Kelamin Ikan di Kali Surabaya Berubah Akibat Limbah
A
A
A
SURABAYA - Kritik pedas dilontarkan aktivis lingkungan terhadap Badan Lingkungan Hidup Jatim dan Pemkot Surabaya terkait penanganan Kali Surabaya.
Mereka menganggap para pemangku kebijakan itu abai dengan kondisi sungai yang menjadi sumber penghidupan warga Surabaya itu. Berdasarkan penelitian lembaga konservasi Ecoton (Ecological Observation and Wetland Conversation), pencemaran Kali Surabaya sudah berada pada tahap membahayakan. Saking berba-hayanya, senyawa yang disebabkan limbah industri dan limbah domestik ini bisa mengubah kelamin ikan.
Kondisi ini muncul sejak 2011 silam. Sejak saat itu sungai tersebut mengandung senyawa ekstrogenik. Ironisnya, hingga saat ini belum ada penanganan apapun dari kedua pemangku kebijakan itu. “Dari penelitian kami ikan di kali mas banyak yang berkelamin ganda. Kondisi ini terjadi akibat pencemaran limbah industri dan limbah domestik di sungai itu. Ini jelas berbahaya bagi masyarakat. Apalagi sungai tersebut menjadi bahan baku PDAM Kota Surabaya,” kata Direktur Ecoton, Prigi Arisandi, kemarin.
Menurut Perigi, baik Pemkot Surabaya maupun BLH Jatim, mestinya bekerja sama memperbaiki kualitas air Kali Surabaya. Misalnya, dengan mengawasi ketat ancaman pencemaran itu. “Mereka bisa bekerja sama dengan BLH kabupaten/ kota untuk menertibkan perusahaan-perusahaan yang membuang limbah sembarangan. BLH Jatim dulu pernah ada pengawasan dan patroli sungai. Tetapi sekarang kita tidak tahu lagi,” kata Prigi.
Prigi menilai persoalan lingkungan saat ini tidak menjadi hal penting bagi pemerintah. Karena itu, hal-hal vital berupa pencemaran air lepas dari perhatian. “Pemerintah sering kali hanya menjadi pemadam kebakaran ketika sudah ada korban,” ujarnya.
Senada dengan Koordinator Forum Ekologi Jatim Hadi Suprayitno, juga menuding BLH Jatim mandul dan tidak becus menjalankan tugasnya. Imbasnya, pencemaran air tetap terjadi tanpa bisa dihentikan. “Pencemaran Kali Surabaya rata-rata dilakukan oleh perusahaan- perusahaan. Namun nyatanya, mereka dibiarkan saja,” katanya.
Dia heran instansi yang seharusnya konsen terhadap perbaikan kualitas lingkungan di Jatim ini diam melihat fakta pencemaran Kali Surabaya. “BLH Jatim harusnya rutin turun ke bawah agar kualitas air kali ini layak, aman, dan sehat, untuk dikonsumsi,” katanya.
Menanggapi hal itu, Kepala BLH Provinsi Jatim Bambang Sadono membantah. Sebab selama ini pihaknya sudah melakukan MoU dengan kabupaten/ kota untuk pengawasan itu. “Hasilnya cukup bagus. Pengelolaan limbah di perusahaan- perusahaan sudah semakin bagus. Kalau memang saat ini ada pencemaran tinggi, harus dibuktikan dengan uji laboratorium,” katanya.
Bambang menyatakan, buruknya kualitas air Kali Surabaya tidak semata diakibatkan limbah industri, tetapi karena limbah domestik. Hal ini didasarkan atas hasil laboratorium yang menunjukkan bahwa tingkat BOD (Biochemical Oxygen Demand) yang diakibatkan oleh limbah domestik lebih tinggi daripada COD (Chemical Oxygen Demand) yang dihasilkan industri.
