Misteri Dibalik Tarian Reog Ponorogo
A
A
A
Pagelaran seni Reog Ponorogo sudah terkenal hingga ke mancanegara. Reog menjadi kesenian yang memiliki nilai-nilai luhur kebudayaan dan tradisi masyarakat Ponorogo. Tak heran, setiap pementasannya selalu dipenuhi warga yang ingin menikmati tarian ini.
Pementasan Reog Ponorogo kerap dilakukan rutin di Monumen Bantarangin, Desa Somoroto, Kecamatan Kauman. Lokasi ini diyakini warga setempat sebagai cikal bakal lahirnya reog. Di lokasi ini, pementasan dilakukan sebanyak enam kali dalam setahun dengan jadwal tertentu yang disesuaikan dengan kegiatan warga.
Asal mula Reog Ponorogo dilatarbelakangi oleh kisah perjalanan Raja Kerajaan Bantarangin, yaitu Prabu Kelono Sewandono saat akan meminang Dewi Songgo Langit sebagai calon permaisurinya pada tahun 900 Saka. Calon permaisuri yang bernama Dewi Songgo Langit adalah putri Kerajaan Kediri.
Dalam versi Bantarangin diceritakan ketika dilamar oleh Prabu Kelono Sewandono, Dewi Songgo Langit mengajukan syarat yang cukup berat, yaitu calon suaminya harus mampu menghadirkan suatu tontonan yang menarik.
Tontonan atau keramaian yang belum ada sebelumnya. Semacam tarian yang diiringi tabuhan dan gamelan. Dilengkapi dengan barisan kuda kembar sebanyak seratus empat puluh ekor dan harus dapat menghadirkan binatang berkepala dua.
Syarat yang diajukan Dewi Songgo Langit ini merupakan penolakan secara halus sang putri karena walaupun Kelono Sewandono adalah seorang raja yang berwajah tampan dan gagah, namun punya kebiasaan aneh, suka pada anak laki-laki. Anak laki-laki itu dianggapnya sebagai gadis-gadis cantik.
Kebiasaan aneh Kelono Sewandono sang raja Bantarangin ini diyakini oleh bisa dihentikan jika sang raja memperistri Dewi Songgo Langit. Hal ini didapat dalam mimpi Kelono Sewandono.
Disebutkan selain Prabu Kelono Sewandono, Singabarong dari Raja dari Kerajaan Lodaya juga menaruh hati kepada Dewi Songgo Langit.
Diceritakan, Raja Singabarong adalah manusia yang aneh. Dia seorang manusia yang berkepala harimau yang berwatak buas dan kejam. Karenanya syarat yang diminta sang putri sangat sulit untuk diwujudkan.
Namun baik Singabarong maupun Kelono Sewandono yang memiliki kedigjayaan mulai mengerahkan kesaktiannya dan para anak buahnya untuk menciptakan tontonan yang menarik serta mendapatkan seekor binatang berkepala dua.
Namun pekerjaan itu ternyata tidak mudah. Kuda kembar sudah dapat dikumpulkan, namun tontonan dengan kreasi baru belum tercipta, demikian pulabelum didapatkan.
Singabarong kemudian mencari tahu apa saingannya Kelono Sewandono sudah dapat menciptakan tontonan dengan kreasi baru dan binatang berkepala dua. Berdasarkan informasi yang didapat dari patih Kerajaan Lodaya didapat informasi jika Prabu Kelono Sewandono hampir berhasil mewujudkan permintaan Dewi Songgolangit dan bermaksud mendatangi Kerajaan Kediri tempat sang dewi berada.
Maka Singabarong pun bermaksud menghadang Pasukan Bantarangin yang dipimpin oleh Kelono Sewandono. Sehingga pertempuran pun pecah Singobarong berubah wujud menjadi singa yang sangat besar dan berhasil memukul mundur pasukan Bantarangin.
Namun akhirnya Singobarong takluk setelah dihantam dengan senjata andalan Prabu Kelono Sewandono yang bernama Pecut Samandiman.
Sehingga kisah perjalanan Raja Kerajaan Bantarangin Prabu Kelono Sewandono saat akan meminang Dewi Songgo Langit sampai bertemu dengan Singobarong dikenal dengan kesenian Reog Ponorogo.
Di mana kesenian reog yang diawali dengan hadirnya sekelompok warok yang dilakonkan para penari berbaju serba hitam atau kadang dengan dada terbuka sedang melakukan olah kanuragan alias kesaktian.
