Pemilik Surat Kekancingan Jangan Buat Kegaduhan
A
A
A
YOGYAKARTA - Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat mengingatkan kepada para pemegang surat kekancingan agar tak membuat kegaduhan di masyarakat. Pihak Keraton angkat bicara setelah ada gugatan hukum Eka Aryawan, salah satu pemegang surat kekancingan kepada lima PKL di Jalan Brigjen Katamso, Gondomanan, Kota Yogyakarta.
“Kami minta tak hanya Eka, tapi semua pihak yang dipercaya Keraton memegang surat kekancingan agar tidak buat kegaduhan, saling gugat-menggugat,” pinta kuasa hukum Keraton Ngayogyakarta, Achiel Suyanto, kemarin. Secara resmi pihak Keraton menyayangkan ada gugatan hukum terhadap PKL Gondomanan.
Eka selaku penggugat yang memegang surat kekancingan per tahun 2011 hanya diberi kewenangan oleh Keraton untuk mengelola lahan milik Keraton atau Sultan Ground (SG), bukan sebagai pemilik lahan. “Tidak benar berbekal surat kekancingan bisa sewenangwenang menggugat sanasini. Apalagi sampai menggugat miliaran rupiah kepada PKL,” kata Achiel.
Dalam waktu dekat ini, Keraton akan memanggil Eka dan para PKL mengklarifikasi langsung soal permasalahan yang sudah masuk ke ranah hukum itu. Mengingat informasi awal yang diterima Keraton, para PKL berjualan tidak di dalam area lahan kekancingan yang dipegang Eka. Keraton juga mengimbau semua PKL yang berjualan di lahan Sultan Ground tanpa memegang surat kekancingan agar tahu diri, sehingga tidak serta-merta langsung mendirikan bangunan untuk berjualan.
“Dan sesegera mungkin, Keraton minta saudara Eka mencabut gugatan hukum. Jika ada masalah di lapangan soal lahan kekancingan, silakan diselesaikan baik-baik melalui musyawarah. Jangan langsung main gugatan hukum, mari kita sama-sama bangun suasana kondusif,” kata Achiel.
Sebelumnya, lima PKL di Jalan Brigjen Katamso, tepatnya di selatan perempatan Gondomanan, digugat Rp1,12 miliar oleh Eka Aryawan, seorang pengusaha yang memegang surat kekancingan hak guna lahan di dekat lokasi PKL itu memangkal. Kelima PKL yang merasa mendapat perlakuan tak adil mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta.
Sebabnya, para PKL yang merupakan pedagang nasi, tukang kunci, dan penjual stiker, telah menempati lokasi itu sejak 1967 secara turun-temurun. Kelima pedagang, yaitu Budiyono, tukang kunci; Sutinah dan Suwarni, keduanya berdagang nasi; Agung pedagang stiker; dan Sugiyadi penjual bakmi. Luas lahan yang mereka gunakan untuk berdagang hanya 4 x 5 meter.
Bahkan tiga orang terakhir ini hanya menempati satu lokasi karena berdagang secara bergiliran. Sementara lahan kekancingan Keraton yang diberikan kepada Eka Aryawan berdasar surat kekancingan nomor 203/HT/KPK/2011 seluas 73 meter persegi.
Ikhwan Sapta Nugraha, kuasa hukum para PKL dari LBH Yogyakarta mengatakan, pada 2013, kedua belah pihak sebenarnya telah membuat kesepakatan dengan mengukur dan menentukan batas-batas lahan. Dari pengukuranitu, para pedagang diketahui tidak menempati lahan kekancingan.
Surat kesepakatan itu ditandatangani kedua belah pihak, kepolisian, kecamatan setempat, dan LBH pada 13 Februari 2013. Kelima pedagang setiap tahun juga membayar pajak bumi dan bangunan di lokasi itu. “Tiba-tiba mereka diusir kembali dengan gugatan perdata ke pengadilan yang akan digelar 14 September mendatang,” kata Ikhwan.
Budiyono, pemilik kios duplikat kunci, mengaku menempati lahan itu sejak tahun 1980- an. “Dulu yang menempati Paklik, terus saya lanjutkan sampai sekarang,” ujarnya. Budiyono berharap ada kebijaksanaan dari pihak Keraton terhadap rakyat kecil seperti dirinya.
