Kenalkan Becak Listrik Perpaduan Seni Budaya dan Teknologi
A
A
A
Kendaraan roda tiga atau yang biasa dikenal dengan becak, melaju perlahan di dalam ruang pameran Jogja National Museum (JNM), Senin (14/9) malam. Dikayuh dengan ringan oleh pakar pesawat terbang Ilham A Habibie, siapa sangka bahwa inovasi alat transportasi tradisional ini telah menggunakan energi listrik bersumber pada baterai lithium 500 volt.
Meski bukan hal baru, mengingat saat ini telah hadir becak motor di Yogyakarta, namun setidaknya lewat inovasi terbaru dari Kupu-Kupu Malam dan Kustomfest itu bisa memberikan pilihan kepada masyarakat untuk lebih menggunakan kendaraan sesuai dengan peruntukan, efisien, dan ramah lingkungan. Cukup menarik memang ketika di Yogyakarta lahir inovasi demikian.
Apalagi desain kustomnya unik, pembuat seolah tidak ingin meninggalkan ciri khas seni budaya yang menempel pada kendaraan ini. “Membuat hal baru tidak berarti menghilangkan budaya. Lewat becak listrik ini kami tidak hanya memahami dari sisi art dan engineering saja. Tapi juga manfaat secara inovasi, selain artistik. Coba beri pilihan alternatif, selain becak motor.
Becak tradisional sebenarnya juga lebih bagus karena ramah lingkungan,” ujar Vice Director Kustomfest Aan Fikriyan di sela-sela pembukaan The International Summit on Critical and Transformative Making Indonesia 2015 di Jogja National Museum (JNM) tadi malam. Di sisi lain, bodi tepong yang terdapat di bagian samping kanan dan kiri becak juga tidak dihapuskan mengingat di dalamnya terkandung spirit becak tradisional.
Perihal becak motor sendiri, dirinya tidak menyalahkan keberadaan kendaraan itu. Hanya fungsi mesin roda dua yang dinilai tidak seimbang dengan fungsi becak semestinya. Kecepatan 40 kilometer (km) per jam seharusnya sudah cukup bagi kendaraan becak. Mengingat kendaraan ini juga telah menjadi transportasi wisata. “(Lewat becak listrik) kami coba transformasikan sebuah ide tapi tidak (lantas) cabut (akar) budayanya.
Riset becak cukup lama sekitar enam bulan, dan ini juga masih prototipe. Berharap bukan menjadi pengganti, tapi opsi. Prototipe senilai Rp17 juta ini menggunakan baterai lithium kapasitas 500 volt dengan jarak tempuh 30 km,” katanya. Co-founder & Chairman Culture Arts & Technology Empowerment Community (CATEC) Ilham A Habibie selaku penyelenggara acara bersama House of Natural Fiber (HONF) Foundation, mengaku terkesima tatkala menjajal inovasi kendaraan itu.
“Ringan dan tidak berat sama sekali. Walaupun sebenarnya (becak tradisional itu) berat (ketika dikayuh), saya pernah coba,” kata Ilham. Inovasi-inovasi semacam ini yang ingin diangkat dan dikembangkan pihaknya ke depan. Memadukan seni, budaya, hingga teknologi. Transformaking atau Transformative Making 2015 ingin menjembataninya.
Hal tersebut tidak lepas dari fenomena gerakan pembuat atau makers yang berkembang dan telah menerima pengakuan luas, karena menunjukkan potensi besar dalam mengatasi masalah dan memberikan solusi inovatif. Sebenarnya nenek moyang kita telah melakukan sejak dahulu melalui inovasi dan gagasan yang diciptakan dalam keterbatasan.
Dewasa ini prinsip do it yourself, do it with others, open data, open knowledge , dan open source , menjadi terminologi jamak untuk dipraktikkan secara parsial dalam skala global. “Ada delapan topik yang diperhatikan (dalam Transformaking 2015), seperti transportasi, energi, pendidikan, pangan dan pertanian, aeronautika, kesehatan, komunikasi, mitigasi bencana dan komunikasi.
Yang mendorong untuk membuat inovasi dan teknologi, tak hanya canggih, bisa tepat guna, sederhana, tapi terlihat manfaatnya,” katanya. Sementara dalam program pameran bertajuk Re- Affirmation Channels, sedikitnya ada 30 karya dipamerkan oleh 50 partisipan, termasuk becak listrik meliputi kalangan seniman, kolektif, akademisi, serta komunitas kreatif.
Bertempat di JNM, kegiatan tersebut digelar pada 14-17 September 2015. “Yogyakarta kota yang sangat cocok, karena kental dengan culture atau budaya tradisi dan wisdom atau kebijakan yang dimanfaatkan. Di sini seni sangat berkembang, dan yang nggak banyak tahu, teknologi di sini juga berkembang. Seperti start up dan animasi, itu perlu didorong karena budaya, seni rupa, dan teknologinya ada. Faktor akademi juga kuat karena banyak universitas,” kata pria yang juga merupakan putra Prof BJ Habibie ini.