Selanjutnya hadir para jathil yang merupakan gambaran para prajurit berkuda. Mereka merefleksikan pasukan dari Kerajaan Bantarangin yang dipersiapkan untuk berangkat menuju Kerajaan Kediri. Mereka akan mengawal rajanya, Prabu Kelono Sewandono yang akan meminang putri ayu Kerajaan Kediri pujaan para raja dan pangeran di masa tersebut, Dewi Songgo Langit.
Berikutnya muncul penari bertopeng yang merupakan gambaran patih kerajaan Bantarangin, Pujangga Anom alias Bujang Ganong. Gerakannya sangat khas, sebutannya Ganongan. Sang patih digambarkan sebagia orang yang lincah dengan tingkah sangat enerjik. Ia berlompatan ke sana ke mari dengan gerakan akrobatik.
Prabu Kelono Sewandono sendiri hadir di tengah pergelaran. Umumnya dengan diiringi tembang yang menggambarkan percakapan antara sang raja dengan patihnya. Puncaknya adalah munculnya Singobarong atau Dhadhak Merak. Yaitu makhluk berkepala singa yang sangat besar dengan bulu merak yang tertata mirip kipas di atas kepalanya.
Singobarong atau Dhadhak Merak yang beratnya bisa mencapai 50 kilogram ini diakui sebagai topeng terbesar dan terberat di dunia. Sebagai pethilan atau potongan tari, penampilan Singobarong merupakan tari topeng terbesar di dunia saat ini. Cara memainannya juga terhitung unik, yaitu dengan mengigit bagian belakang topeng ini. Ada ritual khusus yang dilakukan sebelum memainkan Singobarong ini.
Di luar versi ini, ada dua hingga tiga versi cerita yang melatarbelakangi tarian ini. Semua memiliki dasar pemikiran yang berbeda sebab tujuan penyajiannya juga berbeda. Satu versi yang cukup terkenal adalah versi Ki Ageng Kutu.
Dalam sejumlah referensi disebutkan, tarian reog versi ini adalah sebuah sindiran penciptanya, Ki Ageng Kutu terhadap penguasa saat itu, Bhre Kertabumi, Raja Majapahit generasi terakhir.
Dhadhak Merak merupakan simbol dari penguasa yang dikuasai permaisurinya yang berasal dari Tiongkok yang digambarkan oleh bulu merak. Bahkan secara umum, sindiran ini ditujukan kepada penguasa yang korup di masa itu, yang dengan mudah disetir para tengkulak dan rekan bisnis dari Tiongkok.
Pementasan Reog Ponorogo kerap dilakukan rutin di Monumen Bantarangin, Desa Somoroto, Kecamatan Kauman. Lokasi ini diyakini warga setempat sebagai cikal bakal lahirnya reog. Di lokasi ini, pementasan dilakukan sebanyak enam kali dalam setahun dengan jadwal tertentu yang disesuaikan dengan kegiatan warga.
Asal mula Reog Ponorogo dilatarbelakangi oleh kisah perjalanan Raja Kerajaan Bantarangin, yaitu Prabu Kelono Sewandono saat akan meminang Dewi Songgo Langit sebagai calon permaisurinya pada tahun 900 Saka. Calon permaisuri yang bernama Dewi Songgo Langit adalah putri Kerajaan Kediri.
Dalam versi Bantarangin diceritakan ketika dilamar oleh Prabu Kelono Sewandono, Dewi Songgo Langit mengajukan syarat yang cukup berat, yaitu calon suaminya harus mampu menghadirkan suatu tontonan yang menarik.
Tontonan atau keramaian yang belum ada sebelumnya. Semacam tarian yang diiringi tabuhan dan gamelan. Dilengkapi dengan barisan kuda kembar sebanyak seratus empat puluh ekor dan harus dapat menghadirkan binatang berkepala dua.
Syarat yang diajukan Dewi Songgo Langit ini merupakan penolakan secara halus sang putri karena walaupun Kelono Sewandono adalah seorang raja yang berwajah tampan dan gagah, namun punya kebiasaan aneh, suka pada anak laki-laki. Anak laki-laki itu dianggapnya sebagai gadis-gadis cantik.
Kebiasaan aneh Kelono Sewandono sang raja Bantarangin ini diyakini oleh bisa dihentikan jika sang raja memperistri Dewi Songgo Langit. Hal ini didapat dalam mimpi Kelono Sewandono.
Disebutkan selain Prabu Kelono Sewandono, Singabarong dari Raja dari Kerajaan Lodaya juga menaruh hati kepada Dewi Songgo Langit.
