Aji Imbut dan Sejarah Berdirinya Tenggarong
A
A
A
SEJARAH berdirinya Tenggarong, ibu kota Kabupaten Kutai Kartanegara, tak bisa dilepaskan dari sosok Aji Imbut. Siapa Aji Imbut?
Aji Imbut merupakan sultan ke-16 Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Dia memerintah sejak tahun 1780.
Berdasarkan catatan sejarah, Kerajaan Kutai merupakan kerajaan tertua di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya tujuh prasasti dalam bahasa Sansekerta dengan menggunakan huruf Pallawa yang ditulis di atas yupa (tugu batu). Tulisan tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-5 Masehi.
Dari prasasti tersebut dapat diketahui adanya sebuah kerajaan di bawah kepemimpinan Raja Mulawarman, putra dari Raja Aswawarman, cucu dari Maharaja Kudunggu. Kerajaan yang diperintah oleh Mulawarman ini bernama Kerajaan Kutai Martadipura. Lokasinya di seberang Kota Muara Kaman.
Pada awal abad ke-13, berdiri sebuah kerajaan baru di Tepian Batu atau Kutai Lama. Kerajaan itu bernama Kerajaan Kutai Kartanegara. Aji Batara Agung Dewa Sakti menjadi raja pertama, berkuasa dari 1300-1325.
Keberadaan dua kerajaan di kawasan Sungai Mahakam ini menimbulan friksi di antara keduanya. Pada abad ke-16, pecahlah peperangan yang melibatkan dua kerajaan ini.
Kerajaan Kutai Kartanegara di bawah rajanya Aji Pangeran Sinum Panji Medapa akhirnya berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai Martadipura. Raja kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.
Pada 1732, ibu kota Kerjaaan Kutai Kartanegara pindah dari Kutai Lama ke Pemarangan (sekarang daerah Desa Jembayan, Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara).
Seiring perjalanan waktu, agama Islam diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara. Tepatnya, pada abad ke-17. Nama-nama Islami lalu digunakan oleh para raja dan keluarga Kerajaan Kutai Kartanegara. Sebutan raja pun diganti dengfan sebutan sultan. Sultan yang pertama kali menggunakan nama Islam adalah Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778).
Sultan Aji Muhammad Idris yang merupakan menantu Sultan Wajo Lamadukelleng berangkat ke Wajo, Sulawesi Selatan, untuk bertempur melawan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) bersama rakyat Bugis. Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara untuk sementara dipegang oleh Dewan Perwalian.
Pada 1739, Sultan Aji Muhammad Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris, terjadinya perebutan takhta kerajaan oleh Aji Kado. Putra mahkota kerajaan, Aji Imbut, saat itu masih kecil. Dia kemudian dilarikan ke Wajo.
Aji Kado kemudian meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan menggunakan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.
Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putra mahkota yang sah dari Kesultanan Kukar kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin.
Penobatan Sultan Aji Muhammad Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang (Samarinda seberang). Sejak itu, dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.
Perlawanan berlangsung dengan siasat embargo yang ketat oleh Mangkujenang terhadap Pemarangan. Armada bajak laut Sulu terlibat dalam perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap Pemarangan. Tahun 1778, Aji Kado meminta bantuan VOC. Namun, VOC tak memehuni permintaan bantuan Aji Kado tersebut.
Pada 1780, Aji Imbut berhasil merebut kembali ibu kota Pemarangan dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di Istana Kesultanan Kukar. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan.
Aji Imbut lalu memindahkan ibu kota Kesultanan Kutai Kartanegara keTepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado dan Pemarangan dianggap telah kehilangan tuahnya.
Dalam proses perjalanan melewati Sungai Mahakam mencari ibu kota pemerintahan yang tepat, Aji Imbut sempat bermalam di daerah Gersik (di kawasan Desa Perjiwa saat ini), sebelum memilih ibu kota Kesultanan Kutai Kartanegara di Tepian Pandan.
Nama Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja. Lama kelamaan, Tangga Arung lebih populer dengan sebutan Tenggarong dan bertahan hingga kini.
Berdasarkan legenda Orang Dayak Benuaq dari kelompok Ningkah Olo, nama/kata Tenggarong menurut bahasa Dayak Benuaq adalah 'Tengkarukng' berasal dari kata tengkaq dan bengkarukng.
Tengkaq berarti naik atau menjejakkan kaki ke tempat yang lebih tinggi (seperti meniti anak tangga). Sementara, bengkarukng adalah sejenis tanaman akar-akaran.
Ketika sekelompok orang Benuaq (mungkin keturunan Ningkah Olo) menyusuri Sungai Mahakam menuju pedalaman mereka singgah di suatu tempat di pinggir tepian Mahakam dengan menaiki tebing sungai Mahakam melalui akar bengkarukng.
Itulah sebabnya disebut Tengkarukng oleh aksen Melayu, kadang 'keseleo' disebut Tengkarong dan lama-kelamaan penyebutan tersebut berubah menjadi Tenggarong. Perubahan tersebut disebabkan bahasa Benuaq banyak memiliki konsonan yang sulit diucapkan oleh penutur yang biasa berbahasa Melayu/Indonesia
Pada 1838 Aji Imbut mangkat dan digantikan oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin. Aji Imbut dimakamkan di Kompleks Pemakaman Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, sebelah Museum Mulawarman Tenggarong.
Namanya juga diabadikan sebagai nama Gelanggang Olah Raga (GOR) di Tenggarong, yakni GOR Aji Imbut.
