Kisah Perjuangan Raden Djurit Melawan Belanda di Tanah Madura
A
A
A
RADEN Djurit atau Cakraningrat IV merupakan salah satu raja Bangkalan, Madura yang sangat ahli dalam berperang serta dikenal berani terhadap penjajah belanda.
Bahkan, nama besarnya membuat Belanda ciut. Namun meskip begitu, Raden Djurit sangat dekat dengan rakyat.
Raden Djurit adalah putra dari Raden Undaan yang tidak lain Cakraningkrat II. Beliau naik tahta menjadi raja setelah kakaknya Raden Tumenggung Sosro Adiningrat wafat tahun 1718.
Saat itu pusat kerajaannya berada di Desa Sembilangan, Kecamatan Kota, Kabupaten Bangkalan.
Di bawah kepimpinan Raden Djurit, masyarakat Madura Barat sejahtera. Pasalnya, rakyat tidak perlu memberi upeti berupa beras pada Verenigde Oost Indische Compagne (VOC).
Selain tidak membayar upeti, juga tidak membayar bea pelabuhan Jawa Timur ke VOC. Kemudian VOC mencoba berunding dengan Raden Djurit pada tahun 1744, tetapi ditolak.
Sehingga tahun 1745, VOC menyatakan Cakraningrat makar dan terjadilah perang yang cukup panjang.
Pasukan VOC kewalahan terhadap perlawanan dari Cakraningrat IV, namun berkat kelicikan VOC kian hari pasukan Cakraningrat IV terus berkurang. Selain gugur mereka juga terkena tipu daya adu domba VOC.
Akhirnya Raden Djurit terpaksa lari ke Banjarmasin karena terdesak. Namun Sultan Banjarmasin mengkhianatinya dan menyerahkan Raden Djurit pada VOC.
Oleh VOC, Raden Djurit dibawa ke Batavia dan dibuang ke Tanjung Harapan di Afrika Selatan (Afsel). Raden Djurit mendapat julukan dari rakyat sebagai Panembahan Siding Kaap dan di daerah pengasingannya, Raden Djurit sempat menyebarkan agama Islam.
"Dinasti Cakraningrat hanya ada empat. Pertama Raden Prasena, disusul Raden Undaan. Lalu Cakraningrat III yakni Raden Tumenggung Sosro Adiningrat dan terakhir, Raden Djurit sebagai Cakraningrat IV," terang salah seorang budayawan asal bangkalan, Raden Abdul Hamid Mustari.
Menurut Hamid, Raden Djurit adalah sosok raja yang dikenal pemberani dan ahli perang. Dia merupakan pangeran paling ganteng, di antara pangeran Bangkalan yang lain. Raden Djurit sendiri mempunyai enam permaisuri.
"Permaisuri yang terakhir putri dari Kerajaan Bali, Raden Ayu Siti Khotijah. Saat itu, Raja Bali mengeluarkan sayembara barang siapa yang bisa mengobati anaknya (Raden Ayu Siti Khotijah) yang sedang sakit, maka akan dijadikan suami anaknya bila lelaki, tetapi jika wanita akan dijadikan saudara anaknya," papar hamid.
Lalu, sambung hamid, putri Raja Bali tersebut berhasil disembuhkan oleh Cakraningrat IV. Akhirnya, Cakraningrat mempersunting putri Raja Bali dan dibawa pulang ke Madura.
Kemudian putri Bali ini menjadi muallaf, dan mengganti namanya menjadi Raden Ayu Siti Khotijah.
"Siti Khotijah wafat di Bali, setelah difitnah dengan leak. ketika itu beliau sedang salat maghrib dengan memakai mukena lalu dituduh melakukan sihir dan beliau akhirnya dihukum mati," ujarnya.
Tetapi, sebelum wafat Siti Khotijah sempat membantah tuduhan tersebut. Bahkan, dia juga berwasiat jika nanti jenazahnya berbau harum, maka minta dimakamkan dan berarti tidak bersalah. namun, jika jenazahnya tidak berbau harum, maka silahkan dibakar.
"Rupanya jenazah Raden Ayu Siti Khotijah harum, lalu beliau dimakamkan. Hingga kini kuburan beliau menjadi makam keramat dan banyak warga yang berziarah kesana. Di bali ada kampung Islam, awalnya merupakan dayang putri dan lelaki yang mengantar Raden Ayu Siti Khotijah dari Madura ke Bali," urainya.
Sedangkan Cakraningrat IV sendiri, kini dimakamkan di komplek pemakaman aer mata (air mata) Desa Buduran, Kecamatan Arosbaya, Kabupaten Bangkalan. Sebelumnya jenazah Cakraningrat IV dimakamkan di Tanjung Harapan, Afsel, pada tahun 1745.
"Kemudian pada tahun 1753, putra Cakraningrat IV yakni Panembahan Sedo Mukti (Cakradiningrat V) meminta jenazah ayahnya pada belanda agar dibawa pulang. belanda pun menyetujui, lalu Cakraningrat IV dimakamkan di aer mata," sebutnya.
Hingga sekarang banyak masyarakat yang datang berziarah ke makam Cakraningrat IV di komplek pemakaman aer mata.
