Dulu Arjuna, Sekarang Sengkuni
A
A
A
HURU-HARAMei 1998 merupakan peristiwa bersejarah yang membawa Indonesia pada babak baru perjalanan bangsa. Peristiwa lengsernya Presiden Soeharto dan dimulainya pemerintahan era Reformasi .
Tepat 21 Mei 2015, runtuhnya rezim Orde Baru (Orba) genap berusia 17 tahun. Kekuatan mahasiswa yang menjadi kontrol pemerintahan pada masa itu kembali diingat.
Bagi aktivis 1998 yang kala itu menjadi garda terdepan dalam civil society , menjelang peringatan 17 tahun bergulirnya reformasi, tentu menjadi reuni memori atas apa yang pernah dilakukan dulu. Andik Yulianto adalah seorang aktivis 1998 yang selalu mengenang masa-masa turun jalan ketika itu.
Pergerakan mahasiswa tidak luput dari diri Andik, sapaannya, yang ketika itu berstatus mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Airlangga (Unair), Surabaya. Keberadaan namanya yang masuk struktur Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Surabaya cabang Unair menjadi salah satu dari sekian banyak latar belakang dia turun ke jalan.
”Setiap Mei saya dan temanteman aktivis selalu memutar film tragedi 1998. Film yang menggambarkan gerakan mahasiswa di Jakarta dan sejumlah kota, termasuk peristiwa Semanggi. Sayangnya, film yang diputar itu tidak ada tayangan yang menggambarkan aksi mahasiswa di Surabaya. Kawan-kawan pada waktu itu kurang dalam melakukan dokumentasi,” pria kelahiran Sidoarjo, 24 Juli 1974, itu.
Andik yang kini menjadi dosen di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS), Universitas Negeri Surabaya (Unesa), juga mengingatkan kembali peran mahasiswa ketika itu kepada mahasiswanya kini. Status dosen pegawai negeri sipil (PNS) golongan III-b itu tidak membungkam kekritisannya yang selalu ditularkan ke mahasiswanya. Ini yang membuat bapak satu anak ini tidak lupa menyelipkan cerita kegigihan mahasiswa era 1998 dalam mengawasi pemerintahan.
Cerita itu biasa dia sisipkan mada mata kuliah (MK) Kewarganegaraan, Pancasila atau lainnya. Ditemui di Kampus Unesa di Ketintang, sulung dari tiga bersaudara anak pasangan Suyitno dan yati Suliati ini menceritakan kembali peristiwa masa itu. Masih melekat kuat ingatannya sehingga Andik dengan lancar menceritakan semuanya. Namun, setelah reformasi bergulir, Andik mengaku tidak habis pikir atas sikap masyarakat yang pemaaf, mudah lupa atas hilang kekritisan kembalinya tentara menduduki ”takhta” kekuasaan.
”Setelah reformasi, masyarakat masih memilih yang tegap-tegap. Contohnya SBY sebagai presiden hingga dua periode. Harusnya sipil, seperti sekarang. Salah satu kekuatan demokrasi adalah civil society yang kuat, bukan militer yang kuat,” tukasnya. Seiring berjalannya sistem demokrasi sekarang ini, Andik tetap saja kecewa melihatnya.
Demokrasi dicederai korupsi yang masih menjadi. Dari sekian banyak kasus korupsi, tetap melibatkan unsur eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif. Celakanya, dari sekian banyak yang tersandung kasus korupsi, ada yang dulunya mantan aktivis 1998. Ini yang membuat Andik melontarkan sudut pandangnya terhadap sesama aktivis. Ada aktivis yang terjun ke politik, masuk atau menempel ke parpol besar karena keuangan sudah aman dan atau ikut membuat parpol. Ada yang tetap setiap mengabdikan diri di lembaga pendidikan, wirausaha dan riset yang biasa meng-handle survei-survei.
”Setelah ikut di parpol, ada aktivis yang tetap mengawal perjuangan demokrasi melalui usulan saat pembuatan produk aturan. Namun, ada yang terbawa arus, parpol menjadi kendaraan praktis mencapai kepentingan dia (aktivisa). Dulu aktivis masih mahasiswa, sekarang sudah berkeluarga, perlu duit tentu beda,” bebernya.