Sumber: kesultanan.kutaikartanegara.com dan https://id.wikipedia.org.
Aji Imbut merupakan sultan ke-16 Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Dia memerintah sejak tahun 1780.
Berdasarkan catatan sejarah, Kerajaan Kutai merupakan kerajaan tertua di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya tujuh prasasti dalam bahasa Sansekerta dengan menggunakan huruf Pallawa yang ditulis di atas yupa (tugu batu). Tulisan tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-5 Masehi.
Dari prasasti tersebut dapat diketahui adanya sebuah kerajaan di bawah kepemimpinan Raja Mulawarman, putra dari Raja Aswawarman, cucu dari Maharaja Kudunggu. Kerajaan yang diperintah oleh Mulawarman ini bernama Kerajaan Kutai Martadipura. Lokasinya di seberang Kota Muara Kaman.
Pada awal abad ke-13, berdiri sebuah kerajaan baru di Tepian Batu atau Kutai Lama. Kerajaan itu bernama Kerajaan Kutai Kartanegara. Aji Batara Agung Dewa Sakti menjadi raja pertama, berkuasa dari 1300-1325.
Keberadaan dua kerajaan di kawasan Sungai Mahakam ini menimbulan friksi di antara keduanya. Pada abad ke-16, pecahlah peperangan yang melibatkan dua kerajaan ini.
Kerajaan Kutai Kartanegara di bawah rajanya Aji Pangeran Sinum Panji Medapa akhirnya berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai Martadipura. Raja kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.
Pada 1732, ibu kota Kerjaaan Kutai Kartanegara pindah dari Kutai Lama ke Pemarangan (sekarang daerah Desa Jembayan, Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara).
Seiring perjalanan waktu, agama Islam diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara. Tepatnya, pada abad ke-17. Nama-nama Islami lalu digunakan oleh para raja dan keluarga Kerajaan Kutai Kartanegara. Sebutan raja pun diganti dengfan sebutan sultan. Sultan yang pertama kali menggunakan nama Islam adalah Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778).
Sultan Aji Muhammad Idris yang merupakan menantu Sultan Wajo Lamadukelleng berangkat ke Wajo, Sulawesi Selatan, untuk bertempur melawan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) bersama rakyat Bugis. Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara untuk sementara dipegang oleh Dewan Perwalian.
Pada 1739, Sultan Aji Muhammad Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris, terjadinya perebutan takhta kerajaan oleh Aji Kado. Putra mahkota kerajaan, Aji Imbut, saat itu masih kecil. Dia kemudian dilarikan ke Wajo.
Aji Kado kemudian meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan menggunakan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.
Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putra mahkota yang sah dari Kesultanan Kukar kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin.
Penobatan Sultan Aji Muhammad Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang (Samarinda seberang). Sejak itu, dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.
Perlawanan berlangsung dengan siasat embargo yang ketat oleh Mangkujenang terhadap Pemarangan. Armada bajak laut Sulu terlibat dalam perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap Pemarangan. Tahun 1778, Aji Kado meminta bantuan VOC. Namun, VOC tak memehuni permintaan bantuan Aji Kado tersebut.
Pada 1780, Aji Imbut berhasil merebut kembali ibu kota Pemarangan dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di Istana Kesultanan Kukar. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan.
Aji Imbut lalu memindahkan ibu kota Kesultanan Kutai Kartanegara keTepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado dan Pemarangan dianggap telah kehilangan tuahnya.
Dalam proses perjalanan melewati Sungai Mahakam mencari ibu kota pemerintahan yang tepat, Aji Imbut sempat bermalam di daerah Gersik (di kawasan Desa Perjiwa saat ini), sebelum memilih ibu kota Kesultanan Kutai Kartanegara di Tepian Pandan.
Nama Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja. Lama kelamaan, Tangga Arung lebih populer dengan sebutan Tenggarong dan bertahan hingga kini.
Berdasarkan legenda Orang Dayak Benuaq dari kelompok Ningkah Olo, nama/kata Tenggarong menurut bahasa Dayak Benuaq adalah 'Tengkarukng' berasal dari kata tengkaq dan bengkarukng.
Tengkaq berarti naik atau menjejakkan kaki ke tempat yang lebih tinggi (seperti meniti anak tangga). Sementara, bengkarukng adalah sejenis tanaman akar-akaran.
Ketika sekelompok orang Benuaq (mungkin keturunan Ningkah Olo) menyusuri Sungai Mahakam menuju pedalaman mereka singgah di suatu tempat di pinggir tepian Mahakam dengan menaiki tebing sungai Mahakam melalui akar bengkarukng.
Itulah sebabnya disebut Tengkarukng oleh aksen Melayu, kadang 'keseleo' disebut Tengkarong dan lama-kelamaan penyebutan tersebut berubah menjadi Tenggarong. Perubahan tersebut disebabkan bahasa Benuaq banyak memiliki konsonan yang sulit diucapkan oleh penutur yang biasa berbahasa Melayu/Indonesia
Pada 1838 Aji Imbut mangkat dan digantikan oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin. Aji Imbut dimakamkan di Kompleks Pemakaman Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, sebelah Museum Mulawarman Tenggarong.
Namanya juga diabadikan sebagai nama Gelanggang Olah Raga (GOR) di Tenggarong, yakni GOR Aji Imbut.
Sumber: kesultanan.kutaikartanegara.com dan https://id.wikipedia.org.
(zik)