Kesaksian Elite PKI tentang Sepak Terjang Aidit

Minggu, 18 Oktober 2015 - 05:05 WIB
Kesaksian Elite PKI tentang Sepak Terjang Aidit
Kesaksian Elite PKI tentang Sepak Terjang Aidit
A A A
PENGAKUAN mengejutkan para elite Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam sidang Mahmilub tentang sepak terjang Ketua Comite Central (CC) PKI Dipo Nusantara Aidit dalam Gerakan 30 September (G30S) 1965 membuka tabir baru.

Berbeda dengan versi resmi Pemerintah Orde Baru Soeharto yang menyebutkan seluruh anggota dan simpatisan PKI terlibat langsung dalam gerakan itu, dalam pengakuan para elitenya, PKI sama sekali tidak disebut-sebut terlibat di dalamnya.

Seperti diungkapkan Dewan Harian Politbiro PKI Sudisman, satu-satunya elite PKI yang berhasil selamat dari pembantaian massal yang dilakukan Angkatan Dasar (AD) terhadap jutaan anggota dan simpatisan PKI.

Dalam pembelaannya yang dinamakannya sebagai Uraian Tanggungdjawab, Sudisman menyebut PKI sebagai partai politik tidak pernah dilibatkan dalam gerakan intern Angkatan Darat (AD) yang dipimpin oleh Untung dan Supardjo itu.

"(Aidit) tidak pernah mengemukakan PKI mau mengadakan operasi militer, dan Kawan Aidit juga tidak pernah mengemukakan PKI mau mencetuskan revolusi saat itu," kata Sudisman.

Dikatakannya, pemrakarsa dan pengorganisasi utama gerakan itu adalah para perwira progresif revolusioner yang ingin menggagalkan rencana kudeta Dewan Jenderal yang di belakangnya terdapat perwira-perwira nonkomunis dan komunis.

Sedangkan Aidit dan dirinya, termasuk dari sedikit elite PKI yang mendukung gerakan itu karena menilai sayap kanan AD yang dinamakan Dewan Jenderal merupakan kekuatan terbesar yang menghalangi langkah-langkah politik PKI.

Dia melanjutkan, strategi elite PKI dalam mendukung gerakan itu, meski waktu itu dirasa tepat namun belakangan disesali karena dengan begitu PKI telah meninggalkan garis perjuangannya yang utama, yaitu memimpin massa rakyat.

Dalam sidang-sidang yang dilaksanakan Politbiro, Sudisman mengakui Aidit memegang peran kunci dalam keterlibatan para elite PKI dalam gerakan yang berhasil dipatahkan dalam beberapa hari saja itu.

Namun sayang, sebelum mengungkapkan rahasia gerakan itu, Aidit langsung ditembak mati oleh tentara yang menangkapnya tanpa diberikan kesempatan sedikitpun untuk membela diri dalam sidang Mahmilub seperti Sudisman.

Padahal dengan diseretnya Aidit ke sidang Mahmilub, informasi yang lebih lengkap tentang peristiwa yang menjadi misteri selama setengah abad itu akan menemukan sedikit titik terang.

Sudisman juga mengungkapkan, Aidit merupakan elite PKI utama yang menjalin hubungan dengan militer dalam gerakan itu dan menetapkan tindakan apa yang akan dilakukan sejumlah anggota PKI dalam mendukung G30S.

"(Aidit) menugaskan pengiriman beberapa tenaga ke daerah pada hari-hari menjelang meletusnya G30S dengan perintah, dengarkan pengumuman Radio Republik Indonesia (RRI) pusat dan sokong Dewan Revolusi," terang Sudisman lagi.

Asistant Professor Departemen Sejarah University of British Columbia, Vancouver, Kanada, John Roosa menilai apa yang disampaikan Sudisman dalam sidang itu tidak menjawab sepak terjang Aidit dalam G30S.

Sebaliknya, dia melihat sepak terjang Aidit dalam gerakan itu justru terlihat dalam pengakuan Sjam Kamaruzzaman dalam Mahmilub yang menurut sejumlah ilmuan disebut-sebut sebagai otak dari G30S.

