Akhir Cerita Minta Kelon Gratis

Selasa, 09 Juni 2015 - 10:17 WIB
Akhir Cerita Minta Kelon...
Akhir Cerita Minta Kelon Gratis
A A A
Hingar-bingar musik di ganggang lokalisasi Kedung Banteng, Ponorogo, mungkin tak lagi terdengar. Namun jejak kejayaan bisnis esek-esek ini masih terlihat.

Ruang tamu dengan alat karaoke set dan krat-krat bir masih tampak, kini semua membisu. Karaoke, dentuman musik disko atau dangdut koplo dan tawa nakal para PSK adalah warna kental bisa ditemui di Kedung Banteng hampir 15 tahun terakhir.

Yaitu masa setelah lokalisasi ini berjibaku dengan kejamnya perlakuan sebagian warga Ponorogo, Madiun, dan sekitarnya. “Itu imbas krisis tahun 1998. Tahun 1999 sampai 2002, kami mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan dari para remaja dan pemuda dari perguruan silat yang saling bermusuhan. Entah kenapa kami yang jadi sasaran waktu itu,” kata Nyoto, salah satu tetua di lokalisasi itu.

Nyoto masih ingat saat itu banyak perguruan silat yang saling berseteru dan saling mengungguli. Bahkan tak segan mereka membacok siapa pun yang memiliki ciri-ciri atau identitas sebagai pesilat dari perguruan kontranya. “Herannya, mereka itu di sini tidak ngajak bentrok. Di sini mereka ngawur.

Minta bir gak mau bayar, meniduri anakanak asuh (PSK) gak mau bayar. Waktu ditagih, malah melempari rumah kami ini. Ya jelas kaca dan genteng kami pecah berserakan,” ungkap Nyoto. Hampir dua tahun, kata Nyoto, para mucikari dan PSK berada dalam kondisi ketakutan. Setiap ada tamu datang, para pemuda yang disebutnya remaja nakal itu selalu kembali dan merusak apa pun yang ada. Mereka terlalu brutal.

“Saya tidak tahu maksudnya apa. Kalau memang mau menghilangkan maksiat, lha kok minta bir gratis. Tidur dengan anak asuh tanpa bayar, benar-benar ngruwet (mengacau),” ujarnya. Tamu pun semakin sepi. Bahkan hampir tak ada orang yang berani datang ke lokalisasi yang berdiri dan di pagar keliling ini. Beberapa orang telah putus asa, baik mucikari, apalagi PSK.

Nyoto dan sesama mucikari lain memutar otak. Setelah sempat mengamati asal para remaja nakal ini, yaitu dari sekitar Dolopo sampai Dagangan Madiun, maka ia pun mulai membuat trik. “Agar orang tidak takut menuju daerah ini, kami buat tim sekitar 25 orang yang terus berlalu lalang. Dari sini sampai Dolopo. Biar terkesan daerah ini ramai sehingga anak-anak itu takut,” ujarnya.

Sepekan dua pekan, trik ini berhasil. Namun perusakan, permintaan bir, dan “kelon” gratis ini terus berlanjut. Bahkan makin menjadi. Namun para mucikari tidak menyerah. Mereka berusaha mengajak dialog para petinggi perguruan silat. Dengan dana iuran para mucikari, mereka menggelar pertemuan. Ada petinggi perguruan silat dari Ponorogo, ada pula yang dari Madiun, tapi cara ini juga tidak efektif. “Akhirnya, kami putuskan melawan. Mereka keras, kami juga keras.

Akhirnya kalau ada yang mau minta bir gratis dan gituan gratis. Kami tolak. Mereka ngamuk , kami keroyok,” kata Nyoto tampak geram. Tak pelak, beberapa kali tawuran antara remaja nakal dan para mucikari maupun centeng lokalisasi terjadi. Beberapa orang sempat mengalami cedera parah. Ada yang sekadar harus dijahit, ada pula yang sampai patah tulang.

“Setelah itu remaja nakal itu mulai jarang ke sini. Dan tamu mulai berdatangan,” kata dia. Datangnya tamu tak dikehendaki ini akhirnya benarbenar terhenti setelah Polres Ponorogo di bawah kepemimpinan Letkol (Pol) Heri Hernowo. Ketegasan Letkol Heri Hernowo terhadap setia kenakalan remaja, termasuk di lokalisasi, membuat penjarahan “luardalam” berhenti total.

“Kami salut dengan beliau. Bahkan di sini dipatroli sehingga aman. Mungkin bagi beliau, kami ini juga manusia biar pun hina, hidup di dunia kelam seperti ini,” cerita Nyoto. Setelah itu, semua sisi kehidupan di Ponorogo mulai bangkit. Tak ada lagi tawuran. Kedung Banteng pun semakin ramai.

Kini setelah hampir 14 tahun gangguan ini tak ada, lokalisasi ini harus mengakhiri kejayaannya. Hingar-bingar pun kini tak ada lagi. Lokalisasi yang dulu mulai dengan gelap, kini redup kembali.

Deklarasi Bersih dari Prostitusi Riwayat Kedung Banteng akhirnya tamat kemarin. Penutupan ditandai Deklarasi Penutupan Lokalisasi berupa pembacaan Ikrar Ponorogo Bersih dari Prostitusi. Pembacaan ikrar yang dipimpin oleh Ketua MUI Ponorogo ini ditirukan seluruh penghuni lokalisasi, baik PSK maupun mucikari, para warga sekitar, serta seluruh tamu yang hadir, termasuk Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa.

Ikrar ini menyatakan bahwa seluruh warga Ponorogo akan menjaga agar Ponorogo bersih dari lokalisasi, prostitusi, dan pemanfaatan bangunan yang ada untuk kemaksiatan. Seusai pembacaan ikrar dilakukan penyerahan bantuan untuk dari Kementerian Sosial kepada para PSK Kedung Banteng, yaitu bantuan dana sebesar Rp888.800.000, untuk 176 PSK. Masing-masing PSK akan mendapatkan Rp5.050.000.

Rinciannya Rp3 juta untuk bekal atau modal, Rp1,8 juta untuk jatah hidup selama tiga bulan, dan Rp250 ribu untuk ganti ongkos pulang ke rumah masing-masing PSK. “Indonesia bisa meniru Swedia dalam menekan prostitusi. Di sana, lelaki yang tertangkap polisi pada operasi prostitusi, akan difoto dan fotonya disebarkan di banyak tempat.

Artinya tidak hanya kaum wanita sebagai pelacur yang salah dalam kondisi ini, tapi juga kaum lelakinya,” ujarnya. Meski sudah ditutup, sejumlah PSK dan mucikari mengaku masih akan bertahan di lokasi itu. Ini karena mereka belum menerima transfer dana dari pemerintah. Ada pula yang masih bimbang dengan kepastian nasib mereka pada masa mendatang.

“Saya masih punya tanggungan di sini. Ada persoalan utang piutang. Biar beres dululah. Sekalian nunggu uang yang katanya buat modal itu ditransfer. Nggak tahu nanti mau gimana , belum ada rencana,” ujar AN, 37, salah satu PSK Kedung Banteng asal Wonogiri, Jateng.

Dili Eyato
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1030 seconds (0.1#10.140)