Syekh Yusuf, Pendakwah Lintas Benua Asal Gowa
A
A
A
DIASINGKAN ke Sri Lanka dan Afrika Selatan, tak membuat Syekh Yusuf Al-Makassari berhenti berdakwah. Berikut kisah ulama asal Gowa, Sulawesi Selatan itu.
Syekh Yusuf Al-Makassari memiliki nama lengkap Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makassari Al-Bantani. Menurut catatan wikipedia, dia lahir di Gowa, 3 Juli 1626. Namun, sumber lain menyebut Syekh Yusuf lahir 13 Juli 1627.
Syekh Yusuf lahir dari pasangan Abdullah dan Aminah. Ketika lahir ia diberi nama Muhammad Yusuf. Nama tersebut diberikan Sultan Alauddin, raja Gowa, yang juga kerabat ibu Syekh Yusuf.
Pendidikan agama diperolehnya sejak berusia 15 tahun di Cikoang, saat ini masuk wilayah Kecamatan Mangara Bombang, Kabupaten Takalar, Sulsel. Di situ, dia belajar dari Daeng Ri Tassamang, guru Kerajaan Gowa.
Syekh Yusuf juga berguru pada Sayyid Ba-Alawi bin Abdul Al-Allamah Attahir dan Sayyid Jalaludin Al-Aidid.
Kembali dari Cikoang, Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa. Lalu, pada usia 18 tahun, Syekh memulai pengembaraannya.
Syekh Yusuf pernah singgah di Banten dan bertemu serta akhirnya bersahabat dengan Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Banten yang terakhir. Syekh Yusuf juga pernah singgah di Aceh sebelum kemudian melanjutkan perjalanan menuju Gujarat.
Di Gujarat inilah dikabarkan Yusuf sempat bertemu dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniri, salah seorang penasihat Sulthanah Shafiyatuddin, raja perempuan Aceh. Syekh Nuruddin Ar-Raniri adalah negarawan, ahli fikih, teolog, sufi, sejarawan, dan sastrawan penting dalam sejarah Melayu pada abad ke-17.
Beberapa pendapat menyatakan bahwa Yusuf bertemu dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniri ketika Yusuf singgah di Aceh. Hal ini didasarkan pada pendapat yang menyatakan bahwa Syekh Nuruddin Ar-Raniri meninggal dunia pada 22 Dzulhijjah 1069 H/21 September 1658 M di Aceh.
Pada masa-masa sebelum 1658 inilah Yusuf bertemu dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniri di Aceh. Dari Syekh Nuruddin Ar-Raniri inilah Yusuf belajar dan mendapatkan ijazah Tarekat Qodiriyah.
Dari Aceh, Yusuf kemudian bertolak ke Gujarat, Yaman, Damaskus (Suriah) hingga akhirnya ke Makkah dan Madinah.
Selama 20 tahun lebih berkelana, ia telah menamatkan pelajaran dari tak kurang 17 guru terkenal, mulai dari tarekat Naqsyabandiyah, Syatariyah, Qadiriyah, hingga Khalwariyah yang kemudian bahkan lekat dengan namanya.
Selesai menimba ilmu, Syekh Yusuf kembali ke Nusantara. Konon, ia tidak kembali ke Gowa, tetapi ke Banten dan bertempat tinggal di wilayah kerajaan yang saat itu dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
Di Banten, sekitar tahun 1670 Syekh Yusuf diangkat menjadi mufti (penasihat spiritual) dengan murid dari berbagai daerah, termasuk 400 orang asal Makassar yang dipimpin oleh Ali Karaeng Bisai. Syekh Yusuf tinggal di sana dan kemudian menikah lagi dengan putri Sultan Ageng Tirtayasa.
Kedalaman ilmu yang dimiliki Syekh Yusuf menjadikan dia begitu cepat terkenal. Banten pun dikenal sebagai pusat pendidikan Islam. Banyak orang berdatangan dari berbagai penjuru negeri untuk belajar kepada Syekh Yusuf.
Selain ilmu-ilmu syariat, Syekh Yusuf juga mengajarkan murid-muridnya ilmu beladiri untuk berjuang bersama melawan penjajah Belanda. Maka, tak heran banyak di antara para pendekar di Kesultanan Banten adalah murid Syekh Yusuf. Mereka dikenal kebal terhadap senjata, sehingga membuat pasukan Belanda khawatir.
Singkat cerita, Belanda mencari cara untuk menaklukkan Kesultanan Banten. Beragam cara dilakukan, antara lain mengadu domba keluarga Sultan. Ketika pasukan Sultan Ageng dikalahkan Belanda tahun 1682, Syekh Yusuf turut terlibat dalam perang gerilya. Namun, pada tahun ini juga Syekh Yusuf ditangkap oleh Belanda.
Awalnya, Syekh Yusuf ditahan di Cirebon kemudian dipindahkan ke Batavia (Jakarta). Karena pengaruhnya yang begitu besar dianggap membahayakan kompeni Belanda, Syekh Yusuf keluarga kemudian diasingkan ke Sri Lanka pada 1684. Kedua istri dan beberapa anak Syekh Yusuf, 12 murid, dan sejumlah perempuan pembantu ikut diasingkan.
