Abu Tholut Ingin Kembangkan Pesantren Plus
A
A
A
KUDUS - Masih ingat dengan Abu Tholut atau Imron Baihaqi (54)? Orang yang namanya kerap dikaitkan dengan serangkaian kasus terorisme di Indonesia, pelatihan paramiliter di Aceh, kepemilikan senjata api ilegal, pembuatan laboratorium bom, hingga perampokan Bank CIMB Niaga Medan itu kini telah menghirup udara bebas seusai menjalani hukuman di Lapas Kedungpane, Semarang.
Di usianya yang lebih dari separo abad ini, lelaki yang pernah kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta awal tahun 1980-an ini memiliki sejumlah impian yang ingin diwujudkannya di sekitar tempat tinggalnya di Desa Bae, Kecamatan Bae, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Apa saja?
Pria berjanggut lebat itu langsung menyalami wartawan KORAN SINDO yang bertandang ke rumahnya, Rabu (21/10/2015) siang. Meski sudah berusia 54 tahun, genggaman tangan lelaki yang pernah menjadi Komandan Jamaah Islamiyah (JI) Mantiqi III yang membawahi wilayah segitiga Indonesia (Sulawesi), Malaysia dan Filipina (Mindanao) ini masih terasa kuat.
Badan Abu Tholut juga terlihat tegap dan kekar. Dengan senyum mengembang, ia pun mempersilakan wartawan KORAN SINDO minum dan mencicipi makanan kecil yang sudah tersaji di ruang tamu rumahnya. "Silakan dicicipi, tapi memang begini adanya," kata Abu Tholut, Rabu (21/10/2015).
Abu Tholut bebas dari Lapas Kedungpane, Semarang, Selasa (20/10/2015) siang. Ia mendapat pembebasan bersyarat setelah menjalani 2/3 masa hukuman.
Vonis yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat terkait kasus tindak pidana terorisme serta kepemilikan senjata api ilegal sebenarnya delapan tahun penjara. Namun masa hukumannya banyak berkurang seiring remisi yang diperolehnya sejak tahun 2013. Remisi itu mencakup remisi Agustusan, Idul Fitri, maupun remisi dasawarsa.
"Kalau dihitung saya di Lapas Kedungpane empat tahun 10 bulan," ujarnya.
Abu Tholut lantas bercerita awal mula pergumulannya dengan aktivitas jihad yang oleh Amerika Serikat dan Australia disebut sebagai aksi terorisme. Waktu itu, sekitar tahun 1985, selain tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Imron Baihaqi juga merupakan aktivis HMI MPO Cabang Yogyakarta. Laiknya aktivis mahasiswa pada umumnya, ia juga mencermati situasi politik di Indonesia yang memanas seiring penerapan asas tunggal Pancasila oleh Orde Baru.
Darah muda Imron Baihaqi bergejolak. Dia merasa tak sependapat dengan "instruksi" pemerintah. Ia ingin asas tunggal itu tak dipaksakan dan mendesak agar asas lain yang sudah ada tetap diberi ruang hidup.
Imron Baihaqi pun pun lantas berkonsultasi dengan sejumlah rekan maupun seniornya. Hingga akhirnya ia disarankan agar "hijrah" ke Malaysia untuk berjihad. Di Negeri Jiran, ia bertemu dengan Abdullah Sungkar dan disarankan agar pergi ke Afghanistan yang saat itu masih bergejolak seiring perang dengan Uni Soviet.
"Saya waktu itu masih bujang, muda, dan semangat tinggi. Saya berangkat dan tinggalkan kampus UGM. Saya waktu itu aktif di HMI, kalau Pak Jokowi (Presiden RI) dan Pak Ganjar (Gubernur Jateng Ganjar Pranowo) di GMNI," terangnya.
Setelah berjihad lima tahun di Afghanistan, Imron Baihaqi memutuskan pulang ke Indonesia. Ia pun menikah dan memiliki anak. Namun lagi-lagi panggilan jihad terus memanggilnya seiring konflik Poso dan Ambon.
Ia pun lalu terlibat lebih jauh lagi. Dia menjadi Komandan Mantiqi III. Petualangannya terus berlanjut hingga di Mindanao, Filipina, Aceh, dan lain sebagainya.
Ia juga dituding berada di balik temuan bahan peledak dan senjata api dalam jumlah besar di Jalan Sri Rejeki Semarang. Eksistensi gerakan Santoso di Sulawesi yang saat ini masih diburu aparat gabungan disebut-sebut juga buah dari hasil pelatihan paramiliter yang dipimpinnya.
"Itu bagian dari perjalanan hidup. Tapi saat ini saya ingin fokus untuk masa depan. Masa hukuman di Kedungpane saya anggap sebagai bagian dari meningkatkan kualitas hidup," paparnya.