Dia juga meminta pemilik kekancingan yang menuntut dirinya bersama empat PKL lain tak semena-mena. “Harapan saya tetap bisa menempati lahan ini. Toh samasama bukan milik kita, tanah ini kan milik Keraton,” ujarnya.
Senada diungkapkan Sutinah. Pemilik warung nasi ini berharap tidak digusur. “Kalau digusur keluarga kami bagaimana? Ini tempat kami mencari nafkah. Mohon kebijaksanaan Keraton,” ucapnya memelas.
Terpisah, pengacara Eka, Onchan Poerba, tetap bersikeras akan melanjutkan proses gugatan hukum ke Pengadilan Negeri Yogyakarta. “Gugatan ini bukan tanpa proses, sejak enam bulan lalu, kami sudah terbuka mengajak musyawarah para PKL. Tapi mereka tidak mau menyelesaikan baik-baik,” katanya.
Onchan pun keberatan jika pihaknya disebut membuat kegaduhan atau berbuat sewenang- wenang terhadap PKL. Dia siap memberi penjelasan ke Keraton. “PKL itu liar, mereka berjualan di trotoar, itu menyalahi aturan. PKL jangan mencari alasan pembenar dan memosisikan diri sebagai korban,” ucapnya.
Raja Tak Tahu
Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X mengaku tidak tahu menahu tentang gugatan atas konflik tanah kekancingan di Jalan Brigjen Katamso Gondomana Yogyakarta. Di Keraton Yogyakarta urusan pertanahan SG menjadi kewenangan Panitikismo. Aku ra ngerti , tidak tahu persoalannya, tanya Mas Hadi (Kanjeng Gusti Pangeran Haryo/KGPH) Hadiwinoto) saja,” kata Sultan saat ditemui di Hotel Inna Garuda Yogyakarta, kemarin.
Penghageng Keraton Yogyakarta Gusti Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Yudaningrat mengatakan, dalam Undang- Undang (UU) Nomor 13/2012 tentang Keistimewaan DIY, diamanatkan tanah Sultan Ground-Pakualaman Ground (SG/PAG) adalah untuk kesejahteraan warga. “Lebih baik fifty-fifty (bagi rata) saja,” kata Gusti Yuda, sapaan akrab GBPH Yudaningrat.
Menurut Gusti Yuda, lima PKL yang sudah mendiami lahan itu memiliki bukti hak penggunaan tanah yang dikeluarkan pada 1960-an. Keraton menghormati surat itu, karena warga yang sudah menempati lahan secara turun-temurun diperbolehkan tetap menempati lahan itu.
Di sisi lain, warga yang memiliki kekancingan yang dikeluarkan Keraton Yogyakarta pada 2011 juga kuat secara hukum. “Kalau saya, tidak perlu sampai gugat menggugat. Wong cilik perlu dibantu untuk penghidupan,” katanya.
Di bagian lain, Ketua Pertimbangan Organisasi Indonesian Human Rights Committe for Social Justice (IHCS), Gunawan, meminta Keraton Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman sebaiknya menghentikan dulu pemberian hak pengelolaan SG-PAG. Alasannya, proses pendataan SG-PAG belum selesai dilakukan. “Aturan detail tentang G dan PAG juga belum ada, karena Perdais Pertanahan belum disahkan,” katanya.
Gunawan meminta Keraton dan Puro Kadipaten menyusun rencana umum pemanfaatan SG-PAG sehingga tidak digunakan sembarangan. Selain itu, selaku subjek hukum, diminta membuat aturan dan penanggung jawab SG-PAG. “Sebelum ada aturan itu, sebaiknya pemberian kekancingan bisa ditunda dulu untuk menghindari konflik,” ujarnya.
Gunawan juga mengingatkan dalam Pasal 32 ayat 5 UUK DIY menyatakan Kasultanan dan Kadipaten berwenang mengelola dan memanfaatkan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten ditujukan untuk sebesar- besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sudjito mengatakan, konflik pertanahan di DIY lebih rumit dibanding daerah lain. Alasannya, di DIY aturan yang mengatur lebih dari satu, yakni UU Pokok Agraria dan UU No 13/2012 tentang Keistimewaan DIY. “Potensi konflik soal tanah akan lebih muncul,” katanya.
Menurut dia, langkah yang bisa dilakukan untuk meminimalisasi potensi konflik atas hak atas tanah perlu kepastian pendataan sampai inventarisasi. “Mana SG-PAG, mana milik warga harus jelas. Selama pendataan masih kabur, potensi konflik masih terus terjadi,” ungkapnya.