Perihal banyaknya aktivis menyimpang, Andik tidak heran lantaran politik adalah dunia negosiasi. Berbeda dengan dunia kampus yang mengedepankan ilmiah. ”Kalau ada aktivis 1998 yang track record -nya sekarang memprihatinkan, berari negosiasinya, lobinya bagus,” sindirnya. Banyak pula aktivis 1998 yang masuk lembaga survei supporting . Lembaga survei yang masukkan kepentingan politis demi kepentingan orang yang bayar.
”Jangan heran jika melihat aktivis 1998 bermetamorfosis. Dulu jadi Arjuna, sekarang Sengkuni. Harto dulu disimbolkan Semar, sosok dewa, sosok pengayom. Namun, akhirnya oleh mahasiswa disimbolkan sebagai setan. Bahkan, saat demonstrasi, foto Harto ditambahi taring, diinjak, dan dibakar,” tuturnya. Perubahan sikap aktivis ini bukan saja masalah ekonomi yang membuat mereka dari ”putih” menjadi ”hitam”.
Sejarah politik dan budaya terus berkembang. Ada thesis dan antithesis. Andik tetap berada di jalur pendidikan lantaran bapaknya seorang guru. Dia tetap setia pada kampus. Rabu siang (20/5) lalu , saat warga Surabaya sibuk beraktivitas, entah mencari nafkah, sekolah, atau apa saja, penulis diberi Tuhan kesempatan untuk menikmati secangkir kopi di trotoar Jalan Airlangga. Kendaraan begitu riuh berlalu-lalang. Mahasiswa berseliweran, ada yang berangkat dan ada yang pulang kuliah.
Sembari menikmati pahit kopi, kami jadi teringat peristiwa besar pada Mei. Banyak yang menyebutnya Reformasi. Dulu, kami juga sempat menyandang sebutan mahasiswa. Tetapi, kami termasuk yang tidak suka berunjuk rasa. Kami lebih suka menyuarakan kegelisahan lewat sastra. Mungkin -saat itu, 1998- kami dipandang sebagai mahasiswa yang tidak peduli. Kami terlihat hanya duduk di warung sambil merokok dan menikmati kopi.
Padahal, para mahasiswa lain bergerak mendesak mundur Presiden Soeharto dengan cara berunjuk rasa. Rombongan unjuk rasa melintas di depan warung. Kumandang lagu wajib Darah Juang selalu terdengar. Kepalkan tangan, satukan barisan. ”......mereka dirampas haknya tergusur dan lapar bunda relakan darah juang kami tuk membebaskan rakyat... Mereka dirampas haknya tergusur dan lapar bunda relakan darah juang kami pada mu kami berjanji...” Kami yang di warung juga bernyanyi, meski dalam hati.
Meski melawan lewat tulisan, kami akhirnya tak kuasa untuk tidak ikut bersatu dalam satu barisan para demonstran. Hingga tragedi tapal kuda di depan RSU Dr Soetomo terjadi. Massa unjuk rasa di tapal kuda oleh militer.
Tak bisa bergerak. Chaos terjadi. Kami harus berlari, bersembunyi di rumah-rumah warga, melompati pagar untuk bisa masuk ke rumah sakit untuk mencari tempat aman. Ah , semua itu kenangan yang tak mungkin terlupakan dalam riwayat masa mahasiswa generasi 98. Belasan tahun pun berlalu. Berbagai media mengabarkan Mei 2015 akan kembali terjadi aksi unjuk rasa mahasiswa besar-besaran. Tetapi, di jalanan ini, Jalan Airlangga, dejavu itu tak terjadi.
Terlalu sombong jika kami mencibir kondisi ini. Setiap masa selalu berbeda. Setiap mahasiswa juga berbeda. Kami berusaha belajar memakluminya sambil berharap ada perjuangan dalam bentuk yang berbeda. Seperti juga saat kami tidak langsung ikut turun ke jalan, tetapi berjuang lewat tulisan.
