Rakyat Yogyakarta Mulai Berani Tolak Sabdaraja
A
A
A
YOGYAKARTA - Elemen masyarakat Yogyakarta mulai berani menolak Sabdaraja dan Dawuhraja yang dibacakan Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X.
Selama ini, warga terkesan “malu-malu” mengungkapkan penolakannya secara terbuka. Adalah elemen masyarakat mengatasnamakanWargaKauman Yogyakarta yang menyatakan sikap menolak perubahan nama dan gelar Raja Keraton bertakhta sejak 7 Maret 1989 ini. Seusai salat Jumat (15/5) di Masjid Kagungan Dalem, Masjid Agung Gedhe Keraton Yogyakarta, mereka menggelar tablig akbar dan menyatakan sikap.
Tablig dan pembacaan pernyataan sikap Warga Kauman Yogyakarta dibacakan Heru Syafruddin Amali, yang masih keturunan RH Sangidu atau Kanjeng Kyai Penghulu Muhammad Kamaludiningrat dan masih keturunan Ki Ageng Pemanahan. Ada sejumlah poin yang disampaikan antara lain menolak perubahan nama Buwono menjadi Bawono dan penghapusan gelar Ngabdurahman Sayidin Panotogomo Kalifatullah.
Dia mengungkapkan, gelar tersebut adalah satu kesatuan dengan Keraton Yogyakarta sebagai Mataram Islam. “Dengan menghilangkan Khalifatullah dalam gelar Sultan yang bertakhta, berarti sudah tidak mengakui asalusul leluhur sebagai cikal bakal berdirinya Keraton Yogyakarta,” ujarnya. Heru juga berharap Sultan HB X menepati janjinya yang disampaikan menjelang Jumenengan.
Hal ini senada dengan pernyataan Pengageng Tepas Dwarapura Keraton Ngayogyakarta, KRT Jatiningrat, yang sebelumnya menyebutkan Jumenengan atau naik tahta ada lima janji diucapkan Sultan HB X kepada leluhurnya atau Sultan HB IX. Lima janji tersebut adalah tidak memiliki prasangka iri dan dengki kepada orang lain. Kedua, untuk tetap merengkuh orang lain biar pun orang lain tersebut tidak senang.
Ketiga, untuk tidak melanggar paugeran nagari (Keraton Yogyakarta). Keempat , untuk lebih berani mengatakan yang benar itu benar dan salah itu salah. Kelima , untuk tidak mempunyai ambisi apa pun selain menyejahterakan rakyat. Heru mengajak Sultan HB X dan para keluarga serta masyarakat kembali pada semangat leluhur pendiri Keraton Yogyakarta Pangeran Mangkubumi atau Sultan HB I.
“Kami juga meminta polemik dan konflik yang terjadi di internal Keraton sejak Sabdaraja dan Dawuhraja dilakukan secara musyawarah. Mereka yang bertentangan harus islah,” katanya. Salah tokoh masyarakat, Syukri Fadholi yang hadir dalam acara itu menyebutkan, gelar Khalifatullah sudah menyatu dengan Keraton Yogyakarta. Hilangnya gelar itu melalui Sabdaraja memberikan isyarat bahwa Keraton tidak lagi menjadi Kasultanan Islam.
“Kami khawatir ini hanya kepentingan kekuasaan saja dengan menghilangkan paugeran leluhur,” katanya. Ketua DPW PPP DIY ini menyatakan, menghilangkan gelar Khalifatullah memiliki makna hilangnya salah satu adeging negara Kasultanan Yogyakarta dan mengingkari paugeran Keraton serta sumpah jabatan. Selain itu juga bermakna hilangnya jati diri atau kepribadian Sultan secara utuh.
“Sultan juga sudah tega melukai perasaan umat Islam, tidak hanya DIY, tetapi juga Indonesia,” katanya. Mantan Wakil Wali Kota Yogyakarta ini mengungkapkan, semangat Keraton Yogyakarta untuk menyejahterakan rakyat atau yang sering dikenal dengan takhta untuk rakyat sudah hilang. “Takhta untuk rakyat menjadi takhta untuk melanggengkan kekuasaan,” katanya.