Ristu hanafi/ Ridwan anshori/ Ainun najib
“Kami minta tak hanya Eka, tapi semua pihak yang dipercaya Keraton memegang surat kekancingan agar tidak buat kegaduhan, saling gugat-menggugat,” pinta kuasa hukum Keraton Ngayogyakarta, Achiel Suyanto, kemarin. Secara resmi pihak Keraton menyayangkan ada gugatan hukum terhadap PKL Gondomanan.
Eka selaku penggugat yang memegang surat kekancingan per tahun 2011 hanya diberi kewenangan oleh Keraton untuk mengelola lahan milik Keraton atau Sultan Ground (SG), bukan sebagai pemilik lahan. “Tidak benar berbekal surat kekancingan bisa sewenangwenang menggugat sanasini. Apalagi sampai menggugat miliaran rupiah kepada PKL,” kata Achiel.
Dalam waktu dekat ini, Keraton akan memanggil Eka dan para PKL mengklarifikasi langsung soal permasalahan yang sudah masuk ke ranah hukum itu. Mengingat informasi awal yang diterima Keraton, para PKL berjualan tidak di dalam area lahan kekancingan yang dipegang Eka. Keraton juga mengimbau semua PKL yang berjualan di lahan Sultan Ground tanpa memegang surat kekancingan agar tahu diri, sehingga tidak serta-merta langsung mendirikan bangunan untuk berjualan.
“Dan sesegera mungkin, Keraton minta saudara Eka mencabut gugatan hukum. Jika ada masalah di lapangan soal lahan kekancingan, silakan diselesaikan baik-baik melalui musyawarah. Jangan langsung main gugatan hukum, mari kita sama-sama bangun suasana kondusif,” kata Achiel.
Sebelumnya, lima PKL di Jalan Brigjen Katamso, tepatnya di selatan perempatan Gondomanan, digugat Rp1,12 miliar oleh Eka Aryawan, seorang pengusaha yang memegang surat kekancingan hak guna lahan di dekat lokasi PKL itu memangkal. Kelima PKL yang merasa mendapat perlakuan tak adil mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta.
Sebabnya, para PKL yang merupakan pedagang nasi, tukang kunci, dan penjual stiker, telah menempati lokasi itu sejak 1967 secara turun-temurun. Kelima pedagang, yaitu Budiyono, tukang kunci; Sutinah dan Suwarni, keduanya berdagang nasi; Agung pedagang stiker; dan Sugiyadi penjual bakmi. Luas lahan yang mereka gunakan untuk berdagang hanya 4 x 5 meter.
Bahkan tiga orang terakhir ini hanya menempati satu lokasi karena berdagang secara bergiliran. Sementara lahan kekancingan Keraton yang diberikan kepada Eka Aryawan berdasar surat kekancingan nomor 203/HT/KPK/2011 seluas 73 meter persegi.
Ikhwan Sapta Nugraha, kuasa hukum para PKL dari LBH Yogyakarta mengatakan, pada 2013, kedua belah pihak sebenarnya telah membuat kesepakatan dengan mengukur dan menentukan batas-batas lahan. Dari pengukuranitu, para pedagang diketahui tidak menempati lahan kekancingan.
Surat kesepakatan itu ditandatangani kedua belah pihak, kepolisian, kecamatan setempat, dan LBH pada 13 Februari 2013. Kelima pedagang setiap tahun juga membayar pajak bumi dan bangunan di lokasi itu. “Tiba-tiba mereka diusir kembali dengan gugatan perdata ke pengadilan yang akan digelar 14 September mendatang,” kata Ikhwan.
Budiyono, pemilik kios duplikat kunci, mengaku menempati lahan itu sejak tahun 1980- an. “Dulu yang menempati Paklik, terus saya lanjutkan sampai sekarang,” ujarnya. Budiyono berharap ada kebijaksanaan dari pihak Keraton terhadap rakyat kecil seperti dirinya.
Dia juga meminta pemilik kekancingan yang menuntut dirinya bersama empat PKL lain tak semena-mena. “Harapan saya tetap bisa menempati lahan ini. Toh samasama bukan milik kita, tanah ini kan milik Keraton,” ujarnya.