Belajar pada Sejarah
Secara etimologi atau asal kata, sejarah diambil dari berbagai macam istilah. Di antaranya, kata dalam bahasa Arab, yaitu syajaratun artinya pohon. Mereka mengenal juga kata syajarah annasab , artinya pohon silsilah. Pohon dalam hal ini dihubungkan dengan keturunan atau asalusul keluarga raja/dinasti tertentu. Hal ini dijadikan elemen utama dalam kisah sejarah pada masa awal.
Dikatakan sebagai pohon karena pohon akan terus tumbuh dan berkembang dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih kompleks/maju. Sejarah seperti pohon yang terus berkembang dari akar sampai ke ranting yang terkecil.
Kata history sebenarnya diturunkan dari bahasa Latin dan Yunani, yaitu historia, artinya informasi/pencarian, dapat pula diartikan ilmu. Hal ini menunjukkan bahwa pengkajian sejarah sepenuhnya bergantung kepada penyelidikan terhadap perkara- perkara yang benar-benar pernah terjadi. Istor dalam bahasa Yunani artinya orang pandai istoria, artinya ilmu yang khusus untuk menelaah gejala- gejala dalam urutan kronologis. Berdasarkan asal kata tersebut, sejarah dapat diartikan sebagai sesuatu yang telah terjadi pada waktu lampau dalam kehidupan umat manusia.
Sejarah tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia, bahkan berkembang sesuai kehidupan manusia dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih maju. Sedangkan, menurut Kuntowijoyo, sejarah adalah konstruksi masa lalu tentang apa saja yang sudah dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dan dialami seseorang.
Sejarah adalah ilmu yang menuliskan pikiran pelaku, ilmu tentang sesuatu yang memiliki makna sosial, ilmu tentang manusia, dan ilmu tentang waktu yang meliputi perkembangan, kesinambungan pengulangan, serta perubahan. Jadi, ada peristiwa yang pantas dicatat sebagai sejarah, ada juga yang dibiarkan begitu saja karena (mungkin) tak bermakna. Mungkin...
Zaki zubaidi/ p juliatmoko/soeprayitno
Tepat 21 Mei 2015, runtuhnya rezim Orde Baru (Orba) genap berusia 17 tahun. Kekuatan mahasiswa yang menjadi kontrol pemerintahan pada masa itu kembali diingat.
Bagi aktivis 1998 yang kala itu menjadi garda terdepan dalam civil society , menjelang peringatan 17 tahun bergulirnya reformasi, tentu menjadi reuni memori atas apa yang pernah dilakukan dulu. Andik Yulianto adalah seorang aktivis 1998 yang selalu mengenang masa-masa turun jalan ketika itu.
Pergerakan mahasiswa tidak luput dari diri Andik, sapaannya, yang ketika itu berstatus mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Airlangga (Unair), Surabaya. Keberadaan namanya yang masuk struktur Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Surabaya cabang Unair menjadi salah satu dari sekian banyak latar belakang dia turun ke jalan.
”Setiap Mei saya dan temanteman aktivis selalu memutar film tragedi 1998. Film yang menggambarkan gerakan mahasiswa di Jakarta dan sejumlah kota, termasuk peristiwa Semanggi. Sayangnya, film yang diputar itu tidak ada tayangan yang menggambarkan aksi mahasiswa di Surabaya. Kawan-kawan pada waktu itu kurang dalam melakukan dokumentasi,” pria kelahiran Sidoarjo, 24 Juli 1974, itu.
Andik yang kini menjadi dosen di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS), Universitas Negeri Surabaya (Unesa), juga mengingatkan kembali peran mahasiswa ketika itu kepada mahasiswanya kini. Status dosen pegawai negeri sipil (PNS) golongan III-b itu tidak membungkam kekritisannya yang selalu ditularkan ke mahasiswanya. Ini yang membuat bapak satu anak ini tidak lupa menyelipkan cerita kegigihan mahasiswa era 1998 dalam mengawasi pemerintahan.