Siti Estuningsih
Yogyakarta
Meski bukan hal baru, mengingat saat ini telah hadir becak motor di Yogyakarta, namun setidaknya lewat inovasi terbaru dari Kupu-Kupu Malam dan Kustomfest itu bisa memberikan pilihan kepada masyarakat untuk lebih menggunakan kendaraan sesuai dengan peruntukan, efisien, dan ramah lingkungan. Cukup menarik memang ketika di Yogyakarta lahir inovasi demikian.
Apalagi desain kustomnya unik, pembuat seolah tidak ingin meninggalkan ciri khas seni budaya yang menempel pada kendaraan ini. “Membuat hal baru tidak berarti menghilangkan budaya. Lewat becak listrik ini kami tidak hanya memahami dari sisi art dan engineering saja. Tapi juga manfaat secara inovasi, selain artistik. Coba beri pilihan alternatif, selain becak motor.
Becak tradisional sebenarnya juga lebih bagus karena ramah lingkungan,” ujar Vice Director Kustomfest Aan Fikriyan di sela-sela pembukaan The International Summit on Critical and Transformative Making Indonesia 2015 di Jogja National Museum (JNM) tadi malam. Di sisi lain, bodi tepong yang terdapat di bagian samping kanan dan kiri becak juga tidak dihapuskan mengingat di dalamnya terkandung spirit becak tradisional.
Perihal becak motor sendiri, dirinya tidak menyalahkan keberadaan kendaraan itu. Hanya fungsi mesin roda dua yang dinilai tidak seimbang dengan fungsi becak semestinya. Kecepatan 40 kilometer (km) per jam seharusnya sudah cukup bagi kendaraan becak. Mengingat kendaraan ini juga telah menjadi transportasi wisata. “(Lewat becak listrik) kami coba transformasikan sebuah ide tapi tidak (lantas) cabut (akar) budayanya.
Riset becak cukup lama sekitar enam bulan, dan ini juga masih prototipe. Berharap bukan menjadi pengganti, tapi opsi. Prototipe senilai Rp17 juta ini menggunakan baterai lithium kapasitas 500 volt dengan jarak tempuh 30 km,” katanya. Co-founder & Chairman Culture Arts & Technology Empowerment Community (CATEC) Ilham A Habibie selaku penyelenggara acara bersama House of Natural Fiber (HONF) Foundation, mengaku terkesima tatkala menjajal inovasi kendaraan itu.
“Ringan dan tidak berat sama sekali. Walaupun sebenarnya (becak tradisional itu) berat (ketika dikayuh), saya pernah coba,” kata Ilham. Inovasi-inovasi semacam ini yang ingin diangkat dan dikembangkan pihaknya ke depan. Memadukan seni, budaya, hingga teknologi. Transformaking atau Transformative Making 2015 ingin menjembataninya.
Hal tersebut tidak lepas dari fenomena gerakan pembuat atau makers yang berkembang dan telah menerima pengakuan luas, karena menunjukkan potensi besar dalam mengatasi masalah dan memberikan solusi inovatif. Sebenarnya nenek moyang kita telah melakukan sejak dahulu melalui inovasi dan gagasan yang diciptakan dalam keterbatasan.
Dewasa ini prinsip do it yourself, do it with others, open data, open knowledge , dan open source , menjadi terminologi jamak untuk dipraktikkan secara parsial dalam skala global. “Ada delapan topik yang diperhatikan (dalam Transformaking 2015), seperti transportasi, energi, pendidikan, pangan dan pertanian, aeronautika, kesehatan, komunikasi, mitigasi bencana dan komunikasi.
Yang mendorong untuk membuat inovasi dan teknologi, tak hanya canggih, bisa tepat guna, sederhana, tapi terlihat manfaatnya,” katanya. Sementara dalam program pameran bertajuk Re- Affirmation Channels, sedikitnya ada 30 karya dipamerkan oleh 50 partisipan, termasuk becak listrik meliputi kalangan seniman, kolektif, akademisi, serta komunitas kreatif.
Bertempat di JNM, kegiatan tersebut digelar pada 14-17 September 2015. “Yogyakarta kota yang sangat cocok, karena kental dengan culture atau budaya tradisi dan wisdom atau kebijakan yang dimanfaatkan. Di sini seni sangat berkembang, dan yang nggak banyak tahu, teknologi di sini juga berkembang. Seperti start up dan animasi, itu perlu didorong karena budaya, seni rupa, dan teknologinya ada. Faktor akademi juga kuat karena banyak universitas,” kata pria yang juga merupakan putra Prof BJ Habibie ini.
Siti Estuningsih
Yogyakarta
(bbg)