Indra, Sarjana Pemulung Sampah Pecinta Sungai Citarum
A
A
A
BANDUNG - Sosok pria kelahiran Bandung, 7 Maret 1972 ini sederhana. Namun apa yang dilakukannya sungguh mulia.
Berawal dari kesedihannya melihat sungai Citarum penuh sampah, dan salah satunya tidak terkendalinya pertumbuhan eceng gondok di sana. Sungai Citarum adalah tempat bermainnya semasa kecil.
"Sungai yang dulu saya kenal bersih, kini penuh sampah dan eceng gondok. Masyarakat di sekitarnya pun menjadi miskin karena lahannya tercerabut pembangunan waduk Saguling," tuturnya saat ditemui di kediamannya di Desa Cihampelas, Kecamatan Cihampelas Kabupaten Bandung Barat.
Berbekal ilmu pengetahuannya selama mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, Indra yang merupakan lulusan Sarjana dari Universitas Padjajaran (Unpad) ini pun berinisiatif untuk memberdayakan sampah yang ada di sungai Citarum.
Awalnya Indra sendiri yang memulung sampah dan eceng gondok tersebut, langsung menggunakan perahu kecil. Usai dikumpulkan, Indra pun mencoba membuat sebuah benda seperti tas atau kerajinan lainnya dari sampah dan eceng gondok hasil tangkapannya tersebut.
"Setiap pagi saya memulungi sampah dan eceng gondok di sungai Citarum. Malamnya, baru saya buat kerajinan tas dan lainnya. Lama-kelamaan masyarakat di sekitar rumah saya pun ikut bergabung mengumpulkan sampah dan eceng gondok. Saya pinjamkan perahu pada mereka. Kini, merekalah yang mengambil serta menjual sampah dan eceng gondok pada saya, untuk saya jadikan kerajinan," paparnya.
Mengingat kala itu, apa yang dilakukan masih langka, Indra pun sempat mendapatkan penolakan dari keluarga dan warga. Kesannya, seorang sarjana malah berakhir sebagai pemulung sampah.
Namun, dengan penuh keyakinan, Indra pun berhasil membuktikan bahwa dari sesuatu yang mereka anggap tak bernilai, ternyata memiliki nilai ekonomi.
Sejak lulus di tahun 1998, Indra tetap konsisten menjalani kegiatan itu. Memproduksi barang-barang berbahan dasar sampah dan eceng gondok, lalu menjualnya di berbagai pameran maupun secara online.
Akhirnya di tahun 2009, Indra sudah mampu membeli alat pencacah sampah sekaligus mendirikan Koperasi Bangkit Bersama.
Dengan lembaga binaannya tersebut, Indra pun memberdayakan ibu-ibu rumah tangga yang ada di lingkungan rumahnya untuk menjadi pengrajin. Sedangkan laki-lakinya menjadi pemulung di sungai.
"Untuk eceng gondok koperasi kami membelinya Rp 800 per kilo dari warga. Sedangkan pengrajinnya kami bayar Rp 20.000 per hari," katanya.
"Koperasi ini milik masyarakat sini. Ada yang mengumpulkan sampah dan eceng gondok, ada yang mengelola sampah, hingga menjadikannya kerajinan. Semua dilakukan masyarakat sini. Dari hasil penjualannya kita kembalikan lagi pada masyarakat," tambahnya.
Dalam seminggu, Indra mengaku bisa mendapatkan 3 kuintal eceng gondok dan 80 ton sampah plastik, termasuk stereofoam.
Dari banyaknya sampah yang didapatkan dari sungai CItarum itu pun, Indra dan anggota koperasinya sudah mampu membuat macam-macam kerajinan, mulai dari tas, sepatu, souvenir, benda dekorasi, hingga furniture.
Indra menuturkan, khusus untuk eceng gondok, dianggapnya bernilai zero waste. Pasalnya semua bagian eceng gondok bisa dimanfaatkan untuk membuat sesuatu.
Mulai dari akarnya yang bisa jadi media tanam, batangnya menjadi tas, dan serpihannya bisa dijadikan briket untuk bahan bakar.
