Amerika terkecoh isu komunis di Timor Timur

Kamis, 10 Oktober 2013 - 07:23 WIB
Amerika terkecoh isu komunis di Timor Timur
Amerika terkecoh isu komunis di Timor Timur
A A A
PERANG bagi warga Timor Lorosae bukan hal baru. Di telinga orang Timor Timur, perang adalah pemandangan yang sudah biasa dilihat dengan indera mata.

Bunyi mesiu yang diletuskan dari senjata, bak kicau burung hantu di pagi dan malam hari. Ya, pemandangan itu pula yang pernah terjadi pada saat revolusi bunga tahun 1959. Peperangan hebat kala itu terjadi melawan penjajahan Portugal, meninggalkan wilayah jajahannya dalam kondisi memprihatinkan.

Pemandangan kedua, terjadi pada tahun 1975. Perang seakan tak pernah berkesudahan. Sejarah baru lahir ketika mayoritas masyarakat memilih untuk berintegrasi dengan Indonesia, melalui sebuah piagam kesepakatan yang bernama Deklarasi Balibo tahun 1975.

Pertikaian dan perang saudara yang berkecamuk di Timor Timur ibarat kobaran api yang harus segera dipadamkan, kata Menlu RI Adam Malik. Keterlibatan tentara Indonesia dinilai sebagai upaya pemadaman api agar tidak berkobar hingga merambat ke wilayah Indonesia.

Pernyataan Adam Malik ini untuk meyakinkan PBB, tentang keterlibatan militer Indonesia di Timor Timur. Dalam waktu yang sama, ketegangan melanda Blok Barat yang disponsori Amerika Serikat dan sekutu NATO, dengan Blok Timur yang dipimpin Uni Soviet dengan paham komunisnya.

Ketegangan ini dimanfaatkan Presiden Soeharto untuk meminta dukungan Amerika Serikat. Kepiawaian mantan penguasa Orde Baru ini mampu melumat Presiden Jimmy Carter. Soeharto tahu arah politik Blok Barat yang antikomunis. Karena itu, isu yang diangkat mengenai Timor Timur adalah bahaya paham komunis yang merambah ke Asia Tenggara, termasuk Timor Timur.

Soeharto meyakinkan Amerika, bahwa perang yang terjadi di Timor Timur sebagai akibat melebarnya paham tersebut. Amerika kemudian memberikan dukungan penuh kepada invasi militer Indonesia di Timor Timur, sebagai upaya untuk memberantas komunis.

Amerika bahkan memberikan bantuan berupa persenjataan. Selain Amerika, Australia juga memberikan dukungan itu. Amerika Serikat dan Australia "merestui" tindakan Indonesia, karena takut Timor Leste menjadi kantong komunisme terutama, karena kekuatan utama di perang saudara Timor Leste adalah Fretilin yang beraliran Marxis-Komunis.

AS dan Australia khawatir akan efek domino meluasnya pengaruh komunisme di Asia Tenggara, termasuk Indonesia setelah AS lari terbirit-birit dari Vietnam dengan jatuhnya Saigon atau Ho Chi Minh City.

Keyakinan Amerika dilandasi Revolusi Bunga di Portugal pada tahun 1975. Gubernur Portugal di Timor Leste Lemos Pires, sempat meminta bantuan Pemerintah Pusat di Portugal untuk mengirimkan bala bantuan ke Timor Leste yang sedang terjadi perang saudara. Sepeninggal Portugal dari bumi Timor Lorosae, Fretilin mengendalikan pemerintahan di Timor Leste.

Menurut suatu laporan resmi dari PBB, selama berkuasa selama tiga bulan ketika terjadi kevakuman pemerintahan di Timor Leste antara bulan September, Oktober dan November, Fretilin melakukan pembantaian terhadap sekitar 60.000 penduduk sipil (sebagian besarnya adalah pendukung faksi integrasi dengan Indonesia).

Dalam sebuah wawancara pada tanggal 5 April 1977 dengan Sydney Morning Herald, Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik mengatakan bahwa "jumlah korban tewas berjumlah 50.000 orang atau mungkin 80.000".

Tidak lama kemudian, kelompok pro-integrasi mendeklarasikan integrasi dengan Indonesia pada 30 November 1975 dan kemudian meminta dukungan Indonesia untuk mengambil alih Timor Leste dari kekuasaan Fretilin yang berhaluan komunis.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0751 seconds (0.1#10.140)