Menelisik Bekas Pabrik Gula Banjaratma di Brebes
A
A
A
PEMERINTAH saat ini sedang memugar bangunan bekas Pabrik Gula Banjaratma yang berada di Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes. Bangunan berusia lebih dari 100 tahun itu akan disulap menjadi rest area KM 260 B di ruas jalan tol Pejagan-Pemalang.
Seperti kebanyakan di Indonesia, Pabrik Gula Banjaratma merupakan peninggalan pemerintah Belanda ketika menjajah Bumi Nusantara. Revolusi industri yang bermula di Inggris pada 1760-an hingga 1840-an, ditandai dengan penggunaan mesin-mesin uap, memicu munculnya pabrik-pabrik di seluruh dunia, termasuk pabrik gula di Indonesia. Hingga 1925, tak kurang dari 205 pabrik gula didirikan di Pulau Jawa.
Pabrik Gula Banjaratma sendiri didirikan oleh perusahaan perkebunan yang berpusat di Amsterdam, Belanda, NV Cultuurmaatschappij pada 1908. Pabrik yang terletaknya di Desa Banjaratma atau sekitar 5 kilometer sebelah barat kota Brebes, mulai beroperasi pada 1913. Keberadaannya dulu menjadi lapangan pekerjaan bagi sebagian warga desa.
Dikutip dari situs Kemendikbud.go.id, Pabrik Gula Banjaratma dalam peta Dutch Colonial Maps tahun 1918 tertulis sebagai Station Banjaratma. Ini berarti, tempat ini tidak hanya memproduksi gula, tapi juga berfungsi sebagai Proefstations atau stasiun pengujian. Pabrik Gula Banjaratma dijadikan tempat penelitian ilmiah budidaya dan proses produksi gula sehingga memperoleh hasil maksimal.
Adalah Gerrit Jan Mulder, seorang penasihat pemerintah Belanda, yang mengenalkan stasiun pengujian ini pada 1948. Menurutnya, dalam memproduksi gula secara maksimal, maka yang dibutuhkan adalah teknologi yang paling optimal buka paling modern. Teknologi harus menyesuaikan situasi di Pulau Jawa. Dari hasil kajian, teknologi yang paling optimal di Jawa adalah menggunakan bahan bakar air sebagai penggerak mesin uap.
Tidak menggunakan teknologi modern yang menggunakan bahan bakar kayu dan batu bara yang mahal untuk menggerakkan mesin uap adalah keputusan tepat. Selain lebih ekonomis, produktivitas Pabrik Gula Banjaratma yang tergolong berusia paling muda dibanding pabrik gula lain di Jawa Tengah, juga paling tinggi.
Pabrik Gula Banjaratma yang berdiri di atas lahan seluas 25 hektare memiliki organisasi ruang atau struktur ruang yang membentuk suatu sistem atau sirkulasi tertentu. Bangunan di kompleks pabrik gula ini meliputi gedung pabrik, perumahan pegawai, dan rumah administratur pabrik (Besaran), dan lahan perkebunan tebu. Keseluruhan ruang tersebut mendukung proses produksi dari tebu menjadi gula di pabrik tersebut.
Melemahnya cengkeraman pemerintah kolonial Belanda di Bumi Nusantara hingga akhirnya Indonesia merdeka kemudian memengaruhi kelangsungan pabrik-pabrik gula di Pulau Jawa. Pasokan tebu sebagai bahan baku utama gula menurun seiring dengan tidak adanya lagi sistem tanam paksa seperti yang dilakukan Belanda. Ditambah biaya operasional yang tinggi, pabrik-pabrik gula di Pulau Jawa akhirnya satu per satu tutup.
Setelah melakukan beragam terobosan, Pabrik Gula Banjaratma akhirnya juga tidak bisa bertahan. Pabrik ini terpaksa ditutup pada 1998 setelah melakukan produksi terakhir pada 1997. Penutupan ini berbarengan dengan empat pabrik gula lainnya di Jawa Tengah, yakni Pabri Gula Kalibagor, Banyumas; Pabrik Gula Cepiring, Kendal; Pabrik Gula Ceper Baru, Klaten; dan Pabrik Gula Colomadu, Karanganyar.
Penutupan pabrik lalu diikuti dengan pengosongan bangunan-bangunan yang ada di kompleks Pabrik Gula Banjaratma. Mesin dan peralatan yang masih bisa digunakan dipindahkan ke pabrik gula lainnya. Adapun yang sudah mangkrak dilelang ke pihak ketiga. Karena itu, kini yang tersisa di kompleks Pabrik Gula Banjaratma nyaris hanya lahan dan bangunan tua. Kompleks ini bertahun-tahun dibiarkan begitu saja tanpa ada perawatan, sehingga memunculkan kesan angker.
