Ketika Hatta dan Sjahrir Dibuang Belanda

Minggu, 23 Agustus 2015 - 05:00 WIB
Ketika Hatta dan Sjahrir Dibuang Belanda
Ketika Hatta dan Sjahrir Dibuang Belanda
A A A
DUA tokoh pergerakan Indonesia, Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir, pernah dibuang Belanda ke Boven Digoel dan Banda Neira. Apa saja yang dilakukan keduanya di sana?

Bagi tokoh-tokoh pergerakan Indonesia, masa pembuangan mempunyai makna tersendiri. Demikian halnya ketika 'hukuman' itu menimpa Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir.

Dalam renungannya tanggal 20 Januari 1934, Hatta menulis,"Ke mana kita dibawa oleh nasib, ke mana kita dibuang oleh yang berkuasa, tiap-tiap bidang tanah dalam Indonesia ini, itulah juga Tanah Air kita. Di atas segala lapangan Tanah Air aku hidup, aku gembira. Dan di mana kakiku menginjak bumi Indonesia, di sanalah tumbuh bibit cita-cita yang tersimpan dalam dadaku."

Hatta tentu saja sadar bahwa aktivitas politiknya akan berujung pada hukuman pembuangan.

Pada Januari 1935, Hatta, Sjahrir, dan beberapa tokoh pergerakan lainnya yang dibui di penjara berbeda di Jakarta, dibuang ke Boven Digoel, Papua, yang beribu kota di Tanah Merah.

Dari Tanjung Priok, Hatta dan Sjahrir diangkut dengan Kapal Melchior Treub dan ditempatkan di kelas II. Kapal sempat singgah sebentar di Surabaya, namun tidak merapat. Kapal tersebut juga singgah di Makassar.

Setelah seminggu di Makassar, mereka dinaikkan ke kapal KPM Van der Wijck menuju Ambon. Seminggu kemudian, mereka dibawa dengan kapal polisi Albatros yang juga biasa disebut kapal putih, menuju Boven Digoel.

28 Januari 1935, mereka tiba di Tanah Merah. Menurut pemerhati sejarah dari STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh Fikrul Hanif Sufyan, pedalaman Digoel sangat sulit ditembus. Satu-satunya moda transportasi yang bisa menjangkau tempat tersebut saat itu hanya kapal.

Dibutuhkan waktu berhari-hari untuk mencapai Tanah Merah, yang jaraknya sekitar 500 kilometer dari muara Sungai Digoel di Laut Arafura. Namun, karena sudah siap lahir dan batin, Bung Hatta tak risau dengan dirinya.

Di tempat pembuangan, Bung Hatta masuk dalam golongan naturalis karena tidak mau bekerja sama dengan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Ia hanya mendapat jatah uang 2.50 gulden per bulan.

Ada juga mereka yang masuk golongan werkwillig, yaitu mereka yang mau bekerja dengan pemerintah setempat, dengan upah 40 sen sehari dan akan dikembalikan ke tempat asal.

Hatta memang sempat ditawari pekerjaan oleh pengawas kamp dengan upah 7.50 gulden per bulan. Namun, tawaran itu ditolaknya. Pria yang waktu kecil bernama Muhammad Athar itu berargumen, jika sejak awal mau berkompromi, di Jakarta pun dia sebenarnya bisa mendapat gaji jauh lebih, sekitar 500 gulden per bulan.

Bahkan, saat kepala pemerintahan setempat, Kapten Van Langen mengancam Hatta tidak akan bisa kembali ke tempat asal, pria yang setelah Indonesia merdeka menjadi Wakil Presiden itu keukeuh menolak dengan alasan tidak ada yang tetap di dunia ini.

Di Digoel, Hatta mencari nafkah, dengan menulis di Adil, Pemandangan, Panji Islam, atau Pedoman Masyarakat. Honornya pun dipakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bagi dirinya dan kawan-kawannya yang perlu dibantu.

Lain Hatta, lain Sutan Sjahrir. Saat diasingkan ke Digoel, Sjahrir konon sempat stres. Perangainya jadi aneh. Cara jalannya juga aneh. Ia bisa berjalan terus begitu jauh. Kawan-kawannya menjuluki 'Kelana Jenaka'. Ia kerap bertandang ke rumah orang di waktu tak lazim, misalnya ketika kelewat malam. Keperluannya pun unik. Ia datang hanya untuk minta gula atau minyak atau sekadar mengobrol ngalor-ngidul.

Pada akhir Desember 1935 atau awal Januari 1936, Hatta dan Sjahrir dipindah ke Banda Neira, Maluku. Mereka juga naik kapal putih. Begitu sampai di Banda Neira, mereka dijemput utusan Mr Iwa Koesoema Soemantri serta dua anak dr Tjipto Mangoenkoesoemo. Mereka sempat bermalam di rumah Iwa Koesoema Soemantri.

Setelah itu, mereka menemui kepala pemerintahan setempat. Hatta dan Sjahrir masing-masing mendapat tunjangan sebesar 75 gulden sebulan.

Selanjutnya, Hatta dan Sjahrir tinggal di rumah yang sama, yang mereka sewa dengan biaya 12.50 gulden sebulan. Rumah itu disewa dari seseorang bernama De Vries.

Lantas, apa yang dilakukan Hatta dan Sjahrir saat menjalani pembuangan di Banda Neira?

Hatta secara rutin mengelilingi Pulau Banda melewati kebun pala. Hal itu dilakukannnya Senin hingga Sabtu sore, sekitar pukul 16.00.

Rute yang dilaluinya pun selalu sama. Saking rutin dan tepat waktu, Hatta kemudian dijadikan pedoman waktu oleh buruh perkebunan. Bila Hatta muncul, para buruh akan berseru, "Wah, sudah jam lima." Mereka pun lalu berhenti bekerja. Ya, kehadiran Hatta memang dianggap krusial, karena di kebun tidak pernah disediakan jam.

Di kala senggang, Hatta lebih suka membaca buku. Kondisi ini, tentu saja berbeda dengan Sjahrir. Sjahrir yang bertipe flamboyan, lebih suka mendengar alunan musik klasik, seperti Beethoven di sebuah gramofon.

Hatta sering merasa terganggu, tapi jarang menegur langsung. Des Alwi, yang masa itu adalah anak angkat Sjahrir, biasanya ditegur Hatta karena sering membantu memutarkan gramofon.

Alwi masih ingat ketika Hatta berkata,"Jangan keras-keras. Itu terlalu Barat, seperti Sjahrir yang kebarat-baratan."

Ia pun balik mengadu ke Sjahrir. "Hatta bilang aku kebarat-baratan? Ah, dia sendiri kalau mimpi pakai bahasa Belanda."

Begitulah, meskipun berasal dari daerah yang sama, Sumatera Barat, aktivitas yang dilakoni oleh kedua tokoh pergerakan ini memang berbeda.

Hatta selalu mencari kesibukan selama di pembuangan, di antaranya mengecat perahu. Suatu hari, ia kedapatan mengecat perahu dengan warna merah-putih oleh pejabat setempat. Tidak ada warna biru satu titik pun. Ini bisa dikategorikan tindakan berbau politis.

Tapi, Hatta berdalih,"Tuan kan tahu sendiri, laut sudah berwarna biru." Mendengar hal itu, si pejabat itu pun lantas pergi.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.3112 seconds (0.1#10.140)