Jejak Soekarno, Alimin, dan Musso di Rumah Tjokroaminoto

Sabtu, 14 November 2015 - 05:00 WIB
Jejak Soekarno, Alimin, dan Musso di Rumah Tjokroaminoto
Jejak Soekarno, Alimin, dan Musso di Rumah Tjokroaminoto
A A A
KAMPUNG Peneleh VII tak ubahnya seperti sebuah pabrik. Di sana, bahan baku pahlawan ditempa menjadi motor gerakan dan perjuang yang tak kenal lelah. Bibit-bibit pahlawan itu diolah menjadi sosok yang progresif, militan, dan bersahaja. Pemuda seperti Soekarno, Semaoen, Alimin, Musso atau Muso, dan Kartosoewirjo merasakan "panasnya" didikan nasionalisme di Kampung Peneleh.

Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto merupakan tuan rumah yang memegang kendali di Kampung Peneleh. Ia dikenal dengan pidato yang menyentuh hati untuk menggerakkan massa, peracik siasat yang jitu, serta bapak pergerakan nasional yang ulung.

Rumahnya yang dicat putih kombinasi kuning dengan pagar hijau tetap abadi sampai sekarang. Pagi cerah di tanggal 10 November 2015 begitu berarti di gang paling tersohor di Kota Pahlawan, Surabaya.

Bendera Merah Putih tetap berkibar tepat di depan rumah itu. Dua jendela kayu yang ada di samping kanan dan kiri bangunan rumah dibiarkan terbuka. Angin yang sejuk sengaja dibiarkan masuk untuk merayap di sela-sela dinding yang tetap kokoh.

Dua pot bunga yang diletakkan tepat di depan pagar terlihat hijau. Menegaskan warna cat pagar yang tetap dalam balutan yang sama. Dalam teropong waktu, rumah Tjokroaminoto itu tak bisa dianggap biasa. Semua gagasan kemerdekaan meluncur dengan meriah di tiap sekat rumah.

Kampung Peneleh menjadi markas utama bagi Tjokroaminoto untuk membakar semangat bangsa Indonesia melawan kolonial. Ketika dirinya memutuskan untuk menentang karakter feodal, Tjokroaminoto memilih jalan di luar kemapanan.

Keputusannya berhenti sebagai birokrat, yang waktu itu jadi juru tulis Patih Ngawi memberikan jalan sejarah yang panjang. Orasinya menggelegar, mampu menggetarkan ratusan ribu orang untuk angkat senjata dan berjuang bersama.

Rumah Tjokroaminoto tak begitu luas, ada ruang tamu yang di dalamnya terdapat kursi terbuat dari kayu jati. Bagian depan rumah didiami Tjokroaminoto bersama istrinya Soeharsikin serta empat anaknya Oetari, Oetarjo Anwar, Harsono, dan Sujud Ahmad.

Sementara bagian belakang dibuat kamar-kamar berukuran kecil yang ditepati para tokoh pergerakan.

Muso dan Alimin paling beruntung daripada anak kos lainnya. Sebab, kedatangannya lebih awal, makanya mereka berdua menempati kamar di bagian depan yang ukurannya lebih besar.

Sementara, Proklamator Indonesia Soekarno merupakan anak kos terakhir yang kebagian kamar paling belakang, paling sempit, dan paling panas.

Tak ada jendela di kamar itu, tak ada lampu, tak ada kasur, dan tak ada bantal untuk tidur. Hanya ada dinding bisu dan lantai yang dingin ketika malam hari.

Pada kamar yang sempit itu, Soekarno membentuk dirinya menjadi singa podium. Sebuah cermin di kamar kos yang gelap tanpa lampu penerangan melatih Putra Sang Fajar untuk menggerakkan massa melawan penjajah.

Di depan cermin yang menempel di kamar kos Soekarno, tepatnya di bagian paling belakang rumah Tjokroaminoto telah menjadikan suara-suara perlawanan yang sampai kini masih terdengar nyaring di telinga bangsa Indonesia.

Alimin dan Muso pun demikian. Mereka merasakan betul gesekan intelektual dan gagasan gila kemerdekaan di Kampung Peneleh. Di kamar mereka, tumpukan buku-buku kiri memenuhi sudut ruangan. Kamar itu seketika menjadi dapur Marxis dan Hegelian.