Jadi Rest Area Tol Trans Jawa
Situasi berubah ketika sebagian lahan Pabrik Gula Banjaratma terkena dampak jalan tol Trans Jawa pada 2016. Letak bangunan utama pabrik sangat dekat dengan jalan bebas hambatan tersebut. Awalnya ada penolakan jalan tol yang disampaikan masyarakat karena khawatir akan mempengaruhi gedung bekas Pabrik Gula Banjaratma yang telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.
Kekhawatiran tersebut lalu dijawab pemerintah dengan memugarnya dan disulap menjadi rest area tol. Pemerintah mengklaim, Rest Area KM 260 B di ruas tol Pejagan-Pemalang itu akan menjadi yang terbaik di Indonesia. Tempat istirahat pengguna jalan ini menawarkan eksotisme bangunan dan kuliner khas yang tidak bisa ditemui di rest area lainya.
Proses renovasi gedung bekas Pabrik Gula Banjaratma tidak gampang. Sebab harus taat pada nilai-nilai sejarah, salah satunya tidak boleh mengubah nilai artistik dan esensi awal bangunan cagar budaya ini. Terlebih pada masanya, PG Banjaratma ini sekaligus menjadi tempat penelitian atau proefstations.
Meski proses pemugaran belum sepenuhnya selesai, tapi rest area KM 260 B di ruas tol Pejagan-Pemalang ini memang beda. Pengunjung nantinya akan merasakan seperti menelusuri perjalanan pembuatan gula pada masa lalu. Di tempat ini ada bekas-bekas ruang dan peralatan, dari tungku, mesin "roda gila" dan lorong-lorong bekas pencipta uap, mengingat pabrik gula ini dulunya menggunakan teknologi uap air bukan kayu maupun batubara.
Di rest area seluas 11 hektare ini nantinya akan ada 64 stan UMKM dan 52 stan usaha kategori besar. Sejumlah fasilitas yang dibangun adalah SPBU, masjid, bengkel, klinik, parkir kendaraan kecil dan berat. Dengan disulap menjadi rest area ini diharapkan bekas Pabrik Gula Banjaratma kembali bangkit meski dalam format usaha berbeda.
*Diolah dari berbagai sumber
Seperti kebanyakan di Indonesia, Pabrik Gula Banjaratma merupakan peninggalan pemerintah Belanda ketika menjajah Bumi Nusantara. Revolusi industri yang bermula di Inggris pada 1760-an hingga 1840-an, ditandai dengan penggunaan mesin-mesin uap, memicu munculnya pabrik-pabrik di seluruh dunia, termasuk pabrik gula di Indonesia. Hingga 1925, tak kurang dari 205 pabrik gula didirikan di Pulau Jawa.
Pabrik Gula Banjaratma sendiri didirikan oleh perusahaan perkebunan yang berpusat di Amsterdam, Belanda, NV Cultuurmaatschappij pada 1908. Pabrik yang terletaknya di Desa Banjaratma atau sekitar 5 kilometer sebelah barat kota Brebes, mulai beroperasi pada 1913. Keberadaannya dulu menjadi lapangan pekerjaan bagi sebagian warga desa.
Dikutip dari situs Kemendikbud.go.id, Pabrik Gula Banjaratma dalam peta Dutch Colonial Maps tahun 1918 tertulis sebagai Station Banjaratma. Ini berarti, tempat ini tidak hanya memproduksi gula, tapi juga berfungsi sebagai Proefstations atau stasiun pengujian. Pabrik Gula Banjaratma dijadikan tempat penelitian ilmiah budidaya dan proses produksi gula sehingga memperoleh hasil maksimal.
Adalah Gerrit Jan Mulder, seorang penasihat pemerintah Belanda, yang mengenalkan stasiun pengujian ini pada 1948. Menurutnya, dalam memproduksi gula secara maksimal, maka yang dibutuhkan adalah teknologi yang paling optimal buka paling modern. Teknologi harus menyesuaikan situasi di Pulau Jawa. Dari hasil kajian, teknologi yang paling optimal di Jawa adalah menggunakan bahan bakar air sebagai penggerak mesin uap.
