Peristiwa Cimareme, Mengenang Perjuangan H Hasan

Jum'at, 01 Agustus 2014 - 05:05 WIB
Peristiwa Cimareme,...
Peristiwa Cimareme, Mengenang Perjuangan H Hasan
A A A
PERISTIWA Cimareme yang terjadi 95 tahun lalu, sudah banyak dilupakan. Bahkan banyak mengalami distorsi sejarah. Penulisan peristiwa ini dalam cerita pagi merupakan satu upaya untuk mengenang kembali peristiwa itu.

Adapun hal penting yang ingin dikemukakan dalam penulisan ini adalah dampak kebijakan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, dan protes H Hasan dari Kampung Cimareme, Desa Cikendal, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut yang mempertahankan tanahnya, dari tangan kolonial Belanda. Peristiwa ini menjadi penting, karena membawa pengaruh besar dalam permulaan abad ke-20.

Haji Hasan merupakan tokoh utama dalam Peristiwa Cimareme tahun 1919. Dia merupakan keturunan Kesultanan Banten dari ayahnya Kiyai Tubagus Alpani. Ibunya Djamilah merupakan putri R Kartaningrat, pendiri Pondok Pesantren Cimareme.

Sejak muda, H Hasan sudah sangat disegani oleh warga sekitar. Dia mengajar ilmu agama, membekali para santrinya dengan ilmu silat, dan sangat peduli dengan olahraga. Dia mendirikan perkumpulan pencak silat dan sepakbola. Dia juga melek dengan politik dan bergabung dengan perkumpulan Goena Perlaja yang dipimpin oleh Kiayi Abdullah dari Tegalgubuk Cirebon.

Goena Perlaja adalah pusat gerakan revolusioner yang memiliki tujuan yang sama dengan Serikat Islam (SI) Afdeling B. Perkumpulan ini diperkirakan mempunyai hubungan dengan beberapa tokoh seperti Surjopranoto, Ketua Adhi Dharma (Serikat Buruh Gula), Semaun dari ISDV, Alimin dan Abdul Muis dari SI Batavia, serta Sanusi dari Bandung.

Saat Peraturan Pembelian Padi diberlakukan pada 17 Maret 1919, H Hasan sudah melakukan penolakan. Dasar penolakannya bukan semata-mata faktor ekonomi, tetapi karena kebenciannya terhadap orang Belanda. Sikap bermusuhan itu sudah tertanam sejak dia masih kecil. Bapaknya selalu mengajarinya untuk menjaga jarak dengan orang Belanda dan kaki tangannya.

Bahkan pernah suatu kali, H Hasan ditawari jabatan resmi oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda sebagai tokoh agama, tetapi ditolaknya. Penolakan ini membekas dalam hati para pejabat pemerintah kolonial setempat.

Protes pertama H Hasan dilakukan saat Wedana Leles datang ke rumah H Hasan bersama Lurah Cikendal. Saat itu, kedua pejabat pemerintah kolonial ini ingin membayar uang muka pembelian padi milik H Hasan sebanyak 40 pikul. Tetapi uang itu ditolak, karena H Hasan hanya bersedia menjual padinya kepada pemerintah sebanyak 10 pikul.

Keberanian H Hasan menolak uang dari pejabat Pemerintah Kolonial Hindia Belanda dibalas dengan sikap arogan. Wedana Leles yang emosi mengancam akan mendatangkan pejabat pemerintah dan pasukan bersenjata lengkap untuk menyita sawah H Hasan.

Setelah kedua orang itu pulang, keesokan harinya H Hasan mengirimkan surat kepada Wedana Leles dan menanyakan kebijakan pemerintah membeli 40 pikul padi miliknya, dan rencana mendatangkan pejabat pemerintah dan serdadu bersenjata untuk menyita seluruh tanah miliknya. Namun surat itu tidak pernah dibalas. Bahkan setelah dia mengirim utusan ke Wedana Leles.

Klimak kedua perlawanan H Hasan adalah saat juru tulis pemerintah kolonial mengabarkan bahkan H Hasan tidak menjual padinya di tempat-tempat yang telah ditentukan, serta adanya orang-orang berpakaian putih bersenjata tajam.

Sebagai balasan atas sikap H Hasan, pada 4 Juli 1919, asisten wedana memerintahkan pejabat sekitar dengan membawa tentara Belanda bersenjata lengkap untuk menangkap H Hasan. Di waktu yang sama, H Hasan kembali mengirimkan surat dengan pertanyaan yang sama kepada asisten residen. Isi surat sama dengan yang pertama, terkait rencana penyitaan tanah miliknya.

Kabar akan ditangkapnya H Hasan membuat gempar Garut. Banyak pendukung SI Afdeling B yang merencanakan pemberontakan dan warga yang bersimpati dengan protes H Hasan, ikut datang ke rumah H Hasan. Jumlah mereka mencapai ribuan.

Banyaknya para pendukung H Hasan ini membuat penangkapan tanggal 4 Juli 1949 itu ditunda. Akhirnya, untuk pertama kalinya, H Hasan mengetahui setelah berunding dengan asisten wedana bahwa semua permintaannya dalam surat pertama dan kedua tidak dikabulkan. Dari situ, H Hasan terus menggalang dukungan di lingkungan keluarganya untuk perang sabil.

