Bukan Sekadar Pemanis Tribun
A
A
A
Sepak bola tidak hanya digemari oleh kaum adam. Banyak juga perempuan yang senang dengan olahraga berebut kulit bundar ini. Namun, terkadang wanita yang menyukai bola dan rela menyaksikan pertandingan resmi secara langsung di stadion masih dianggap anak muda urakan.
Tidak ingin stigma tersebut terus melekat, Panser Girl perlahan mencoba menghilangkan anggapan negatif masyarakat tersebut. Beberapa remaja putri yang fanatik terhadap PSIS Semarang kemudian menggabungkan diri untuk membentuk suatu wadah bernama Panser Girl .
Komunitas tersebut bukan merupakan organisasi yang berdiri sendiri, tapi masih menjadi sayap dari Panser Biru , suporter setia PSIS Semarang, Panser Girl sudah terbentuk sejak 10 Februari 2003 tapi belum memiliki kepengurusan inti, seperti ketua, sekretaris, dan bendahara.
Baru sejak 2013, mereka sudah mulai menata untuk berorganisasi dengan benar, ketika Panser Biru masih dipimpin oleh Mario Baskoro hingga Kepareng, yang menggantikan Mario pada 2015. Mereka berdiri tidak asal sekadar memberikan pemanis di tribune stadion, tapi juga ingin mengajarkan normanorma dan etika jika berada di tempat umum.
Dalam kegiatannya, komunitas ini tidak berjalan sendiri, tapi lebih banyak memberi support di organisasi induk. “Beberapa waktu lalu kami juga menggalang dana untuk diberikan kepada pedagang di Jatidiri yang menjadi korban kerusuhan saat pertandingan PSIS Semarang versus Persis Solo.”
“Kami juga ikut dalam bakti sosial di panti asuhan di kawasan Karangrejo,” ungkap Wakil Ketua Panser Girl , Nurul Layalia, kemarin. Saat ini jumlah anggota yang aktif berkumpul sekitar 30-40 orang. Sebenarnya anggotanya lebih dari 50, tapi lantaran kesibukan sekolah, kuliah, dan pekerjaan, menghalangi mereka lebih aktif di komunitas. Terbentuknya Panser Girl ini berawal dari keinginan suporter cewek yang ingin menonton sepak bola lebih aman dan nyaman.
Mereka ingin menonton bersama dengan sesama perempuan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. “Makanya itu. Dalam setiap pertemuan, sudah sering kami sampaikan agar menonton sepak bola dengan pakaian yang sopan, yang tidak pakai hijab dipersilakan, tapi harus sopan untuk mencegah orang berbuat jahat pada kita,” kata alumni Fakultas Hukum Undip Semarang ini.
Namun, dia tidak menampik memang ada suporter beberapa cewek yang tidak mudah dirangkul dan diatur dalam wadah resmi. Hal ini dikembalikan dari kepribadian masing-masing orang, dan itu tidak bisa dipaksa. Secara umum saat ini rata-rata mereka sudah semakin maju tidak seperti dulu.
Menurut Lia, begitu Layalia biasa disapa, melalui wadah tersebut dia tidak hanya bisa menyalurkan hobinya menyaksikan pertandingan sepak bola, tapi juga mampu belajar berorganisasi. Karena dalam komunitas, tentu akan berhubungan dengan banyak karakter orang dan pihak luar. “Saya banyak belajar bersosialisasi dengan orang lain,” ucapnya.
Arif Purniawan
Kota Semarang
Tidak ingin stigma tersebut terus melekat, Panser Girl perlahan mencoba menghilangkan anggapan negatif masyarakat tersebut. Beberapa remaja putri yang fanatik terhadap PSIS Semarang kemudian menggabungkan diri untuk membentuk suatu wadah bernama Panser Girl .
Komunitas tersebut bukan merupakan organisasi yang berdiri sendiri, tapi masih menjadi sayap dari Panser Biru , suporter setia PSIS Semarang, Panser Girl sudah terbentuk sejak 10 Februari 2003 tapi belum memiliki kepengurusan inti, seperti ketua, sekretaris, dan bendahara.
Baru sejak 2013, mereka sudah mulai menata untuk berorganisasi dengan benar, ketika Panser Biru masih dipimpin oleh Mario Baskoro hingga Kepareng, yang menggantikan Mario pada 2015. Mereka berdiri tidak asal sekadar memberikan pemanis di tribune stadion, tapi juga ingin mengajarkan normanorma dan etika jika berada di tempat umum.
Dalam kegiatannya, komunitas ini tidak berjalan sendiri, tapi lebih banyak memberi support di organisasi induk. “Beberapa waktu lalu kami juga menggalang dana untuk diberikan kepada pedagang di Jatidiri yang menjadi korban kerusuhan saat pertandingan PSIS Semarang versus Persis Solo.”
“Kami juga ikut dalam bakti sosial di panti asuhan di kawasan Karangrejo,” ungkap Wakil Ketua Panser Girl , Nurul Layalia, kemarin. Saat ini jumlah anggota yang aktif berkumpul sekitar 30-40 orang. Sebenarnya anggotanya lebih dari 50, tapi lantaran kesibukan sekolah, kuliah, dan pekerjaan, menghalangi mereka lebih aktif di komunitas. Terbentuknya Panser Girl ini berawal dari keinginan suporter cewek yang ingin menonton sepak bola lebih aman dan nyaman.
Mereka ingin menonton bersama dengan sesama perempuan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. “Makanya itu. Dalam setiap pertemuan, sudah sering kami sampaikan agar menonton sepak bola dengan pakaian yang sopan, yang tidak pakai hijab dipersilakan, tapi harus sopan untuk mencegah orang berbuat jahat pada kita,” kata alumni Fakultas Hukum Undip Semarang ini.
Namun, dia tidak menampik memang ada suporter beberapa cewek yang tidak mudah dirangkul dan diatur dalam wadah resmi. Hal ini dikembalikan dari kepribadian masing-masing orang, dan itu tidak bisa dipaksa. Secara umum saat ini rata-rata mereka sudah semakin maju tidak seperti dulu.
Menurut Lia, begitu Layalia biasa disapa, melalui wadah tersebut dia tidak hanya bisa menyalurkan hobinya menyaksikan pertandingan sepak bola, tapi juga mampu belajar berorganisasi. Karena dalam komunitas, tentu akan berhubungan dengan banyak karakter orang dan pihak luar. “Saya banyak belajar bersosialisasi dengan orang lain,” ucapnya.
Arif Purniawan
Kota Semarang
(bbg)