“Bayangkan saja, setiap pagi masyarakat di 16 kabupaten/ kota membuang limbah rumah tangga mereka ke sungai tanpa melalui pengolahan. Jelas ini berpengaruh,” ujarnya.
Ihya ulumuddin
Mereka menganggap para pemangku kebijakan itu abai dengan kondisi sungai yang menjadi sumber penghidupan warga Surabaya itu. Berdasarkan penelitian lembaga konservasi Ecoton (Ecological Observation and Wetland Conversation), pencemaran Kali Surabaya sudah berada pada tahap membahayakan. Saking berba-hayanya, senyawa yang disebabkan limbah industri dan limbah domestik ini bisa mengubah kelamin ikan.
Kondisi ini muncul sejak 2011 silam. Sejak saat itu sungai tersebut mengandung senyawa ekstrogenik. Ironisnya, hingga saat ini belum ada penanganan apapun dari kedua pemangku kebijakan itu. “Dari penelitian kami ikan di kali mas banyak yang berkelamin ganda. Kondisi ini terjadi akibat pencemaran limbah industri dan limbah domestik di sungai itu. Ini jelas berbahaya bagi masyarakat. Apalagi sungai tersebut menjadi bahan baku PDAM Kota Surabaya,” kata Direktur Ecoton, Prigi Arisandi, kemarin.
Menurut Perigi, baik Pemkot Surabaya maupun BLH Jatim, mestinya bekerja sama memperbaiki kualitas air Kali Surabaya. Misalnya, dengan mengawasi ketat ancaman pencemaran itu. “Mereka bisa bekerja sama dengan BLH kabupaten/ kota untuk menertibkan perusahaan-perusahaan yang membuang limbah sembarangan. BLH Jatim dulu pernah ada pengawasan dan patroli sungai. Tetapi sekarang kita tidak tahu lagi,” kata Prigi.
Prigi menilai persoalan lingkungan saat ini tidak menjadi hal penting bagi pemerintah. Karena itu, hal-hal vital berupa pencemaran air lepas dari perhatian. “Pemerintah sering kali hanya menjadi pemadam kebakaran ketika sudah ada korban,” ujarnya.
Senada dengan Koordinator Forum Ekologi Jatim Hadi Suprayitno, juga menuding BLH Jatim mandul dan tidak becus menjalankan tugasnya. Imbasnya, pencemaran air tetap terjadi tanpa bisa dihentikan. “Pencemaran Kali Surabaya rata-rata dilakukan oleh perusahaan- perusahaan. Namun nyatanya, mereka dibiarkan saja,” katanya.
Dia heran instansi yang seharusnya konsen terhadap perbaikan kualitas lingkungan di Jatim ini diam melihat fakta pencemaran Kali Surabaya. “BLH Jatim harusnya rutin turun ke bawah agar kualitas air kali ini layak, aman, dan sehat, untuk dikonsumsi,” katanya.
Menanggapi hal itu, Kepala BLH Provinsi Jatim Bambang Sadono membantah. Sebab selama ini pihaknya sudah melakukan MoU dengan kabupaten/ kota untuk pengawasan itu. “Hasilnya cukup bagus. Pengelolaan limbah di perusahaan- perusahaan sudah semakin bagus. Kalau memang saat ini ada pencemaran tinggi, harus dibuktikan dengan uji laboratorium,” katanya.
Bambang menyatakan, buruknya kualitas air Kali Surabaya tidak semata diakibatkan limbah industri, tetapi karena limbah domestik. Hal ini didasarkan atas hasil laboratorium yang menunjukkan bahwa tingkat BOD (Biochemical Oxygen Demand) yang diakibatkan oleh limbah domestik lebih tinggi daripada COD (Chemical Oxygen Demand) yang dihasilkan industri.
“Bayangkan saja, setiap pagi masyarakat di 16 kabupaten/ kota membuang limbah rumah tangga mereka ke sungai tanpa melalui pengolahan. Jelas ini berpengaruh,” ujarnya.
Ihya ulumuddin
(ftr)