Korbanpun berjatuhan dari kedua pihak.
Namun karena kekuatan pasukan dan persenjataan yang tak seimbang, pihak kerajaan Kutai akhirnya dapat dikalahkan oleh pihak Belanda. Kutai kalah karena Panglima mereka Awang Long tewas dihantam reruntuhan benteng yang terkena peluru meriam Belanda. Belanda mendarat dan menguasai wilayah Tenggarong dan sekitarnya.
Kutai dikuasai Belanda secara penuh. Sultan diminta tunduk dan berada di bawah kekuasaan Gubernement Van Hindia Belanda yang berkedudukan di Makasar.
Semua peraturan dan kewajiban membayar pajak harus melalui dan diserahkan kepada pihak Belanda. Sedang Kerajaan Kutai hanya menerima bagian yang telah disepakati sebagai suatu kerajaan dibawah Pemerintahan Hindia Belanda.
Sumber:
kerajaannusantara.
kesultanan.kutaikartanegara
Mainzhu.blogspot.
(nag)