Nekat Buka Usaha demi Dapur Keluarga

Sabtu, 13 Juni 2015 - 10:50 WIB
Nekat Buka Usaha demi Dapur Keluarga
Nekat Buka Usaha demi Dapur Keluarga
A A A
Petaka terhentinya kompetisi menyusul pembekuan PSSI oleh Menpora Imam Nahrawi kian pahit dirasakan pengelola mes PSIM Yogyakarta. Tim Laskar Mataram yang biasa menggunakan mes itu dibubarkan karena tak ada kegiatan yang dilakukan.

Pengelola mes pun dipaksa menganggur karena mes nyaris tanpa aktivitas. Suasana mes jauh lebih sepi dari biasanya. Hanya ada pengelola mes yang masih bertahan, jurnalis yang kerap mampir sekadar untuk berkumpul dan menulis berita, hingga orang-orang yang memiliki kepentingan dengan Asprov PSSI DIY yang kebetulan berada satu kompleks. Selain itu, tidak ada kegiatan yang dilakukan. Pengelola mes dipaksa putar otak untuk mencari pemasukan.

Ada yang “nyambi” bekerja di luar, ada juga yang tidak melakukan apa pun selain hanya menunggu mes kembali ramai yang entah kapan akan terjadi. Tak ingin semakin menderita akibat ulah Menpora, beberapa pengelola berinisiatif memanfaatkan ruang kosong yang ada di sisi selatan mes. Salah satu ruangan dari empat ruang yang ada dibersihkan dan disulap menjadi toko olahraga kecilkecilan. Aneka kebutuhan olahraga tersedia di sana.

Mulai sepatu berbagai merek, hingga perlengkapan wasit juga disediakan di toko yang diberi nama MP Sport. Pilihan ini tidak mudah dilakukan, apalagi di tengah vakumnya kompetisi. Minimnya orang yang datang ke mes menjadi tantangan terberat menghidupkan usaha rintisan ini. Tapi keputusan terlanjur dibuat. Menunggu toko dianggap lebih baik dari pada tidak melakukan apa pun.

“Nekat saja, modalnya juga punya orang lain. Tapi daripada tidak melakukan apa-apa,” ucap Hadi Santoso, salah satu pengelola. Menurutnya, kehidupan di mes berubah 180 derajat pascapembekuan PSSI. Pengelola mes dibuat kian sulit karena tidak ada aktivitas yang dilakukan. Padahal, jika semuanya berjalan normal pengelola mes masih bisa bernapas lega. Setidaknya asap dapur di rumah masih tetap bisa ngebul.

“Sekarang semuanya susah. Mau apa-apa juga sudah susah. Kompetisi mandek. Mes juga sepi, tidak ada penghuninya lagi. Padahal kami mengandalkan kegiatan di mes ini untuk menambah pemasukan,” katanya. Riyanto, anggota termuda dalam daftar pengelola mes tak jauh berbeda. Pemasukannya hilang hampir 100% akibat mandeknya kompetisi. Untuk mencari pemasukan, ia sesekali menerima bantuan permintaan apa saja dari orang lain.

Jika tidak, tidak ada uang yang akan didapatkannya. “Yang penting halal, apa saja dilakukan. Daripada tidak melakukan apa-apa, nanti tambah susah. Padahal tiap hari harus mengeluarkan uang untuk keperluan makan dan lainnya,” katanya. Jarot Sri Kastawa, mantan Manajer Operasional PSIM mengakui, terhentinya kompetisi memberi dampak cukup besar bagi stakeholder sepak bola.

Selain pengelola mes yang sekarang kelimpungan, pemain dan offisial lain harus banting tulang mencari pekerjaan lain demi sesuap nasi. Bagi klub, kata dia, kondisinya tak jauh berbeda. Klub kian sulit karena tak bisa berbuat apa-apa, selain mencari utang untuk menutup beban operasional sebelum pembekuan dijatuhkan Menpora.

“Tidak ada klub yang tidak kena dampak. Apalagi klub Divisi Utama seperti PSIM yang belum bisa menarik minat sponsor,” ucapnya. Melalui MP Sport, para pengelola mes hanya berharap ekonomi keluarga tetap berjalan. Terlebih jika usaha ini bisa berkembang dengan baik.

SODIK
Yogyakarta
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6821 seconds (0.1#10.140)