Diceritakan, Raja Singabarong adalah manusia yang aneh. Dia seorang manusia yang berkepala harimau yang berwatak buas dan kejam. Karenanya syarat yang diminta sang putri sangat sulit untuk diwujudkan.
Namun baik Singabarong maupun Kelono Sewandono yang memiliki kedigjayaan mulai mengerahkan kesaktiannya dan para anak buahnya untuk menciptakan tontonan yang menarik serta mendapatkan seekor binatang berkepala dua.
Namun pekerjaan itu ternyata tidak mudah. Kuda kembar sudah dapat dikumpulkan, namun tontonan dengan kreasi baru belum tercipta, demikian pulabelum didapatkan.
Singabarong kemudian mencari tahu apa saingannya Kelono Sewandono sudah dapat menciptakan tontonan dengan kreasi baru dan binatang berkepala dua. Berdasarkan informasi yang didapat dari patih Kerajaan Lodaya didapat informasi jika Prabu Kelono Sewandono hampir berhasil mewujudkan permintaan Dewi Songgolangit dan bermaksud mendatangi Kerajaan Kediri tempat sang dewi berada.
Maka Singabarong pun bermaksud menghadang Pasukan Bantarangin yang dipimpin oleh Kelono Sewandono. Sehingga pertempuran pun pecah Singobarong berubah wujud menjadi singa yang sangat besar dan berhasil memukul mundur pasukan Bantarangin.
Namun akhirnya Singobarong takluk setelah dihantam dengan senjata andalan Prabu Kelono Sewandono yang bernama Pecut Samandiman.
Sehingga kisah perjalanan Raja Kerajaan Bantarangin Prabu Kelono Sewandono saat akan meminang Dewi Songgo Langit sampai bertemu dengan Singobarong dikenal dengan kesenian Reog Ponorogo.
Di mana kesenian reog yang diawali dengan hadirnya sekelompok warok yang dilakonkan para penari berbaju serba hitam atau kadang dengan dada terbuka sedang melakukan olah kanuragan alias kesaktian.
Selanjutnya hadir para jathil yang merupakan gambaran para prajurit berkuda. Mereka merefleksikan pasukan dari Kerajaan Bantarangin yang dipersiapkan untuk berangkat menuju Kerajaan Kediri. Mereka akan mengawal rajanya, Prabu Kelono Sewandono yang akan meminang putri ayu Kerajaan Kediri pujaan para raja dan pangeran di masa tersebut, Dewi Songgo Langit.
Berikutnya muncul penari bertopeng yang merupakan gambaran patih kerajaan Bantarangin, Pujangga Anom alias Bujang Ganong. Gerakannya sangat khas, sebutannya Ganongan. Sang patih digambarkan sebagia orang yang lincah dengan tingkah sangat enerjik. Ia berlompatan ke sana ke mari dengan gerakan akrobatik.
Prabu Kelono Sewandono sendiri hadir di tengah pergelaran. Umumnya dengan diiringi tembang yang menggambarkan percakapan antara sang raja dengan patihnya. Puncaknya adalah munculnya Singobarong atau Dhadhak Merak. Yaitu makhluk berkepala singa yang sangat besar dengan bulu merak yang tertata mirip kipas di atas kepalanya.
Singobarong atau Dhadhak Merak yang beratnya bisa mencapai 50 kilogram ini diakui sebagai topeng terbesar dan terberat di dunia. Sebagai pethilan atau potongan tari, penampilan Singobarong merupakan tari topeng terbesar di dunia saat ini. Cara memainannya juga terhitung unik, yaitu dengan mengigit bagian belakang topeng ini. Ada ritual khusus yang dilakukan sebelum memainkan Singobarong ini.
Di luar versi ini, ada dua hingga tiga versi cerita yang melatarbelakangi tarian ini. Semua memiliki dasar pemikiran yang berbeda sebab tujuan penyajiannya juga berbeda. Satu versi yang cukup terkenal adalah versi Ki Ageng Kutu.
Dalam sejumlah referensi disebutkan, tarian reog versi ini adalah sebuah sindiran penciptanya, Ki Ageng Kutu terhadap penguasa saat itu, Bhre Kertabumi, Raja Majapahit generasi terakhir.
Dhadhak Merak merupakan simbol dari penguasa yang dikuasai permaisurinya yang berasal dari Tiongkok yang digambarkan oleh bulu merak. Bahkan secara umum, sindiran ini ditujukan kepada penguasa yang korup di masa itu, yang dengan mudah disetir para tengkulak dan rekan bisnis dari Tiongkok.
(sms)