Untuk pemasarannya pun, selain menjual pada relasi dan komunitas pecinta lingkungan, Indra pun rajin mengikuti pameran-pameran kerajinan dalam negeri.
Hasil kerajinannya pun banyak diminati, tak hanya di Jawa Barat, namun Sumatera, Kalimantan, hingga Bali dan Bangka Belitung pun sempat memesan hasil kerajinannya.
"Soal omset kami bersyukur terus ada peningkatan. Kalau dulu omset Rp 1 juta per bulan, kini untuk kerajinan dari eceng gondok omsetnya kisaran Rp 8 juta per bulan, sedangkan untuk sampah plastik sekitar Rp60 juta per bulan. Banyaknya memang dijual melalui online dan pesanan langsung," terangnya.
Sebagai warga yang mendiami bantaran sungai Citarum, Indra merasa miris dengan pembiaran yang dilakukan pemerintah terhadap sungai yang dulunya sempat bening ini.
Ia berpendapat, tidak apa sebenarnya eceng gondok dibiarkan tumbuh di sekitaran sungai. Namun hal itu tetap harus dikendalikan, karena jika terlalu banyak akan merusak bangunan di sekitar bantaran sungai, termasuk menimbun sampah.
Berdasarkan pantauannya, eceng gondok yang tersebar di kawasan tersebut luasnya mencapai 75 hektar. Hal ini belum termasuk sampah lainnya seperti plastik dan stereofoam yang juga singgah di sungai citarum.
Sedangkan ia dan koperasinya, hingga kini baru bisa memanfaatkan 1 hektar eceng gondok saja. Hal ini diakui Indra, karena terbatasnya kemampuan ia dan warga dalam pengambilan sampah.
Terlebih, dengan jumlah perahunya yang hanya dua, tentu akan menghabiskan waktu yang tidak sedikit untuk proses pengambilan sampahnya.
Namun dengan segala keterbatasannya, hal ini tidak menyurutkan semangat ia dan warga lainnya untuk terus memproduksi kerajinan "sampah" ini.
"Yang penting kita terus bergerak, terus melakukan sesuatu, dan terus berinovasi. Kita hargai setiap prosesnya, kita lakukan semaksimal mungkin," pungkasnya.
Berawal dari kesedihannya melihat sungai Citarum penuh sampah, dan salah satunya tidak terkendalinya pertumbuhan eceng gondok di sana. Sungai Citarum adalah tempat bermainnya semasa kecil.
"Sungai yang dulu saya kenal bersih, kini penuh sampah dan eceng gondok. Masyarakat di sekitarnya pun menjadi miskin karena lahannya tercerabut pembangunan waduk Saguling," tuturnya saat ditemui di kediamannya di Desa Cihampelas, Kecamatan Cihampelas Kabupaten Bandung Barat.
Berbekal ilmu pengetahuannya selama mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, Indra yang merupakan lulusan Sarjana dari Universitas Padjajaran (Unpad) ini pun berinisiatif untuk memberdayakan sampah yang ada di sungai Citarum.
Awalnya Indra sendiri yang memulung sampah dan eceng gondok tersebut, langsung menggunakan perahu kecil. Usai dikumpulkan, Indra pun mencoba membuat sebuah benda seperti tas atau kerajinan lainnya dari sampah dan eceng gondok hasil tangkapannya tersebut.
"Setiap pagi saya memulungi sampah dan eceng gondok di sungai Citarum. Malamnya, baru saya buat kerajinan tas dan lainnya. Lama-kelamaan masyarakat di sekitar rumah saya pun ikut bergabung mengumpulkan sampah dan eceng gondok. Saya pinjamkan perahu pada mereka. Kini, merekalah yang mengambil serta menjual sampah dan eceng gondok pada saya, untuk saya jadikan kerajinan," paparnya.
Mengingat kala itu, apa yang dilakukan masih langka, Indra pun sempat mendapatkan penolakan dari keluarga dan warga. Kesannya, seorang sarjana malah berakhir sebagai pemulung sampah.
Namun, dengan penuh keyakinan, Indra pun berhasil membuktikan bahwa dari sesuatu yang mereka anggap tak bernilai, ternyata memiliki nilai ekonomi.