Sebelum beranjak lebih jauh tentang keterangan Sjam, sedikit diuraikan pengakuan dr Subandrio dalam bukunya yang berjudul Yang Saya Alami Peristiwa G30S. Keterangan Subandrio penting disimak, terutama menyangkut sakitnya Presiden Soekarno.

Menurut Subandrio, peristiwa sakitnya Soekarno pada awal Agustus 1965 merupakan peristiwa penting. Sebab sakitnya Soekarno, menurutnya karena aktivitas Soekarno pada malam-malam sebelumnya melakukan kunjungan ke pasar-pasar di Jakarta.

Akibat terlalu sering keluar malam itu, Soekarno yang keletihan jatuh sakit. Informasi yang beredar, Soekarno sakit keras. Padahal, saat itu dia hanya kelelahan dan masuk angin.

Saat Soekarno sakit, DN Aidit sedang berada di luar negeri melakukan kunjungan kenegaraan di China. Khawatir terjadi sesuatu dengan Soekarno dan pimpinan pemerintahan, dia lalu kembali ke Indonesia bersama dokter dari China.

Hasil pemeriksaan dokter yang dibawa Aidit juga sama dengan hasil diagnosa yang dilakukannya bersama Wakil Presiden II dr Leimena yang menyatakan Soekarno masuk angin. Menurut Subandrio, Aidit juga tahu Soekarno masuk angin.

Namun, seperti diungkapkan Soekarno dalam pidato pelengkap Nawaksara, G30S terjadi akibat pemimpin PKI yang keblinger. Dalam pidato itu, jelas yang dimaksud oleh Soekarno adalah Aidit.

Subandrio merupakan salah satu menteri yang diseret ke sidang Mahmilub dan dijatuhi hukuman mati, dan akhirnya dibebaskan. Masih menurut Subandrio, peristiwa sakitnya Soekarno ditanggapi berlebihan oleh Sjam dan PKI.

Sebagai Kepala Badan Pusat Intelijen, Subandrio mengetahui sepak terjang Sjam. Menurutnya, Sjam adalah agen ganda yang berada di PKI sekaligus AD. Menurut bisikan Sjam, AD akan mengambil alih pimpinan jika Soekarno meninggal.

Rupanya, bisikan Sjam itu termakan oleh Aidit. Padahal, dia tahu Soekarno sehat bugar dan hanya menderita masuk angin. Tetapi jiwa petualang Aidit menyebabkannya bermain-main dengan revolusi.

Dalam sidang Biro Khusus PKI, Sjam mengatakan Aidit memberikan perintah kepadanya untuk menunggu dipukul atau memukul lebih dahulu. Perintah itu disambut dengan membuat gerakan bersama Untung, Pono, Latif, Sujono, Sigit, dan Wahjudi.

Lebih jauh, Sjam mengaku yang memilih para perwira progresif revolusioner itu untuk melakukan G30S. Dari keterangan Sjam ini dapat diketahui sepak terjang Aidit dalam gerakan itu cukup jauh.

Untuk mengetahui lebih jauh sepak terjang Aidit dalam gerakan itu, dapat diungkap kesaksian elite PKI yang duduk di Politbiro, yaitu Iskandar Subekti, panitera dan arsiparis Politbiro.

Dalam paparannya, Subekti menyatakan PKI sebagai partai memberikan dukungan politik kepada G30S, namun menolak saat memberikan dukungan fisik. Hal itu katanya telah diputuskan dalam sidang Politbiro.

Menurutnya, sikap politik mendukung gerakan perwira progresif revolusioner adalah sikap yang wajar sebagai sesama kekuatan revolusioner yang menolak gerakan kontrarevolusioner sayap kanan AD.

"Sikap itu adalah sikap politik yang wajar dan biasa, berhubung dengan perkembangan situasi dan garis politik PKI yang mendukung Pemerintah Soekarno pada waktu itu," terang Subekti dalam catatannya, Jalan Pembebasan Rakyat Indonesia.

Kendati begitu, sama dengan Sudisman, Subekti menolak jika dikatakan G30S disebut sebagai ciptaan atau buatan PKI. Karena CC PKI tidak pernah membuat keputusan untuk melakukan operasi militer apalagi membuat revolusi.

"G30S bukan buatan atau ciptaan PKI maka seandainya ia merupakan gerakan dari PKI atau gerakan yang didalangi PKI, semestinya ia dibicarakan dan diputuskan oleh badan pimpinan partai yang tertinggi, yaitu Comite Central," sambungnya.