Pada hari Sabtu 6 Juli 1919, sekitar jam 12.30 WIB, sebanyak 40 orang infantri di bawah pimpinan Mayor Van Der Bie dan Letnan Hillen berangkat ke Garut. Mereka hendak melakukan penangkapan terhadap H Hasan. Pasukan bersenjata dari Tasikmalaya yang berjumlah 30 orang di bawah pimpinan Komandan Raes juga ikut diterjunkan.

Sehari kemudian, Senin 7 Juli 1919, rombongan bersenjata ini berangkat ke Cimareme. Di antara rombongan itu ikut hadir Patih Garut, Wedana Bangbulang, Wedana Tarogong, Kepala Penghulu Garut, Wakil Kepala Penghulu Garut, penasihat agama Garut, Camat Kadungkora, dan Camat Nangkaruka. Para pejabat kolonial ini membawa serta agen polisi bersenjata.

Setelah sampai di rumah H Hasan, Patih memerintahkan agar dia segera keluar. Tidak lama kemudian, H Hasan keluar dengan diikuti H Gadjali dan 13 orang pengikutnya. Jumlah mereka mencapai 40 orang, semuanya laki-laki dan berpakaian serba putih dengan senjata dipinggang, seperti kapak, keris dan kelewang.

Kemudian mereka duduk di tanah, dan Patih berbicara dengan ramah meminta agar H Hasan ikut ke Garut, agar masalahnya dapat diurus dengan baik. Akan tetapi H Hasan menolak ajakan itu dengan tenang. Dia sudah tahu akal bulus Belanda.

Kepada Patih, dia mengatakan dengan pelan, bahwa dia dan pengikutnya tidak akan tunduk pada perintah Belanda, karena Wedana Leles sebelumnya pernah mengatakan akan mengepung rumahnya dengan serdadu bersenjata lengkap dan akan menyita tanah pertanian keluarganya, kemudian menangkapnya. Keterangan H Hasan ini didengar banyak warga yang hadir saat itu.

Kerumuman warga yang berkumpul di sekitar rumah H Hasan, semakin banyak. Suasana menjadi sangat tegang. Saat negosiasi antara pejabat kolonial dengan H Hasan tidak menemukan kesepakatan, H Hasan dan pengikutnya masuk ke dalam rumah.

Namun, saat H Hasan masuk, pengikutnya yang bernama H Gadjali ditarik seorang opas. Serentak, H Hasan dan pengikutnya yang berada di dalam langsung meutup pintu dan jendela rapat-rapat. Mereka kemudian menggelar zikir. Suaranya zikirnya semakin keras, bahkan saat bupati meminta H Hasan segera keluar. Setelah berkali-kali meminta tidak didengar, serdadu bergerak.

Setelah satu jam menunggu, tiba-tiba H Hasan keluar, namun bukan untuk menyerahkan diri, tetapi memaki para pejabat pemerintah kolonial, lalu masuk kembali ke dalam rumah. Sekali lagi, H Gadjali diperintahkan oleh Bupati untuk masuk kedalam rumah, namun malah tidak keluar lagi. Bahkan semua pintu dan jendela dikunci dari dalam.

Di dalam rumah mereka terus berzikir. Karena diplomasi berjalan buntu, akhirnya tentara Belanda menembakkan salvonya ke atas rumah. Tetapi suara zikir semakin kencang. Kemudian salvo diarahkan ke genting. Lalu terakhir ke pintu dan jendela.

Setelah tembakan ketiga, orang-orang yang berada di dalam rumah berhenti berzikir. Suasana tiba-tiba menjadi hening. Kemudian, terdengar ratap tangis wanita dan anak-anak. Pintu rumah lalu dibuka paksa, dan H Hasan ditemukan tewas bersimbah darah. Kepalanya yang diikat dengan jimat, tertembus peluru. Begitu juga dengan beberapa pengikutnya tewas.

Untuk menunjukkan kepada seluruh warga yang menyaksikan kejadian itu, maka semua korban yang tewas dipenggal kepalanya. Hal ini seiabagi peringatan bagi yang melawan pemerintah kolonial.

Seorang Pimpinan Pusat Pusat Lekra yang Sugiarti Siswadi dalam Kumpulan Cerpen dan Puisi Gelora Api 26 menggambarkan dengan sangat dramatis peristiwa pembunuhan H Hasan dan anggota keluarganya dalam bentuk puisi. Berikut puisi Sugiarti:

Darah siapakah yang menggenang merah
Membasahi bumi Priangan?
Ah, itulah darah H. Hasan
Dipotong, seanak bininya
Konon, apakah H. Hasan seorang perampok?
Ah H. Hasan hanya mempertahankan sejengkal tanah
Beberapa pikul padi dan bakul beras, mempertahankan anak bininya
Tetapi lehernya dipenggal, sekeluarga menemui ajal,
Dan darah menggenang merah,
Dan si perampok berkulit putih, mengamangkan goloknya,
Ditengah perjalanan sejarah
Ia haus darah, haus darah…


Sebagain besar bahan dalam tulisan ini diambil dari tesis Chusnul Hayati yang telah dibukukan dengan judul Peristiwa Cimareme 1919: Perlawanan H Hasan terhadap Peraturan Pembelian Padi, diterbitkan atas kerjasama Mimbar, Ikapi, dan The Ford Foundation, tahun 2000, dan http://arie-widodo.blogspot.com.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1271 seconds (0.1#10.140)