Cerita itu biasa dia sisipkan mada mata kuliah (MK) Kewarganegaraan, Pancasila atau lainnya. Ditemui di Kampus Unesa di Ketintang, sulung dari tiga bersaudara anak pasangan Suyitno dan yati Suliati ini menceritakan kembali peristiwa masa itu. Masih melekat kuat ingatannya sehingga Andik dengan lancar menceritakan semuanya. Namun, setelah reformasi bergulir, Andik mengaku tidak habis pikir atas sikap masyarakat yang pemaaf, mudah lupa atas hilang kekritisan kembalinya tentara menduduki ”takhta” kekuasaan.
”Setelah reformasi, masyarakat masih memilih yang tegap-tegap. Contohnya SBY sebagai presiden hingga dua periode. Harusnya sipil, seperti sekarang. Salah satu kekuatan demokrasi adalah civil society yang kuat, bukan militer yang kuat,” tukasnya. Seiring berjalannya sistem demokrasi sekarang ini, Andik tetap saja kecewa melihatnya.
Demokrasi dicederai korupsi yang masih menjadi. Dari sekian banyak kasus korupsi, tetap melibatkan unsur eksekutif, legislatif, bahkan yudikatif. Celakanya, dari sekian banyak yang tersandung kasus korupsi, ada yang dulunya mantan aktivis 1998. Ini yang membuat Andik melontarkan sudut pandangnya terhadap sesama aktivis. Ada aktivis yang terjun ke politik, masuk atau menempel ke parpol besar karena keuangan sudah aman dan atau ikut membuat parpol. Ada yang tetap setiap mengabdikan diri di lembaga pendidikan, wirausaha dan riset yang biasa meng-handle survei-survei.
”Setelah ikut di parpol, ada aktivis yang tetap mengawal perjuangan demokrasi melalui usulan saat pembuatan produk aturan. Namun, ada yang terbawa arus, parpol menjadi kendaraan praktis mencapai kepentingan dia (aktivisa). Dulu aktivis masih mahasiswa, sekarang sudah berkeluarga, perlu duit tentu beda,” bebernya.
Perihal banyaknya aktivis menyimpang, Andik tidak heran lantaran politik adalah dunia negosiasi. Berbeda dengan dunia kampus yang mengedepankan ilmiah. ”Kalau ada aktivis 1998 yang track record -nya sekarang memprihatinkan, berari negosiasinya, lobinya bagus,” sindirnya. Banyak pula aktivis 1998 yang masuk lembaga survei supporting . Lembaga survei yang masukkan kepentingan politis demi kepentingan orang yang bayar.
”Jangan heran jika melihat aktivis 1998 bermetamorfosis. Dulu jadi Arjuna, sekarang Sengkuni. Harto dulu disimbolkan Semar, sosok dewa, sosok pengayom. Namun, akhirnya oleh mahasiswa disimbolkan sebagai setan. Bahkan, saat demonstrasi, foto Harto ditambahi taring, diinjak, dan dibakar,” tuturnya. Perubahan sikap aktivis ini bukan saja masalah ekonomi yang membuat mereka dari ”putih” menjadi ”hitam”.
Sejarah politik dan budaya terus berkembang. Ada thesis dan antithesis. Andik tetap berada di jalur pendidikan lantaran bapaknya seorang guru. Dia tetap setia pada kampus. Rabu siang (20/5) lalu , saat warga Surabaya sibuk beraktivitas, entah mencari nafkah, sekolah, atau apa saja, penulis diberi Tuhan kesempatan untuk menikmati secangkir kopi di trotoar Jalan Airlangga. Kendaraan begitu riuh berlalu-lalang. Mahasiswa berseliweran, ada yang berangkat dan ada yang pulang kuliah.
Sembari menikmati pahit kopi, kami jadi teringat peristiwa besar pada Mei. Banyak yang menyebutnya Reformasi. Dulu, kami juga sempat menyandang sebutan mahasiswa. Tetapi, kami termasuk yang tidak suka berunjuk rasa. Kami lebih suka menyuarakan kegelisahan lewat sastra. Mungkin -saat itu, 1998- kami dipandang sebagai mahasiswa yang tidak peduli. Kami terlihat hanya duduk di warung sambil merokok dan menikmati kopi.
