MEA Perlu Payung Hukum
A
A
A
SURABAYA - Negara-negara di wilayah Asean perlu menyepakati payung hukum yang menjadi landasan pemberlakuan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
Terutama menyangkut banyak bidang, ekonomi, hukum, ketenagakerjaan dan lainnya di lintas negara. Tanpa adanya kesepakatan regional, MEA justru bisa membenturkan antarnegara.
Ini ini disampaikan sejumlah dosen sekaligus pakar hukum dari sejumlah perguruan tinggi (PT) di Asean saat menjadi pembicara seminar internasional bertema ”2015 Asean Economic Community: Legal and Business Challenges” di seminar room, Universitas Hang Tuah (UHT), Jalan Arif Rahman Hakim 150 Surabaya, kemarin.
Dua di antara pembicara asing yang hadir, Joshua Snider dari The University of Nottingham Malaysia Campus) yang menyampaikan materi Asean and Economic Policy; serta Edmund W SIM dari Associate Professor at The National University of Singapore Law School yang memaparkan materi The Foundation of the Asean Economic Community: An Institutional and Legal Profile. Dekan Fakultas Hukum UHT Surabaya Choirul Huda selaku penyelenggara seminar menyatakan, negara-negara di Asean hingga saat ini belum menyepakati payung hukum terkait MEA.
”Sebenarnya keberadaan payung hukum ini bisa dikatakan terlambat jika baru akan dibahas karena pemberlakuan MEA kurang beberapa bulan lagi. Tapi dari pada tidak ada (payung hukum) sama sekali,” kata Choirul. Belum adanya kesepakatan ini membuat negara-negara menjadi renntan, tidak terkecuali Indonesia.
”Misalkan ada sengketa ketenagakerjaan lintas negara, penyelesaiannya bagaimana?. Maka harus ada payung hukum yang disepakati negara-negara. Perlu ada hukum yang disepakati bersama, untuk banyak bidang,” imbuhnya. Choirul juga menyayangkan belum adanya pakar hukum di Tanah Air yang menyikapi masalah ini. Jangan lantas baru bersuara setelah ada masalah.
Sementara itu, Edmund W SIM dari Associate Professor at The National University of Singapore Law School mengingatkan bahwa pondasi kesepakatan antarnegara di asean sudah ada, yakni Bali Concord tahun 1976 yang mencakup dukungan makanan dan energi, berdirinya proyek industri dengan materi yang ada untuk peningkatan produksi makanan dan meningkatkan perdagangan, serta menciptakan lapangan pekerjaan. Bangkon Declaration 1967 juga bisa menjadi dasar.
Karena ini mencakup promosi yang untungkan semua pihak dengan tujuan bermacam- macam. Joshua Snider dari The University of Nottingham Malaysia Campus mengingatkan, tidak adanya kejelasan aturan hukum akan berimplikasi besar pada negara-negara di Asean.
Soeprayitno
Terutama menyangkut banyak bidang, ekonomi, hukum, ketenagakerjaan dan lainnya di lintas negara. Tanpa adanya kesepakatan regional, MEA justru bisa membenturkan antarnegara.
Ini ini disampaikan sejumlah dosen sekaligus pakar hukum dari sejumlah perguruan tinggi (PT) di Asean saat menjadi pembicara seminar internasional bertema ”2015 Asean Economic Community: Legal and Business Challenges” di seminar room, Universitas Hang Tuah (UHT), Jalan Arif Rahman Hakim 150 Surabaya, kemarin.
Dua di antara pembicara asing yang hadir, Joshua Snider dari The University of Nottingham Malaysia Campus) yang menyampaikan materi Asean and Economic Policy; serta Edmund W SIM dari Associate Professor at The National University of Singapore Law School yang memaparkan materi The Foundation of the Asean Economic Community: An Institutional and Legal Profile. Dekan Fakultas Hukum UHT Surabaya Choirul Huda selaku penyelenggara seminar menyatakan, negara-negara di Asean hingga saat ini belum menyepakati payung hukum terkait MEA.
”Sebenarnya keberadaan payung hukum ini bisa dikatakan terlambat jika baru akan dibahas karena pemberlakuan MEA kurang beberapa bulan lagi. Tapi dari pada tidak ada (payung hukum) sama sekali,” kata Choirul. Belum adanya kesepakatan ini membuat negara-negara menjadi renntan, tidak terkecuali Indonesia.
”Misalkan ada sengketa ketenagakerjaan lintas negara, penyelesaiannya bagaimana?. Maka harus ada payung hukum yang disepakati negara-negara. Perlu ada hukum yang disepakati bersama, untuk banyak bidang,” imbuhnya. Choirul juga menyayangkan belum adanya pakar hukum di Tanah Air yang menyikapi masalah ini. Jangan lantas baru bersuara setelah ada masalah.
Sementara itu, Edmund W SIM dari Associate Professor at The National University of Singapore Law School mengingatkan bahwa pondasi kesepakatan antarnegara di asean sudah ada, yakni Bali Concord tahun 1976 yang mencakup dukungan makanan dan energi, berdirinya proyek industri dengan materi yang ada untuk peningkatan produksi makanan dan meningkatkan perdagangan, serta menciptakan lapangan pekerjaan. Bangkon Declaration 1967 juga bisa menjadi dasar.
Karena ini mencakup promosi yang untungkan semua pihak dengan tujuan bermacam- macam. Joshua Snider dari The University of Nottingham Malaysia Campus mengingatkan, tidak adanya kejelasan aturan hukum akan berimplikasi besar pada negara-negara di Asean.
Soeprayitno
(ars)