Tidak menggunakan teknologi modern yang menggunakan bahan bakar kayu dan batu bara yang mahal untuk menggerakkan mesin uap adalah keputusan tepat. Selain lebih ekonomis, produktivitas Pabrik Gula Banjaratma yang tergolong berusia paling muda dibanding pabrik gula lain di Jawa Tengah, juga paling tinggi.
Pabrik Gula Banjaratma yang berdiri di atas lahan seluas 25 hektare memiliki organisasi ruang atau struktur ruang yang membentuk suatu sistem atau sirkulasi tertentu. Bangunan di kompleks pabrik gula ini meliputi gedung pabrik, perumahan pegawai, dan rumah administratur pabrik (Besaran), dan lahan perkebunan tebu. Keseluruhan ruang tersebut mendukung proses produksi dari tebu menjadi gula di pabrik tersebut.
Melemahnya cengkeraman pemerintah kolonial Belanda di Bumi Nusantara hingga akhirnya Indonesia merdeka kemudian memengaruhi kelangsungan pabrik-pabrik gula di Pulau Jawa. Pasokan tebu sebagai bahan baku utama gula menurun seiring dengan tidak adanya lagi sistem tanam paksa seperti yang dilakukan Belanda. Ditambah biaya operasional yang tinggi, pabrik-pabrik gula di Pulau Jawa akhirnya satu per satu tutup.
Setelah melakukan beragam terobosan, Pabrik Gula Banjaratma akhirnya juga tidak bisa bertahan. Pabrik ini terpaksa ditutup pada 1998 setelah melakukan produksi terakhir pada 1997. Penutupan ini berbarengan dengan empat pabrik gula lainnya di Jawa Tengah, yakni Pabri Gula Kalibagor, Banyumas; Pabrik Gula Cepiring, Kendal; Pabrik Gula Ceper Baru, Klaten; dan Pabrik Gula Colomadu, Karanganyar.
Penutupan pabrik lalu diikuti dengan pengosongan bangunan-bangunan yang ada di kompleks Pabrik Gula Banjaratma. Mesin dan peralatan yang masih bisa digunakan dipindahkan ke pabrik gula lainnya. Adapun yang sudah mangkrak dilelang ke pihak ketiga. Karena itu, kini yang tersisa di kompleks Pabrik Gula Banjaratma nyaris hanya lahan dan bangunan tua. Kompleks ini bertahun-tahun dibiarkan begitu saja tanpa ada perawatan, sehingga memunculkan kesan angker.
Jadi Rest Area Tol Trans Jawa
Situasi berubah ketika sebagian lahan Pabrik Gula Banjaratma terkena dampak jalan tol Trans Jawa pada 2016. Letak bangunan utama pabrik sangat dekat dengan jalan bebas hambatan tersebut. Awalnya ada penolakan jalan tol yang disampaikan masyarakat karena khawatir akan mempengaruhi gedung bekas Pabrik Gula Banjaratma yang telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.
Kekhawatiran tersebut lalu dijawab pemerintah dengan memugarnya dan disulap menjadi rest area tol. Pemerintah mengklaim, Rest Area KM 260 B di ruas tol Pejagan-Pemalang itu akan menjadi yang terbaik di Indonesia. Tempat istirahat pengguna jalan ini menawarkan eksotisme bangunan dan kuliner khas yang tidak bisa ditemui di rest area lainya.
Proses renovasi gedung bekas Pabrik Gula Banjaratma tidak gampang. Sebab harus taat pada nilai-nilai sejarah, salah satunya tidak boleh mengubah nilai artistik dan esensi awal bangunan cagar budaya ini. Terlebih pada masanya, PG Banjaratma ini sekaligus menjadi tempat penelitian atau proefstations.
Meski proses pemugaran belum sepenuhnya selesai, tapi rest area KM 260 B di ruas tol Pejagan-Pemalang ini memang beda. Pengunjung nantinya akan merasakan seperti menelusuri perjalanan pembuatan gula pada masa lalu. Di tempat ini ada bekas-bekas ruang dan peralatan, dari tungku, mesin "roda gila" dan lorong-lorong bekas pencipta uap, mengingat pabrik gula ini dulunya menggunakan teknologi uap air bukan kayu maupun batubara.
Di rest area seluas 11 hektare ini nantinya akan ada 64 stan UMKM dan 52 stan usaha kategori besar. Sejumlah fasilitas yang dibangun adalah SPBU, masjid, bengkel, klinik, parkir kendaraan kecil dan berat. Dengan disulap menjadi rest area ini diharapkan bekas Pabrik Gula Banjaratma kembali bangkit meski dalam format usaha berbeda.
*Diolah dari berbagai sumber
(amm)