Sejak lulus di tahun 1998, Indra tetap konsisten menjalani kegiatan itu. Memproduksi barang-barang berbahan dasar sampah dan eceng gondok, lalu menjualnya di berbagai pameran maupun secara online.
Akhirnya di tahun 2009, Indra sudah mampu membeli alat pencacah sampah sekaligus mendirikan Koperasi Bangkit Bersama.
Dengan lembaga binaannya tersebut, Indra pun memberdayakan ibu-ibu rumah tangga yang ada di lingkungan rumahnya untuk menjadi pengrajin. Sedangkan laki-lakinya menjadi pemulung di sungai.
"Untuk eceng gondok koperasi kami membelinya Rp 800 per kilo dari warga. Sedangkan pengrajinnya kami bayar Rp 20.000 per hari," katanya.
"Koperasi ini milik masyarakat sini. Ada yang mengumpulkan sampah dan eceng gondok, ada yang mengelola sampah, hingga menjadikannya kerajinan. Semua dilakukan masyarakat sini. Dari hasil penjualannya kita kembalikan lagi pada masyarakat," tambahnya.
Dalam seminggu, Indra mengaku bisa mendapatkan 3 kuintal eceng gondok dan 80 ton sampah plastik, termasuk stereofoam.
Dari banyaknya sampah yang didapatkan dari sungai CItarum itu pun, Indra dan anggota koperasinya sudah mampu membuat macam-macam kerajinan, mulai dari tas, sepatu, souvenir, benda dekorasi, hingga furniture.
Indra menuturkan, khusus untuk eceng gondok, dianggapnya bernilai zero waste. Pasalnya semua bagian eceng gondok bisa dimanfaatkan untuk membuat sesuatu.
Mulai dari akarnya yang bisa jadi media tanam, batangnya menjadi tas, dan serpihannya bisa dijadikan briket untuk bahan bakar.
Untuk pemasarannya pun, selain menjual pada relasi dan komunitas pecinta lingkungan, Indra pun rajin mengikuti pameran-pameran kerajinan dalam negeri.
Hasil kerajinannya pun banyak diminati, tak hanya di Jawa Barat, namun Sumatera, Kalimantan, hingga Bali dan Bangka Belitung pun sempat memesan hasil kerajinannya.
"Soal omset kami bersyukur terus ada peningkatan. Kalau dulu omset Rp 1 juta per bulan, kini untuk kerajinan dari eceng gondok omsetnya kisaran Rp 8 juta per bulan, sedangkan untuk sampah plastik sekitar Rp60 juta per bulan. Banyaknya memang dijual melalui online dan pesanan langsung," terangnya.
Sebagai warga yang mendiami bantaran sungai Citarum, Indra merasa miris dengan pembiaran yang dilakukan pemerintah terhadap sungai yang dulunya sempat bening ini.
Ia berpendapat, tidak apa sebenarnya eceng gondok dibiarkan tumbuh di sekitaran sungai. Namun hal itu tetap harus dikendalikan, karena jika terlalu banyak akan merusak bangunan di sekitar bantaran sungai, termasuk menimbun sampah.
Berdasarkan pantauannya, eceng gondok yang tersebar di kawasan tersebut luasnya mencapai 75 hektar. Hal ini belum termasuk sampah lainnya seperti plastik dan stereofoam yang juga singgah di sungai citarum.
Sedangkan ia dan koperasinya, hingga kini baru bisa memanfaatkan 1 hektar eceng gondok saja. Hal ini diakui Indra, karena terbatasnya kemampuan ia dan warga dalam pengambilan sampah.
Terlebih, dengan jumlah perahunya yang hanya dua, tentu akan menghabiskan waktu yang tidak sedikit untuk proses pengambilan sampahnya.
Namun dengan segala keterbatasannya, hal ini tidak menyurutkan semangat ia dan warga lainnya untuk terus memproduksi kerajinan "sampah" ini.
"Yang penting kita terus bergerak, terus melakukan sesuatu, dan terus berinovasi. Kita hargai setiap prosesnya, kita lakukan semaksimal mungkin," pungkasnya.
(nag)