Ditanya soal aktivitas yang akan dijalaninya, Abu Tholut mengatakan dunianya tak bisa jauh dari dakwah dan pendidikan. Karena itu ia terobsesi ingin mendirikan pondok pesantren plus. Disebut plus karena tak hanya mengajarkan ilmu agama dan akhirat, namun juga keterampilan yang bisa dimaksimalkan santri untuk bekal hidup di dunia.
Abu Tholut yakin, ilmu yang pernah dipelajarinya selama bangku kuliah bisa menjadi modal berharga. Ia pun melirik usaha agribisnis meliputi pertanian, peternakan, maupun perikanan. Sektor itu akan dirintis di ponpes yang didirikannya.
"Jadi pesantren plus. Sekitar 80 persen biaya operasional ponpes itu berasal dari urusan konsumsi. Kalau itu bisa dipenuhi sendiri maka akan meringankan keuangan ponpes. Jadi hasil agribisnis itu selain untuk mencukupi kebutuhan ponpes juga untuk dijual. Nah, hasilnya untuk kegiatan lain termasuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga saya," ucap ayah tujuh anak ini.
Ditanya soal modal untuk mendirikan ponpes, Abu Tholut mengatakan ia memiliki tanah warisan seluas 1.000 meter persegi di Cileungsi, Bogor, Jawa Barat. Ia berharap tanah itu bisa terjual dan hasilnya dipakai untuk mendirikan ponpes dan usaha agribisnis yang rencananya didirikan di Kudus. "Kalau ada orang yang tergerak mau membantu ya silakan. Ini demi kebaikan, saya membuka pintu lebar-lebar."
Disinggung soal kendala yang dihadapi, Abu Tholut mengatakan saat ini ia memang belum leluasa beraktivitas. Maklum saja, saat ini ia tidak memiliki dokumen kependudukan maupun identitas diri yang lain.
Berbagai dokumen yang juga merupakan barang bukti kasus yang menjeratnya itu sudah dimusnahkan negara. Selain dokumen kependudukan, turut dimusnahkan juga puluhan buku agama, buku politik dan militer di Indonesia, termasuk buku militer warisan orangtuanya.
"Ini yang saya sayangkan. KTP itu salahnya apa kok ikut dimusnahkan. Kalau barang bukti seperti pistol, peluru tak masalah karena itu terkait dengan perkara," sesalnya.
Soal sikap masyarakat terkait kepulangannya, Abu Tholut mengatakan sejauh ini hubungannya dengan warga baik-baik saja. Abu Tholut juga tidak pernah merasa malu dengan statusnya. Masyarakat sekitar juga tak mempermasalahkan aktivitas yang pernah dilaluinya.
"Masyarakat itu tak memandang status kita. Kalau kita baik dan mau berkumpul mereka pasti juga menerima. Dan sejak dulu saya memang seperti itu," tandasnya.
Di usianya yang lebih dari separo abad ini, lelaki yang pernah kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta awal tahun 1980-an ini memiliki sejumlah impian yang ingin diwujudkannya di sekitar tempat tinggalnya di Desa Bae, Kecamatan Bae, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Apa saja?
Pria berjanggut lebat itu langsung menyalami wartawan KORAN SINDO yang bertandang ke rumahnya, Rabu (21/10/2015) siang. Meski sudah berusia 54 tahun, genggaman tangan lelaki yang pernah menjadi Komandan Jamaah Islamiyah (JI) Mantiqi III yang membawahi wilayah segitiga Indonesia (Sulawesi), Malaysia dan Filipina (Mindanao) ini masih terasa kuat.
Badan Abu Tholut juga terlihat tegap dan kekar. Dengan senyum mengembang, ia pun mempersilakan wartawan KORAN SINDO minum dan mencicipi makanan kecil yang sudah tersaji di ruang tamu rumahnya. "Silakan dicicipi, tapi memang begini adanya," kata Abu Tholut, Rabu (21/10/2015).
Abu Tholut bebas dari Lapas Kedungpane, Semarang, Selasa (20/10/2015) siang. Ia mendapat pembebasan bersyarat setelah menjalani 2/3 masa hukuman.
Vonis yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat terkait kasus tindak pidana terorisme serta kepemilikan senjata api ilegal sebenarnya delapan tahun penjara. Namun masa hukumannya banyak berkurang seiring remisi yang diperolehnya sejak tahun 2013. Remisi itu mencakup remisi Agustusan, Idul Fitri, maupun remisi dasawarsa.
"Kalau dihitung saya di Lapas Kedungpane empat tahun 10 bulan," ujarnya.
Abu Tholut lantas bercerita awal mula pergumulannya dengan aktivitas jihad yang oleh Amerika Serikat dan Australia disebut sebagai aksi terorisme. Waktu itu, sekitar tahun 1985, selain tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Imron Baihaqi juga merupakan aktivis HMI MPO Cabang Yogyakarta. Laiknya aktivis mahasiswa pada umumnya, ia juga mencermati situasi politik di Indonesia yang memanas seiring penerapan asas tunggal Pancasila oleh Orde Baru.