Apalagi saat ini memasuki bulan Ramadan. tidak hanya warga madura yang berziarah, namun banyak juga peziarah yang datang dari luar daerah.
Bahkan, nama besarnya membuat Belanda ciut. Namun meskip begitu, Raden Djurit sangat dekat dengan rakyat.
Raden Djurit adalah putra dari Raden Undaan yang tidak lain Cakraningkrat II. Beliau naik tahta menjadi raja setelah kakaknya Raden Tumenggung Sosro Adiningrat wafat tahun 1718.
Saat itu pusat kerajaannya berada di Desa Sembilangan, Kecamatan Kota, Kabupaten Bangkalan.
Di bawah kepimpinan Raden Djurit, masyarakat Madura Barat sejahtera. Pasalnya, rakyat tidak perlu memberi upeti berupa beras pada Verenigde Oost Indische Compagne (VOC).
Selain tidak membayar upeti, juga tidak membayar bea pelabuhan Jawa Timur ke VOC. Kemudian VOC mencoba berunding dengan Raden Djurit pada tahun 1744, tetapi ditolak.
Sehingga tahun 1745, VOC menyatakan Cakraningrat makar dan terjadilah perang yang cukup panjang.
Pasukan VOC kewalahan terhadap perlawanan dari Cakraningrat IV, namun berkat kelicikan VOC kian hari pasukan Cakraningrat IV terus berkurang. Selain gugur mereka juga terkena tipu daya adu domba VOC.
Akhirnya Raden Djurit terpaksa lari ke Banjarmasin karena terdesak. Namun Sultan Banjarmasin mengkhianatinya dan menyerahkan Raden Djurit pada VOC.
Oleh VOC, Raden Djurit dibawa ke Batavia dan dibuang ke Tanjung Harapan di Afrika Selatan (Afsel). Raden Djurit mendapat julukan dari rakyat sebagai Panembahan Siding Kaap dan di daerah pengasingannya, Raden Djurit sempat menyebarkan agama Islam.
"Dinasti Cakraningrat hanya ada empat. Pertama Raden Prasena, disusul Raden Undaan. Lalu Cakraningrat III yakni Raden Tumenggung Sosro Adiningrat dan terakhir, Raden Djurit sebagai Cakraningrat IV," terang salah seorang budayawan asal bangkalan, Raden Abdul Hamid Mustari.
Menurut Hamid, Raden Djurit adalah sosok raja yang dikenal pemberani dan ahli perang. Dia merupakan pangeran paling ganteng, di antara pangeran Bangkalan yang lain. Raden Djurit sendiri mempunyai enam permaisuri.
"Permaisuri yang terakhir putri dari Kerajaan Bali, Raden Ayu Siti Khotijah. Saat itu, Raja Bali mengeluarkan sayembara barang siapa yang bisa mengobati anaknya (Raden Ayu Siti Khotijah) yang sedang sakit, maka akan dijadikan suami anaknya bila lelaki, tetapi jika wanita akan dijadikan saudara anaknya," papar hamid.
Lalu, sambung hamid, putri Raja Bali tersebut berhasil disembuhkan oleh Cakraningrat IV. Akhirnya, Cakraningrat mempersunting putri Raja Bali dan dibawa pulang ke Madura.
Kemudian putri Bali ini menjadi muallaf, dan mengganti namanya menjadi Raden Ayu Siti Khotijah.
"Siti Khotijah wafat di Bali, setelah difitnah dengan leak. ketika itu beliau sedang salat maghrib dengan memakai mukena lalu dituduh melakukan sihir dan beliau akhirnya dihukum mati," ujarnya.
Tetapi, sebelum wafat Siti Khotijah sempat membantah tuduhan tersebut. Bahkan, dia juga berwasiat jika nanti jenazahnya berbau harum, maka minta dimakamkan dan berarti tidak bersalah. namun, jika jenazahnya tidak berbau harum, maka silahkan dibakar.
"Rupanya jenazah Raden Ayu Siti Khotijah harum, lalu beliau dimakamkan. Hingga kini kuburan beliau menjadi makam keramat dan banyak warga yang berziarah kesana. Di bali ada kampung Islam, awalnya merupakan dayang putri dan lelaki yang mengantar Raden Ayu Siti Khotijah dari Madura ke Bali," urainya.
Sedangkan Cakraningrat IV sendiri, kini dimakamkan di komplek pemakaman aer mata (air mata) Desa Buduran, Kecamatan Arosbaya, Kabupaten Bangkalan. Sebelumnya jenazah Cakraningrat IV dimakamkan di Tanjung Harapan, Afsel, pada tahun 1745.
"Kemudian pada tahun 1753, putra Cakraningrat IV yakni Panembahan Sedo Mukti (Cakradiningrat V) meminta jenazah ayahnya pada belanda agar dibawa pulang. belanda pun menyetujui, lalu Cakraningrat IV dimakamkan di aer mata," sebutnya.
Hingga sekarang banyak masyarakat yang datang berziarah ke makam Cakraningrat IV di komplek pemakaman aer mata.
Apalagi saat ini memasuki bulan Ramadan. tidak hanya warga madura yang berziarah, namun banyak juga peziarah yang datang dari luar daerah.
(nag)