Senada diungkapkan Sutinah. Pemilik warung nasi ini berharap tidak digusur. “Kalau digusur keluarga kami bagaimana? Ini tempat kami mencari nafkah. Mohon kebijaksanaan Keraton,” ucapnya memelas.
Terpisah, pengacara Eka, Onchan Poerba, tetap bersikeras akan melanjutkan proses gugatan hukum ke Pengadilan Negeri Yogyakarta. “Gugatan ini bukan tanpa proses, sejak enam bulan lalu, kami sudah terbuka mengajak musyawarah para PKL. Tapi mereka tidak mau menyelesaikan baik-baik,” katanya.
Onchan pun keberatan jika pihaknya disebut membuat kegaduhan atau berbuat sewenang- wenang terhadap PKL. Dia siap memberi penjelasan ke Keraton. “PKL itu liar, mereka berjualan di trotoar, itu menyalahi aturan. PKL jangan mencari alasan pembenar dan memosisikan diri sebagai korban,” ucapnya.
Raja Tak Tahu
Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X mengaku tidak tahu menahu tentang gugatan atas konflik tanah kekancingan di Jalan Brigjen Katamso Gondomana Yogyakarta. Di Keraton Yogyakarta urusan pertanahan SG menjadi kewenangan Panitikismo. Aku ra ngerti , tidak tahu persoalannya, tanya Mas Hadi (Kanjeng Gusti Pangeran Haryo/KGPH) Hadiwinoto) saja,” kata Sultan saat ditemui di Hotel Inna Garuda Yogyakarta, kemarin.
Penghageng Keraton Yogyakarta Gusti Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Yudaningrat mengatakan, dalam Undang- Undang (UU) Nomor 13/2012 tentang Keistimewaan DIY, diamanatkan tanah Sultan Ground-Pakualaman Ground (SG/PAG) adalah untuk kesejahteraan warga. “Lebih baik fifty-fifty (bagi rata) saja,” kata Gusti Yuda, sapaan akrab GBPH Yudaningrat.
Menurut Gusti Yuda, lima PKL yang sudah mendiami lahan itu memiliki bukti hak penggunaan tanah yang dikeluarkan pada 1960-an. Keraton menghormati surat itu, karena warga yang sudah menempati lahan secara turun-temurun diperbolehkan tetap menempati lahan itu.
Di sisi lain, warga yang memiliki kekancingan yang dikeluarkan Keraton Yogyakarta pada 2011 juga kuat secara hukum. “Kalau saya, tidak perlu sampai gugat menggugat. Wong cilik perlu dibantu untuk penghidupan,” katanya.
Di bagian lain, Ketua Pertimbangan Organisasi Indonesian Human Rights Committe for Social Justice (IHCS), Gunawan, meminta Keraton Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman sebaiknya menghentikan dulu pemberian hak pengelolaan SG-PAG. Alasannya, proses pendataan SG-PAG belum selesai dilakukan. “Aturan detail tentang G dan PAG juga belum ada, karena Perdais Pertanahan belum disahkan,” katanya.
Gunawan meminta Keraton dan Puro Kadipaten menyusun rencana umum pemanfaatan SG-PAG sehingga tidak digunakan sembarangan. Selain itu, selaku subjek hukum, diminta membuat aturan dan penanggung jawab SG-PAG. “Sebelum ada aturan itu, sebaiknya pemberian kekancingan bisa ditunda dulu untuk menghindari konflik,” ujarnya.
Gunawan juga mengingatkan dalam Pasal 32 ayat 5 UUK DIY menyatakan Kasultanan dan Kadipaten berwenang mengelola dan memanfaatkan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten ditujukan untuk sebesar- besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sudjito mengatakan, konflik pertanahan di DIY lebih rumit dibanding daerah lain. Alasannya, di DIY aturan yang mengatur lebih dari satu, yakni UU Pokok Agraria dan UU No 13/2012 tentang Keistimewaan DIY. “Potensi konflik soal tanah akan lebih muncul,” katanya.
Menurut dia, langkah yang bisa dilakukan untuk meminimalisasi potensi konflik atas hak atas tanah perlu kepastian pendataan sampai inventarisasi. “Mana SG-PAG, mana milik warga harus jelas. Selama pendataan masih kabur, potensi konflik masih terus terjadi,” ungkapnya.
Ristu hanafi/ Ridwan anshori/ Ainun najib
(ftr)