Darah muda Imron Baihaqi bergejolak. Dia merasa tak sependapat dengan "instruksi" pemerintah. Ia ingin asas tunggal itu tak dipaksakan dan mendesak agar asas lain yang sudah ada tetap diberi ruang hidup.
Imron Baihaqi pun pun lantas berkonsultasi dengan sejumlah rekan maupun seniornya. Hingga akhirnya ia disarankan agar "hijrah" ke Malaysia untuk berjihad. Di Negeri Jiran, ia bertemu dengan Abdullah Sungkar dan disarankan agar pergi ke Afghanistan yang saat itu masih bergejolak seiring perang dengan Uni Soviet.
"Saya waktu itu masih bujang, muda, dan semangat tinggi. Saya berangkat dan tinggalkan kampus UGM. Saya waktu itu aktif di HMI, kalau Pak Jokowi (Presiden RI) dan Pak Ganjar (Gubernur Jateng Ganjar Pranowo) di GMNI," terangnya.
Setelah berjihad lima tahun di Afghanistan, Imron Baihaqi memutuskan pulang ke Indonesia. Ia pun menikah dan memiliki anak. Namun lagi-lagi panggilan jihad terus memanggilnya seiring konflik Poso dan Ambon.
Ia pun lalu terlibat lebih jauh lagi. Dia menjadi Komandan Mantiqi III. Petualangannya terus berlanjut hingga di Mindanao, Filipina, Aceh, dan lain sebagainya.
Ia juga dituding berada di balik temuan bahan peledak dan senjata api dalam jumlah besar di Jalan Sri Rejeki Semarang. Eksistensi gerakan Santoso di Sulawesi yang saat ini masih diburu aparat gabungan disebut-sebut juga buah dari hasil pelatihan paramiliter yang dipimpinnya.
"Itu bagian dari perjalanan hidup. Tapi saat ini saya ingin fokus untuk masa depan. Masa hukuman di Kedungpane saya anggap sebagai bagian dari meningkatkan kualitas hidup," paparnya.
Ditanya soal aktivitas yang akan dijalaninya, Abu Tholut mengatakan dunianya tak bisa jauh dari dakwah dan pendidikan. Karena itu ia terobsesi ingin mendirikan pondok pesantren plus. Disebut plus karena tak hanya mengajarkan ilmu agama dan akhirat, namun juga keterampilan yang bisa dimaksimalkan santri untuk bekal hidup di dunia.
Abu Tholut yakin, ilmu yang pernah dipelajarinya selama bangku kuliah bisa menjadi modal berharga. Ia pun melirik usaha agribisnis meliputi pertanian, peternakan, maupun perikanan. Sektor itu akan dirintis di ponpes yang didirikannya.
"Jadi pesantren plus. Sekitar 80 persen biaya operasional ponpes itu berasal dari urusan konsumsi. Kalau itu bisa dipenuhi sendiri maka akan meringankan keuangan ponpes. Jadi hasil agribisnis itu selain untuk mencukupi kebutuhan ponpes juga untuk dijual. Nah, hasilnya untuk kegiatan lain termasuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga saya," ucap ayah tujuh anak ini.
Ditanya soal modal untuk mendirikan ponpes, Abu Tholut mengatakan ia memiliki tanah warisan seluas 1.000 meter persegi di Cileungsi, Bogor, Jawa Barat. Ia berharap tanah itu bisa terjual dan hasilnya dipakai untuk mendirikan ponpes dan usaha agribisnis yang rencananya didirikan di Kudus. "Kalau ada orang yang tergerak mau membantu ya silakan. Ini demi kebaikan, saya membuka pintu lebar-lebar."
Disinggung soal kendala yang dihadapi, Abu Tholut mengatakan saat ini ia memang belum leluasa beraktivitas. Maklum saja, saat ini ia tidak memiliki dokumen kependudukan maupun identitas diri yang lain.
Berbagai dokumen yang juga merupakan barang bukti kasus yang menjeratnya itu sudah dimusnahkan negara. Selain dokumen kependudukan, turut dimusnahkan juga puluhan buku agama, buku politik dan militer di Indonesia, termasuk buku militer warisan orangtuanya.
"Ini yang saya sayangkan. KTP itu salahnya apa kok ikut dimusnahkan. Kalau barang bukti seperti pistol, peluru tak masalah karena itu terkait dengan perkara," sesalnya.
Soal sikap masyarakat terkait kepulangannya, Abu Tholut mengatakan sejauh ini hubungannya dengan warga baik-baik saja. Abu Tholut juga tidak pernah merasa malu dengan statusnya. Masyarakat sekitar juga tak mempermasalahkan aktivitas yang pernah dilaluinya.
"Masyarakat itu tak memandang status kita. Kalau kita baik dan mau berkumpul mereka pasti juga menerima. Dan sejak dulu saya memang seperti itu," tandasnya.
(zik)