MUI Desak Pemkab Tulungagung Ratakan Bangunan Eks Lokalisasi
A
A
A
TULUNGAGUNG - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cabang Tulungagung mendesak Pemkab Tulungagung untuk meruntuhkan seluruh bangunan eks lokalisasi di Desa Kaliwungu, Kecamatan Ngunut dan Desa Ngujang, Kecamatan Kedungwaru dengan tanah.
MUI berharap tidak ada lagi bangunan yang bisa dijadikan lagi praktik prostitusi berkedok kafe dan karaoke.
"Kami berharap diratakan saja dengan tanah. Sebab bila tidak suatu saat bisa terulang kembali," ujar Juru Bicara MUI Tulungagung Fathur Rouf kepada wartawan, Rabu (13/5/2015).
Ada sebanyak 69 bangunan kafe dan karaoke dengan 100-an orang pemandu lagu (purel) termasuk pengelola di eks lokalisasi Ngunut. Dahulu, kafe dan karaoke tersebut adalah wisma-wisma prostitusi. Pemkab Tulungagung bersama aparat kepolisian dan TNI resmi melakukan penutupan paksa.
Sebab, kafe dan karaoke hanyalah kedok dari ajang pelacuran terselubung. Penutupan pada 8 Mei 2015 tersebut merupakan yang kedua kalinya. Penutupan pertama berlangsung pada era Bupati Tulungagung Heru Tjahjono, 19 Juli 2012.
Sebanyak 176 pekerja seks komersial (PSK) di Ngunut dan 205 PSK di Ngujang dibina, diberi ganti rugi (kompensasi) dan dipulangkan. Masing-masing eks PSK menerima santunan material Rp3-5 juta.
Bupati Heru yang kini menjabat Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur menjanjikan mengubah eks lokalisasi menjadi kawasan olahraga futsal, pemancingan, dan pasar burung. Namun, janji itu tidak pernah terwujudkan.
Bahkan, pascaberakhirnya jabatan Bupati Heru, praktik pelacuran kembali terjadi dengan berkedok karaoke dan kafe.
Menurut Fathur Rouf, penempatan personel kepolisian dan TNI di eks lokalisasi selama dua bulan pascapenutupan cukup efektif. Selain ditutup paksa, seluruh pengelola dan pemandu lagu karaoke dan kafe diminta meninggalkan lokasi.
Namun, citra lokalisasi akan runtuh bila seluruh bangunan eks wisma yang ada rata dengan tanah. "Kita akan merekomendasikan ke pemkab. Sebab image lokalisasi akan lenyap bila seluruh bangunan rata dengan tanah. Lagi pula, status tanah merupakan bengkok desa," pungkasnya.
Menanggapi hal itu, Wakil Bupati Tulungagung Maryoto Bhirowo menegaskan bahwa penutupan kali ini benar-benar serius. Penutupan sengaja tidak menyertakan kompensasi ganti rugi karena aktivitas yang ada sifatnya ilegal.
Namun, terkait usulan meratakan bangunan dengan tanah, eksekutif perlu berkoordinasi dengan legislatif terlebih dahulu. "Yang pasti kita benar-benar serius menangani masalah ini. Namun soal meratakan bangunan dengan tanah, kita masih perlu koordinasi dengan DPRD," ujarnya.
MUI berharap tidak ada lagi bangunan yang bisa dijadikan lagi praktik prostitusi berkedok kafe dan karaoke.
"Kami berharap diratakan saja dengan tanah. Sebab bila tidak suatu saat bisa terulang kembali," ujar Juru Bicara MUI Tulungagung Fathur Rouf kepada wartawan, Rabu (13/5/2015).
Ada sebanyak 69 bangunan kafe dan karaoke dengan 100-an orang pemandu lagu (purel) termasuk pengelola di eks lokalisasi Ngunut. Dahulu, kafe dan karaoke tersebut adalah wisma-wisma prostitusi. Pemkab Tulungagung bersama aparat kepolisian dan TNI resmi melakukan penutupan paksa.
Sebab, kafe dan karaoke hanyalah kedok dari ajang pelacuran terselubung. Penutupan pada 8 Mei 2015 tersebut merupakan yang kedua kalinya. Penutupan pertama berlangsung pada era Bupati Tulungagung Heru Tjahjono, 19 Juli 2012.
Sebanyak 176 pekerja seks komersial (PSK) di Ngunut dan 205 PSK di Ngujang dibina, diberi ganti rugi (kompensasi) dan dipulangkan. Masing-masing eks PSK menerima santunan material Rp3-5 juta.
Bupati Heru yang kini menjabat Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Timur menjanjikan mengubah eks lokalisasi menjadi kawasan olahraga futsal, pemancingan, dan pasar burung. Namun, janji itu tidak pernah terwujudkan.
Bahkan, pascaberakhirnya jabatan Bupati Heru, praktik pelacuran kembali terjadi dengan berkedok karaoke dan kafe.
Menurut Fathur Rouf, penempatan personel kepolisian dan TNI di eks lokalisasi selama dua bulan pascapenutupan cukup efektif. Selain ditutup paksa, seluruh pengelola dan pemandu lagu karaoke dan kafe diminta meninggalkan lokasi.
Namun, citra lokalisasi akan runtuh bila seluruh bangunan eks wisma yang ada rata dengan tanah. "Kita akan merekomendasikan ke pemkab. Sebab image lokalisasi akan lenyap bila seluruh bangunan rata dengan tanah. Lagi pula, status tanah merupakan bengkok desa," pungkasnya.
Menanggapi hal itu, Wakil Bupati Tulungagung Maryoto Bhirowo menegaskan bahwa penutupan kali ini benar-benar serius. Penutupan sengaja tidak menyertakan kompensasi ganti rugi karena aktivitas yang ada sifatnya ilegal.
Namun, terkait usulan meratakan bangunan dengan tanah, eksekutif perlu berkoordinasi dengan legislatif terlebih dahulu. "Yang pasti kita benar-benar serius menangani masalah ini. Namun soal meratakan bangunan dengan tanah, kita masih perlu koordinasi dengan DPRD," ujarnya.
(zik)