Di Sri Lanka, Syekh Yusuf banyak melakukan dakwah dan penyebaran Islam. Muridnya pun banyak, kebanyakan dari India. Salah satunya, ulama besar India, Syekh Ibrahim ibn Mi'an.
Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syekh Yusuf terus berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara. Belanda khawatir dampak dakwah agama Syekh Yusuf akan berpengaruh buruk bagi keberadaan dan politik Belanda di Nusantara.
Karena itu, Syekh Yusuf dijatuhi hukuman mati. Namun, hukuman mati terhadap Syekh Yusuf diprotes oleh Raja Alamghir di India dan Raja Makassar Abdul Jalil (1677-1709). Akhirnya, hukuman mati diubah menjadi pembuangan seumur hidup.
Maka, diputuskanlah bahwa Syekh Yusuf diasingkan ke Afrika Selatan. Tiba di Cape Town pada tanggal 2 April 1694 pukul 15.00 waktu setempat bersama rombongan (49 orang), Syekh Yusuf langsung diantar masuk ke dalam Kasteel (benteng). Salat Magrib pertama dilakukan dalam benteng tersebut.
Di Afrika Selatan, Syekh Yusuf membangun permukiman di Cape Town yang sekarang dikenal sebagai Macassar. Dia pun dikenal sebagai orang pertama yang menyebarkan Islam di Afrika Selatan.
Pada tanggal 23 Mei 1699, Syekh Yusuf wafat dan dimakamkan di Faure, Cape Town. Atas permintaan Sultan Gowa Sultan Abdul Djalil, tulang belulang Syekh Yusuf dibawa kembali ke Tanah Air dan dimakamkan kembali di Lakiung, Sulawesi Selatan pada 6 April 1705.
Masyarakat di dua tempat itu, Macassar dan Lakiung, tetap yakin bahwa jasad Syekh Yusuf dimakamkan di dua tempat itu. Maka, makamnya pun ramai diziarahi.
Atas jasa-jasanya, Syekh Yusuf dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 071/TK/Tahun 1995 tertanggal 7 Agustus 1995.
Tak cuma itu, pada 2005, Syekh Yusuf juga diberi penghargaan Oliver Thambo, yakni penghargaan sebagai Pahlawan Nasional Afrika Selatan. Penghargaan tersebut diserahkan langsung oleh Presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki, kepada tiga ahli warisnya, disaksikan Wakil Presiden RI M Jusuf Kalla.
Sumber:
1. wikipedia.org
2. Buku Jejak-Jejak Pengasingan Para Tokoh Bangsa, penulis A Faidi, penerbit Saufa.
3. pahlawancenter.com.
Syekh Yusuf Al-Makassari memiliki nama lengkap Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makassari Al-Bantani. Menurut catatan wikipedia, dia lahir di Gowa, 3 Juli 1626. Namun, sumber lain menyebut Syekh Yusuf lahir 13 Juli 1627.
Syekh Yusuf lahir dari pasangan Abdullah dan Aminah. Ketika lahir ia diberi nama Muhammad Yusuf. Nama tersebut diberikan Sultan Alauddin, raja Gowa, yang juga kerabat ibu Syekh Yusuf.
Pendidikan agama diperolehnya sejak berusia 15 tahun di Cikoang, saat ini masuk wilayah Kecamatan Mangara Bombang, Kabupaten Takalar, Sulsel. Di situ, dia belajar dari Daeng Ri Tassamang, guru Kerajaan Gowa.
Syekh Yusuf juga berguru pada Sayyid Ba-Alawi bin Abdul Al-Allamah Attahir dan Sayyid Jalaludin Al-Aidid.
Kembali dari Cikoang, Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan Gowa. Lalu, pada usia 18 tahun, Syekh memulai pengembaraannya.
Syekh Yusuf pernah singgah di Banten dan bertemu serta akhirnya bersahabat dengan Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Banten yang terakhir. Syekh Yusuf juga pernah singgah di Aceh sebelum kemudian melanjutkan perjalanan menuju Gujarat.
Di Gujarat inilah dikabarkan Yusuf sempat bertemu dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniri, salah seorang penasihat Sulthanah Shafiyatuddin, raja perempuan Aceh. Syekh Nuruddin Ar-Raniri adalah negarawan, ahli fikih, teolog, sufi, sejarawan, dan sastrawan penting dalam sejarah Melayu pada abad ke-17.
Beberapa pendapat menyatakan bahwa Yusuf bertemu dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniri ketika Yusuf singgah di Aceh. Hal ini didasarkan pada pendapat yang menyatakan bahwa Syekh Nuruddin Ar-Raniri meninggal dunia pada 22 Dzulhijjah 1069 H/21 September 1658 M di Aceh.
Pada masa-masa sebelum 1658 inilah Yusuf bertemu dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniri di Aceh. Dari Syekh Nuruddin Ar-Raniri inilah Yusuf belajar dan mendapatkan ijazah Tarekat Qodiriyah.
Dari Aceh, Yusuf kemudian bertolak ke Gujarat, Yaman, Damaskus (Suriah) hingga akhirnya ke Makkah dan Madinah.