Ridwan anshori
Selama ini, warga terkesan “malu-malu” mengungkapkan penolakannya secara terbuka. Adalah elemen masyarakat mengatasnamakanWargaKauman Yogyakarta yang menyatakan sikap menolak perubahan nama dan gelar Raja Keraton bertakhta sejak 7 Maret 1989 ini. Seusai salat Jumat (15/5) di Masjid Kagungan Dalem, Masjid Agung Gedhe Keraton Yogyakarta, mereka menggelar tablig akbar dan menyatakan sikap.
Tablig dan pembacaan pernyataan sikap Warga Kauman Yogyakarta dibacakan Heru Syafruddin Amali, yang masih keturunan RH Sangidu atau Kanjeng Kyai Penghulu Muhammad Kamaludiningrat dan masih keturunan Ki Ageng Pemanahan. Ada sejumlah poin yang disampaikan antara lain menolak perubahan nama Buwono menjadi Bawono dan penghapusan gelar Ngabdurahman Sayidin Panotogomo Kalifatullah.
Dia mengungkapkan, gelar tersebut adalah satu kesatuan dengan Keraton Yogyakarta sebagai Mataram Islam. “Dengan menghilangkan Khalifatullah dalam gelar Sultan yang bertakhta, berarti sudah tidak mengakui asalusul leluhur sebagai cikal bakal berdirinya Keraton Yogyakarta,” ujarnya. Heru juga berharap Sultan HB X menepati janjinya yang disampaikan menjelang Jumenengan.
Hal ini senada dengan pernyataan Pengageng Tepas Dwarapura Keraton Ngayogyakarta, KRT Jatiningrat, yang sebelumnya menyebutkan Jumenengan atau naik tahta ada lima janji diucapkan Sultan HB X kepada leluhurnya atau Sultan HB IX. Lima janji tersebut adalah tidak memiliki prasangka iri dan dengki kepada orang lain. Kedua, untuk tetap merengkuh orang lain biar pun orang lain tersebut tidak senang.
Ketiga, untuk tidak melanggar paugeran nagari (Keraton Yogyakarta). Keempat , untuk lebih berani mengatakan yang benar itu benar dan salah itu salah. Kelima , untuk tidak mempunyai ambisi apa pun selain menyejahterakan rakyat. Heru mengajak Sultan HB X dan para keluarga serta masyarakat kembali pada semangat leluhur pendiri Keraton Yogyakarta Pangeran Mangkubumi atau Sultan HB I.
“Kami juga meminta polemik dan konflik yang terjadi di internal Keraton sejak Sabdaraja dan Dawuhraja dilakukan secara musyawarah. Mereka yang bertentangan harus islah,” katanya. Salah tokoh masyarakat, Syukri Fadholi yang hadir dalam acara itu menyebutkan, gelar Khalifatullah sudah menyatu dengan Keraton Yogyakarta. Hilangnya gelar itu melalui Sabdaraja memberikan isyarat bahwa Keraton tidak lagi menjadi Kasultanan Islam.
“Kami khawatir ini hanya kepentingan kekuasaan saja dengan menghilangkan paugeran leluhur,” katanya. Ketua DPW PPP DIY ini menyatakan, menghilangkan gelar Khalifatullah memiliki makna hilangnya salah satu adeging negara Kasultanan Yogyakarta dan mengingkari paugeran Keraton serta sumpah jabatan. Selain itu juga bermakna hilangnya jati diri atau kepribadian Sultan secara utuh.
“Sultan juga sudah tega melukai perasaan umat Islam, tidak hanya DIY, tetapi juga Indonesia,” katanya. Mantan Wakil Wali Kota Yogyakarta ini mengungkapkan, semangat Keraton Yogyakarta untuk menyejahterakan rakyat atau yang sering dikenal dengan takhta untuk rakyat sudah hilang. “Takhta untuk rakyat menjadi takhta untuk melanggengkan kekuasaan,” katanya.
Ridwan anshori
(bbg)