Padahal, para mahasiswa lain bergerak mendesak mundur Presiden Soeharto dengan cara berunjuk rasa. Rombongan unjuk rasa melintas di depan warung. Kumandang lagu wajib Darah Juang selalu terdengar. Kepalkan tangan, satukan barisan. ”......mereka dirampas haknya tergusur dan lapar bunda relakan darah juang kami tuk membebaskan rakyat... Mereka dirampas haknya tergusur dan lapar bunda relakan darah juang kami pada mu kami berjanji...” Kami yang di warung juga bernyanyi, meski dalam hati.
Meski melawan lewat tulisan, kami akhirnya tak kuasa untuk tidak ikut bersatu dalam satu barisan para demonstran. Hingga tragedi tapal kuda di depan RSU Dr Soetomo terjadi. Massa unjuk rasa di tapal kuda oleh militer.
Tak bisa bergerak. Chaos terjadi. Kami harus berlari, bersembunyi di rumah-rumah warga, melompati pagar untuk bisa masuk ke rumah sakit untuk mencari tempat aman. Ah , semua itu kenangan yang tak mungkin terlupakan dalam riwayat masa mahasiswa generasi 98. Belasan tahun pun berlalu. Berbagai media mengabarkan Mei 2015 akan kembali terjadi aksi unjuk rasa mahasiswa besar-besaran. Tetapi, di jalanan ini, Jalan Airlangga, dejavu itu tak terjadi.
Terlalu sombong jika kami mencibir kondisi ini. Setiap masa selalu berbeda. Setiap mahasiswa juga berbeda. Kami berusaha belajar memakluminya sambil berharap ada perjuangan dalam bentuk yang berbeda. Seperti juga saat kami tidak langsung ikut turun ke jalan, tetapi berjuang lewat tulisan.
Belajar pada Sejarah
Secara etimologi atau asal kata, sejarah diambil dari berbagai macam istilah. Di antaranya, kata dalam bahasa Arab, yaitu syajaratun artinya pohon. Mereka mengenal juga kata syajarah annasab , artinya pohon silsilah. Pohon dalam hal ini dihubungkan dengan keturunan atau asalusul keluarga raja/dinasti tertentu. Hal ini dijadikan elemen utama dalam kisah sejarah pada masa awal.
Dikatakan sebagai pohon karena pohon akan terus tumbuh dan berkembang dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih kompleks/maju. Sejarah seperti pohon yang terus berkembang dari akar sampai ke ranting yang terkecil.
Kata history sebenarnya diturunkan dari bahasa Latin dan Yunani, yaitu historia, artinya informasi/pencarian, dapat pula diartikan ilmu. Hal ini menunjukkan bahwa pengkajian sejarah sepenuhnya bergantung kepada penyelidikan terhadap perkara- perkara yang benar-benar pernah terjadi. Istor dalam bahasa Yunani artinya orang pandai istoria, artinya ilmu yang khusus untuk menelaah gejala- gejala dalam urutan kronologis. Berdasarkan asal kata tersebut, sejarah dapat diartikan sebagai sesuatu yang telah terjadi pada waktu lampau dalam kehidupan umat manusia.
Sejarah tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia, bahkan berkembang sesuai kehidupan manusia dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih maju. Sedangkan, menurut Kuntowijoyo, sejarah adalah konstruksi masa lalu tentang apa saja yang sudah dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dan dialami seseorang.
Sejarah adalah ilmu yang menuliskan pikiran pelaku, ilmu tentang sesuatu yang memiliki makna sosial, ilmu tentang manusia, dan ilmu tentang waktu yang meliputi perkembangan, kesinambungan pengulangan, serta perubahan. Jadi, ada peristiwa yang pantas dicatat sebagai sejarah, ada juga yang dibiarkan begitu saja karena (mungkin) tak bermakna. Mungkin...
Zaki zubaidi/ p juliatmoko/soeprayitno
(ars)