Dia melanjutkan pada kenyataannya, hal itu tidak pernah dibicarakan dalam CC PKI yang anggotanya berjumlah 85 orang. Bahkan ada anggota Politbiro atau calon anggota Politbiro yang tidak mengetahui sama sekali G30S.

"Manakala ada anggota CC atau Politbiro yang tersangkut dalam gerakan ini maka mayoritas dari mereka hanya merupakan pelaksana saja, bukan pemikir yang ikut memutuskan, membicarakan atau merencanakan gerakan ini," tegasnya.

Subekti mengungkap sepak terjang Aidit dengan Sjam yang melakukan pertemuan pada Agustus 1965 untuk membahas aksi militer melawan Dewan Jenderal dan meminta dukungan Politbiro.

Namun, Politbiro hanya memberikan dukungan secara politis, tanpa dukungan fisik. Aidit lalu melangkah lebih jauh dengan membentuk tim khusus yang anggotanya terdiri atas beberapa anggota Politbiro.

Dalam diskusi dengan tim khusus, Subekti yang berada di dalamnya mencatat, Aidit telah mengonsepkan daftar orang-orang yang akan menjadi anggota Dewan Revolusi dan disetujui oleh forum diskusi.

"Sejak semula, selagi masih dalam tingkat-tingkat pertama dalam pembicaraan antara DN Aidit dan Kamaruzaman (Sjam), telah diputuskan bahwa gerakan itu harus merupakan gerakan militer, tidak boleh terlihat sebagai gerakan dari PKI," jelasnya.

Subekti juga mengungkapkan tujuan dari gerakan itu adalah untuk membersihkan jenderal-jenderal Angkatan Darat yang antikomunis agar suasana politik yang memungkinkan PKI berkembang luas tidak mendapatkan kendali berarti.

Dalam setiap diskusi anggota tim khusus, anggota Politbiro PKI lainnya yang tidak termasuk di dalamnya tidak pernah diikut sertakan. Begitupun dengan hasilnya, mereka tidak pernah diberitahu.

Dengan demikian, tim yang dibentuk Aidit sebagai badan yang menggodok gerakan berdiri terpisah dari PKI sebagai partai politik meski tujuan dari tim itu untuk kelangsungan hidup politik PKI.

Dari beberapa diskusi yang aktif diikuti Subekti, tidak pernah terucap gagasan untuk mendemisionerkan Kabinet Soekarno. Saat RRI mengumumkan gagasan tersebut, semua anggota tim langsung tertuju kepada Aidit.

Dewan Revolusi yang dirumuskan tim khusus dimaksudkan untuk menekan Pemerintah Soekarno agar bergeser ke kiri, tidak untuk mengganti menteri-menteri kabinet yang ada. Dengan demikian, Aidit menunjukkan pertualangannya.

Pada dini hari 1 Oktober 1965, Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letnan Jenderal Ahmad Yani dan lima orang staf umumnya diculik dari rumah-rumah mereka oleh Gerakan 30 September.

Para penculik membunuh Yani dan dua jenderal lainnya saat proses penangkapan. Tiga jenderal lainnya dibunuh saat tiba di Lubang Buaya dan mayatnya dibuang ke dalam sumur tua.

Sementara Jenderal TNI Abdul Harris Nasution yang menjadi sasaran utama selamat dari upaya penculikan. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya Lettu CZI Pierre Andreas Tendean tewas terbunuh.

Demikian ulasan singkat Cerita Pagi ini diakhiri, semoga memberikan manfaat.

Sumber Tulisan
Pater Dale Scott, Amerika Serikat dan Penggulingan Soekarno 1965-1967, Vision 03, Cetakan Kedua September 2003.
John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, Hasta Mitra, Jakarta 2008.
Dr H Subandrio, Yang Saya Alami Peristiwa G30S, PT Bumi Intitama Sejahtera, Cetakan Pertama, Mei 2006.
H Maulwi SAelan, Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66, VisiMedia, Cetakan Ketiga 2008.
Murad Aidit, Aidit Sang Legenda, PantaRei, Cetakan Pertama, September 2005.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0111 seconds (0.1#10.140)