Wali Kota Tak Berdaya Atasi Parkir Liar
A
A
A
SEMARANG - Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang diminta lebih tegas menertibkan masalah parkir liar.
Selain menggandeng penegak hukum, kepala daerahnya juga diminta berani mengambil risiko. Menurut pengamat politik dari Undip Semarang Turtiyantoro, masalah parkir liar di Semarang ini bukan hanya soal manajemen, tapi juga politik. Kepala daerah yang berkuasa diduga memiliki hubungan transaksional dengan para pelaku parkir liar.
Akibatnya, parkir liar tidak pernah terselesaikan hingga sekarang. “Penguasa pasti ingin menjaga hubungan baik dengan konstituen (pemilihnya), termasuk pemilik lahan parkir. Mereka tidak sampai hati jika harus tegas menertibkan, hingga akhirnya terjadi pembiaran,” papar Turtiyantoro kemarin.
Kasus pembiaran ini pernah terjadi beberapa waktu silam di daerah bantaran Banjir Kanal Timur (BKT). Waktu era reformasi dulu, bantaran BKT ini bersih. Tetapi karena adanya pembiaran kepala daerah, kawasan itu kini dihuni banyak sekali bangunan liar. “Pemerintahnya menjadi tidak berdaya karena mereka adalah konstituen,” ucapnya.
Turtiyantoro mengatakan, pemimpin yang baik seharusnya berani mengambil risiko. Termasuk bertindak tegas kepada para konstituennya ketika melakukan pelanggaran. Dia yakin masyarakat sebenarnya sudah sadar telah melanggar aturan. Karena itu, yang dibutuhkan tinggal ketegasan pemimpin menertibkannya.
“Contoh Jokowi, berhasil merelokasi pedagang kaki lima ketika menjabat Wali Kota Solo maupun Gubernur DKI Jakarta. Masyarakat sebenarnya sudah sadar, hanya perlu ketegasan pemimpin saja,” ungkapnya.
Anggota Komisi B DPRD Kota Semarang Ari Purbono menerangkan, untuk menertibkan parkir liar, pemkot seharusnya bekerja sama dengan penegak hukum seperti TNI, Polri, maupun Kejaksaan. Kerja sama itu diyakini mampu menangani secara hukum semua pelanggaran terkait pengelolaan parkir.
“Saya yakin dengan kerja sama itu bisa meminimalisir kebocoran dan masalah parkir lainnya. Sehingga pemasukan PAD (pendapatan asli daerah) dari parkir pun akan meningkat,” ucapnya. Kerja sama dengan penegak hukum itu dinilai sebagai terobosan yang sangat diperlukan saat ini.
Di samping itu, pemkot juga harus bersikap tegas terhadap pelanggaran pengelolaan parkir. Maraknya parkir liar dan tingkat kebocoran PAD yang tinggi di sektor parkir menunjukkan pemkot tidak mampu dan tidak tegas. “Sebenarnya masalah parkir sudah lama tapi belum juga beres. Contoh Kota Medan, pemasukan PAD dari parkir bisa mencapai Rp20 miliar,” ujarnya.
Ari juga mengkritisi parkir di rumah sakit dan bandara serta perkantoran-perkantoran yang dikelola oleh swasta. Seharusnya parkir tersebut tetap di bawah kontrol pemerintah kota. Menurutnya, yang terjadi di lapangan tidak demikian.
“Sebagai contoh, dewan pernah menanyakan pemkot soal parkir di depan RS Tlogorejo, saluran di situ dibeton untuk tempat parkir, padahal jelas tidak boleh, tapi sampai sekarang pemkot tidak mampu bersikap tegas,” katanya.
Salah satu warga Roy menerangkan, dia harus membayar Rp2.000 untuk parkir sepeda motornya. Padahal sesuai Perda No 1/2012 tentang Retribusi Jasa Umum, tarif parkir untuk kendaraan roda dua hanya Rp1.000. “Sudah begitu tidak dikasih karcis,” kata warga Lamper yang parkir di Jalan Batan Miroto ini.