Keduanya pun memperkenalkan konsep pemikiran kiri dari buku-buku yang dibaca di kamar-kamar Kampung Peneleh. Soekarno sendiri dalam ceritanya sempat mengaku kalau dirinya dikenalkan pemikiran kiri oleh teman kosnya, Alimin.

Tiap malam, di Kampung Peneleh diskusi selalu digelar. Tjokroaminoto memberikan kebebasan bagi penghuni kosnya untuk menelurkan gagasan kemerdekaan. Membumikan siasat perlawanan pada kolonial. Dalam satu diskusi mereka kerap melempar argumentasi dan gagasan yang dianggap tak biasa.

"Tak ada yang tersisa dari negeri ini, semua kekayaan petani dirampas," kata Alimin.

Tjokroaminoto pun langsung menjawab,"Bangsa kita hanya dijadikan sapi perah. Ereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) mencuri 180 juta gulden setiap dari negeri kita tercinta."

Perdebatan seperti itu hampir terjadi setiap malam di ruang tamu Kampung Peneleh. Tiap malam, para tokoh kemerdekaan tak pernah surut untuk datang ke Kampung Peneleh.
Tjokroaminoto yang menjadi simpul serta rotasi gerakan massa selalu didatangi para tokoh kemerdekaan. Melalui gerbong Sarekat Islam (SI), Tjokroaminoto menjadi motor gerakan massa pertama paling progresif di Indonesia saat itu.

Kebiasaan minum kopi sudah menjadi tradisi di Kampung Peneleh. Makanya cangkir kopi selalu tersaji di ruang tamu rumah Tjokroaminoto. Sebagian besar para tamu dan penghuni kos di rumah Tjokroaminoto memang gemar minum kopi sambil berdiskusi tentang strategi gerakan melawan penjajah.

Kampung Peneleh menjadi istana negara sebelum kemerdekaan itu tercapai. Kos-kosan itu pun bukan menjadi tempat tinggal para pelajar yang belajar di sekolah Belanda, tapi sudah menjadi ruang pemikiran banyak ide-ide perjuangan.

Pada beberapa kesempatan, tokoh-tokoh Islam juga datang ke Kampung Peneleh. Mereka adalah Ahmad Dahlan yang jadi pendiri organisasi Muhammadiyah. Berbagai haluan garis perjuangan bermuara satu di rumah nomor 29-31 tersebut. Selain berdiskusi tentang perjuangan dan penjajahan, Tjokroaminoto juga membentuk forum dakwah Ta'mirul Ghofilin.

Forum diskusi tiap malam di Peneleh mampu menempa pemuda seperti Soekarno, Muso, Semaun, Alimin dan Kartosoewirjo. Jendela kecil di ruang tamu telah membuka mata para pemuda itu untuk berbicara lantang di depan moncong senjata.

Soekarno menunjukkan itu dengan perlawanan di atas podium, Muso menggerakkan buruh kereta api untuk melawan Belanda, Alimin melakukan agitasi pada para petani untuk melawan demi kemakmuran.

Melalui gesekan pemikiran itu, Kampung Peneleh VII yang dipimpin Tjokroaminoto telah menciptakan berbagai tokoh nasional yang di kemudian hari memimpin Bangsa Indonesia.

Mereka memberikan warna pemikiran dan garis perjuangan yang berbeda. Soekarno membentuk Partai Nasional Indonesia (PNI), Muso dan Alimin berkolaborasi dalam membangun Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Kartosoewirjo memilih angkat senjata melalui gerakan Darul Islam.

Sampai sekarang, warga di sekitar rumahTjokroaminoto di Kampung Peneleh masih merasakan denyut diskusi dan sisa perjuangan panjang. Para warga juga memahami status kampungnya yang tersohor dalam kancah sejarah mencetak para pahlawan.

"Warga di sini juga selalu bangga kalau Soekarno pernah berinteraksi dan belajar berjuang di Peneleh," ujar Ketua RT II RW 14 Eko Hadiratno.

Rumah di Kampung Peneleh masih tetap utuh sampai sekarang. Setiap ruangan yang hampa di sana telah menciptakan para pendiri bangsa.

PILIHAN:
Tjokroaminoto, Raja Jawa Tanpa Mahkota

Kisah di Balik Nama Kabupaten Jombang
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4411 seconds (0.1#10.140)