Selama 20 tahun lebih berkelana, ia telah menamatkan pelajaran dari tak kurang 17 guru terkenal, mulai dari tarekat Naqsyabandiyah, Syatariyah, Qadiriyah, hingga Khalwariyah yang kemudian bahkan lekat dengan namanya.
Selesai menimba ilmu, Syekh Yusuf kembali ke Nusantara. Konon, ia tidak kembali ke Gowa, tetapi ke Banten dan bertempat tinggal di wilayah kerajaan yang saat itu dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
Di Banten, sekitar tahun 1670 Syekh Yusuf diangkat menjadi mufti (penasihat spiritual) dengan murid dari berbagai daerah, termasuk 400 orang asal Makassar yang dipimpin oleh Ali Karaeng Bisai. Syekh Yusuf tinggal di sana dan kemudian menikah lagi dengan putri Sultan Ageng Tirtayasa.
Kedalaman ilmu yang dimiliki Syekh Yusuf menjadikan dia begitu cepat terkenal. Banten pun dikenal sebagai pusat pendidikan Islam. Banyak orang berdatangan dari berbagai penjuru negeri untuk belajar kepada Syekh Yusuf.
Selain ilmu-ilmu syariat, Syekh Yusuf juga mengajarkan murid-muridnya ilmu beladiri untuk berjuang bersama melawan penjajah Belanda. Maka, tak heran banyak di antara para pendekar di Kesultanan Banten adalah murid Syekh Yusuf. Mereka dikenal kebal terhadap senjata, sehingga membuat pasukan Belanda khawatir.
Singkat cerita, Belanda mencari cara untuk menaklukkan Kesultanan Banten. Beragam cara dilakukan, antara lain mengadu domba keluarga Sultan. Ketika pasukan Sultan Ageng dikalahkan Belanda tahun 1682, Syekh Yusuf turut terlibat dalam perang gerilya. Namun, pada tahun ini juga Syekh Yusuf ditangkap oleh Belanda.
Awalnya, Syekh Yusuf ditahan di Cirebon kemudian dipindahkan ke Batavia (Jakarta). Karena pengaruhnya yang begitu besar dianggap membahayakan kompeni Belanda, Syekh Yusuf keluarga kemudian diasingkan ke Sri Lanka pada 1684. Kedua istri dan beberapa anak Syekh Yusuf, 12 murid, dan sejumlah perempuan pembantu ikut diasingkan.
Di Sri Lanka, Syekh Yusuf banyak melakukan dakwah dan penyebaran Islam. Muridnya pun banyak, kebanyakan dari India. Salah satunya, ulama besar India, Syekh Ibrahim ibn Mi'an.
Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syekh Yusuf terus berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara. Belanda khawatir dampak dakwah agama Syekh Yusuf akan berpengaruh buruk bagi keberadaan dan politik Belanda di Nusantara.
Karena itu, Syekh Yusuf dijatuhi hukuman mati. Namun, hukuman mati terhadap Syekh Yusuf diprotes oleh Raja Alamghir di India dan Raja Makassar Abdul Jalil (1677-1709). Akhirnya, hukuman mati diubah menjadi pembuangan seumur hidup.
Maka, diputuskanlah bahwa Syekh Yusuf diasingkan ke Afrika Selatan. Tiba di Cape Town pada tanggal 2 April 1694 pukul 15.00 waktu setempat bersama rombongan (49 orang), Syekh Yusuf langsung diantar masuk ke dalam Kasteel (benteng). Salat Magrib pertama dilakukan dalam benteng tersebut.
Di Afrika Selatan, Syekh Yusuf membangun permukiman di Cape Town yang sekarang dikenal sebagai Macassar. Dia pun dikenal sebagai orang pertama yang menyebarkan Islam di Afrika Selatan.
Pada tanggal 23 Mei 1699, Syekh Yusuf wafat dan dimakamkan di Faure, Cape Town. Atas permintaan Sultan Gowa Sultan Abdul Djalil, tulang belulang Syekh Yusuf dibawa kembali ke Tanah Air dan dimakamkan kembali di Lakiung, Sulawesi Selatan pada 6 April 1705.
Masyarakat di dua tempat itu, Macassar dan Lakiung, tetap yakin bahwa jasad Syekh Yusuf dimakamkan di dua tempat itu. Maka, makamnya pun ramai diziarahi.
Atas jasa-jasanya, Syekh Yusuf dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 071/TK/Tahun 1995 tertanggal 7 Agustus 1995.
Tak cuma itu, pada 2005, Syekh Yusuf juga diberi penghargaan Oliver Thambo, yakni penghargaan sebagai Pahlawan Nasional Afrika Selatan. Penghargaan tersebut diserahkan langsung oleh Presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki, kepada tiga ahli warisnya, disaksikan Wakil Presiden RI M Jusuf Kalla.
Sumber:
1. wikipedia.org
2. Buku Jejak-Jejak Pengasingan Para Tokoh Bangsa, penulis A Faidi, penerbit Saufa.
3. pahlawancenter.com.
(zik)