Ki Ageng Pemanahan, Perintis Kesultanan Mataram

Minggu, 22 November 2015 - 05:00 WIB
Ki Ageng Pemanahan,...
Ki Ageng Pemanahan, Perintis Kesultanan Mataram
A A A
Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa. Berdirinya kerajaan ini tak bisa dilepaskan dari sosok Ki Ageng Pemanahan.

Ki Ageng Pemanahan, ada juga yang menulisnya Ki Ageng Pamanahan atau Ki Gede Pamanahan, adalah pendiri Desa Mataram tahun 1556, yang kemudian berkembang menjadi Kesultanan Mataram di bawah pimpinan putranya, Danang Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senapati.

Selain Ki Ageng Pemanahan, tokoh utama perintis Kesultanan Mataram adalah Ki Juru Martani dan Ki Penjawi. Mereka dikenal dengan "Tiga Serangkai Mataram" atau istilah lainnya adalah "Three Musketeers from Mataram".

Asal-usul Kesultanan Mataram adalah suatu kadipaten di bawah Kesultanan Pajang, berpusat di "Bumi Mentaok" yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan sebagai hadiah atas jasanya.

Kisahnya berawal setelah wafatnya Sultan Trenggana, kekuasaan Demak bergeser ke Pajang dengan rajanya Jaka Tingkir (1546-1586). Jaka Tinggir bergelar Sultan Hadiwijaya. Kedudukannya direstui oleh Sunan Giri, seorang wali sekaligus penasihat politik Jawa yang tinggal di Kewalian Giri, Gresik, Jawa bagian timur.

Sultan Hadiwijaya yang arif bijaksana itu segera mendapat pengakuan dari adipati-adipati di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan salah seorang anak Sultan Prawoto yaitu Arya Pangiri diangkat menjadi Adipati Demak.

Dalam usahanya untuk menegakkan kekuasaan Pajang, Sultan Hadiwijaya harus berhadapan dengan Adipati Jipang, Arya Penangsang, putra Sinuwun Sekar Seda Lepen yang tidak rela takhta Demak diambil oleh Sultan Hadiwijaya, karena ia hanya menantu Sultan Trenggana.

Sultan Hadiwijaya membuat strategi jitu untuk menghadapinya. Ia percaya akan mampu mengalahkan Arya Penangsang, walaupun pasti tidak mudah. Apalagi, Arya Penangsang terkenal memiliki senjata ampuh yakni Keris Kiai Setan Kober.

Dikisahkan pula, Hadiwijaya segan memerangi Penangsang secara langsung karena merasa sebagai sama-sama murid Sunan Kudus dan sesama anggota keluarga Demak.

Atas nasihat dari para pinisepuh, Sultan Hadiwijaya menggelar sayembara. Isi sayembaranya, siapa saja yang dapat mengalahkan Penangsang bakal mendapatkan hadiah tanah Pati dan Mataram.

Singkat cerita, Penangsang dapat dikalahkan oleh Danang Sutawijaya, putra Pemanahan. Karena kesuksesan ini merupakan strategi Pemanahan dan Ki Penjawi, Sultan Hadiwijaya menganggap kemenangan Danang Sutawijaya itu adalah kemenangan Pemanahan dan Ki Penjawi.

Maka, Sultan memberikan tanah tersebut kepada mereka berdua. Penjawi mendapatkan tanah Pati, sebuah kadipaten di pesisir utara yang telah maju. Sedangkan Pemanahan mendapatkan tanah Mataram yang masih berupa Hutan Mentaok. Alas Mentaok saat ini berada di sekitar Kota Gede, Yogyakarta.

Namun, awalnya Sultan Hadiwijaya nampak ragu untuk menyerahkan tanah Mentaok atau Mataram kepada Pemanahan.

Berdasarkan ramalan Sunan Giri, Mataram akan menjadi sebuah kekuatan yang besar yang menjadi pusat politik di tanah Jawa. Hal ini jika terjadi kelak akan mengancam keutuhan eksistensi Pajang. Karena itu, Sultan Pajang mengulur-ulur waktu untuk menyerahkan tanah Mataram.

Atas nasihat Ki Juru Martani, Pemanahan menghadap Sunan Kalijaga meminta bantuan. Sunan Kalijaga kemudian memberikan fatwa tuntutan Pemanahan tidak salah. Seorang raja harus konsisten dengan ucapannya. Sabda pandita ratu tan kena wola-wali, sabda seorang raja tidak boleh mencla-mencle.

Sunan Kalijaga juga menasihati agar Pemanahan menepati janjinya untuk tidak memberontak kepada Pajang. Atas jasa dari Sunan Kalijaga, tanah Mataram diserahkan Sultan Hadiwijaya kepada Pemanahan pada 1556. Sebenarnya Sultan Pajang memberikan alternatif tanah lain selain Mataram. Namun, karena raja telah bersabda demikian, implikasinya ia tidak bisa menarik kembali ucapannya.

Selanjutnya, Ki Ageng Pemanahan menjadi kepala desa pertama bergelar Ki Ageng Mataram. Adapun status Desa Mataram adalah desa perdikan atau daerah bebas pajak. Ki Ageng Mataram hanya punya kewajiban menghadap.

Babad Tanah Jawi juga mengisahkan keistimewaan lain yang dimiliki Ki Ageng Pemanahan selaku leluhur raja-raja Mataram. Konon, sesudah membuka Desa Mataram, Ki Ageng Pemanahan pergi mengunjungi sahabatnya di Desa Giring.

Pada saat itu Ki Ageng Giring baru saja mendapatkan buah kelapa muda bertuah yang jika diminum airnya sampai habis, si peminum akan menurunkan raja-raja Jawa.

Ki Ageng Pemanahan tiba di rumah Ki Ageng Giring dalam keadaan haus. Ia langsung menuju dapur dan menemukan kelapa muda ajaib itu. Dalam sekali teguk, Ki Ageng Pemanahan menghabiskan airnya.

Ki Ageng Giring tiba di rumah sehabis mandi di sungai. Ia kecewa karena tidak jadi meminum air kelapa bertuah tersebut. Namun, akhirnya Ki Ageng Giring pasrah pada takdir bahwa Ki Ageng Pemanahan yang dipilih Tuhan untuk menurunkan raja-raja Pulau Jawa.

Meski demikian, Ki Ageng Giring menyampaikan keinginan kepada Ki Ageng Pemanahan agar salah seorang anak turunannya kelak bisa turut menjadi raja di Mataram.

Dari musyawarah diperoleh kesepakatan bahwa keturunan Ki Ageng Giring akan diberi kesempatan menjadi raja tanah Jawa pada keturunan yang ketujuh.

Ki Ageng Pemanahan mampu membuat Mataram beserta rakyatnya maju. Namun, sebelum menikmati hasil, tahun 1575 ia menderita sakit lalu meninggal dunia. Usahanya kemudian dilanjutkan oleh sang anak yaitu Danang Sutawijaya. Ia terkenal sebagai seorang ahli strategi perang dan dikenal dengan nama Senopati ing Alaga.

Sumber:
- id.wikipedia.org
- Purwadi, Sejarah Raja-Raja Jawa: Sejarah Kehidupan Kraton dan Perkembangannya di Jawa, Media Abadi.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0987 seconds (0.1#10.140)