M abduh
Selain menggandeng penegak hukum, kepala daerahnya juga diminta berani mengambil risiko. Menurut pengamat politik dari Undip Semarang Turtiyantoro, masalah parkir liar di Semarang ini bukan hanya soal manajemen, tapi juga politik. Kepala daerah yang berkuasa diduga memiliki hubungan transaksional dengan para pelaku parkir liar.
Akibatnya, parkir liar tidak pernah terselesaikan hingga sekarang. “Penguasa pasti ingin menjaga hubungan baik dengan konstituen (pemilihnya), termasuk pemilik lahan parkir. Mereka tidak sampai hati jika harus tegas menertibkan, hingga akhirnya terjadi pembiaran,” papar Turtiyantoro kemarin.
Kasus pembiaran ini pernah terjadi beberapa waktu silam di daerah bantaran Banjir Kanal Timur (BKT). Waktu era reformasi dulu, bantaran BKT ini bersih. Tetapi karena adanya pembiaran kepala daerah, kawasan itu kini dihuni banyak sekali bangunan liar. “Pemerintahnya menjadi tidak berdaya karena mereka adalah konstituen,” ucapnya.
Turtiyantoro mengatakan, pemimpin yang baik seharusnya berani mengambil risiko. Termasuk bertindak tegas kepada para konstituennya ketika melakukan pelanggaran. Dia yakin masyarakat sebenarnya sudah sadar telah melanggar aturan. Karena itu, yang dibutuhkan tinggal ketegasan pemimpin menertibkannya.
“Contoh Jokowi, berhasil merelokasi pedagang kaki lima ketika menjabat Wali Kota Solo maupun Gubernur DKI Jakarta. Masyarakat sebenarnya sudah sadar, hanya perlu ketegasan pemimpin saja,” ungkapnya.
Anggota Komisi B DPRD Kota Semarang Ari Purbono menerangkan, untuk menertibkan parkir liar, pemkot seharusnya bekerja sama dengan penegak hukum seperti TNI, Polri, maupun Kejaksaan. Kerja sama itu diyakini mampu menangani secara hukum semua pelanggaran terkait pengelolaan parkir.
“Saya yakin dengan kerja sama itu bisa meminimalisir kebocoran dan masalah parkir lainnya. Sehingga pemasukan PAD (pendapatan asli daerah) dari parkir pun akan meningkat,” ucapnya. Kerja sama dengan penegak hukum itu dinilai sebagai terobosan yang sangat diperlukan saat ini.
Di samping itu, pemkot juga harus bersikap tegas terhadap pelanggaran pengelolaan parkir. Maraknya parkir liar dan tingkat kebocoran PAD yang tinggi di sektor parkir menunjukkan pemkot tidak mampu dan tidak tegas. “Sebenarnya masalah parkir sudah lama tapi belum juga beres. Contoh Kota Medan, pemasukan PAD dari parkir bisa mencapai Rp20 miliar,” ujarnya.
Ari juga mengkritisi parkir di rumah sakit dan bandara serta perkantoran-perkantoran yang dikelola oleh swasta. Seharusnya parkir tersebut tetap di bawah kontrol pemerintah kota. Menurutnya, yang terjadi di lapangan tidak demikian.
“Sebagai contoh, dewan pernah menanyakan pemkot soal parkir di depan RS Tlogorejo, saluran di situ dibeton untuk tempat parkir, padahal jelas tidak boleh, tapi sampai sekarang pemkot tidak mampu bersikap tegas,” katanya.
Salah satu warga Roy menerangkan, dia harus membayar Rp2.000 untuk parkir sepeda motornya. Padahal sesuai Perda No 1/2012 tentang Retribusi Jasa Umum, tarif parkir untuk kendaraan roda dua hanya Rp1.000. “Sudah begitu tidak dikasih karcis,” kata warga Lamper yang parkir di Jalan Batan Miroto ini.
M abduh
(ftr)