Mpu Prapanca, Pujangga Majapahit yang Kesepian Akibat Hinaan Kaum Bangsawan
loading...
A
A
A
Mpu Prapañca dikenal sebagai pujangga sastra Jawa pada abad XIV atau zaman Majapahit . Prapanca yang juga disebut Dang Acarya Nadendra juga seorang mpu ternama pada masanya.
Empu Prapañca adalah nama samaran dari pujangga sastra Jawa yang hidup pada abad ke-14 pada zaman Majapahit dan kemungkinan selain pujangga juga merupakan mpu yang paling ternama pada masanya.
Namanya dikenal di Indonesia modern sebagai penulis Kakawin Nāgarakṛtâgama yang termasyhur. Meski namanya tak tersohor layaknya Sang Raja Hayam Wuruk, maupun Mahapatih Gajah Mada.
Tetapi, Mpu Prapanca memiliki peran penting dalam perjalanan Kerajaan Majapahit, hingga akhirnya kerajaan terbesar di Nusantara itu, terabadikan lewat karya sastranya.
Kitab Negarakertagama, yang memuat catatan tentang Majapahit, menjadi salah satu karya Mpu Prapanca yang termasyhur hingga kini. Bahkan, selalu menjadi referensi untuk mempelajari tentang peradaban di masa lalu.
Karya-karya sastranya, mencatat segala bentuk lika-liku kehidupan di masa Kerajaan Majapahit. Sejatinya ia bukanlah sastrawan tulen, melainkan juga sebagai pendeta agama Buddha.
Dikisahkan dalam buku "Menuju Puncak Kemegahan Sejarah Kerajaan Majapahit " karya Slamet Muljana, Prapanca adalah sosok pembesar agama Buddha di Kerajaan Majapahit, pada pemerintahan Raja Hayam Wuruk yang bergelar Rajasanagara tahun 1365 Masehi.
Namun di balik kegemilangan karyanya, Prapanca adalah sosok yang dikisahkan kesepian sepeninggal dari istana dan kota. Ia hidup canggung di sebuah dusun dan kerap merasa sedih.
Konon teman-temannya dahulu melupakannya, dan tidak pernah mengunjunginya. Prapanca merasa rugi, bahwa ia tidak dapat mendengar kata-kata dari baginda raja Majapahit.
Dikisahkan ia menolak tinggal di kota dan justru meninggalkannya untuk hidup di dusun, lantaran adanya hinaan kaum bangsawan. Demi Selamatkan Anak Hinaan yang dimaksud adalah fitnah dari kaum bangsawan yang menimpanya.
Fitnah itu membuatnya harus keluar dari istana, padahal sebelumnya menjadi pembesar agama Buddha di Kerajaan Majapahit. Fitnah dari kaum bangsawan ini, didengar oleh Raja Majapahit yang berakibat pemecatan sebagai kepala urusan agama Budha di Keraton Majapahit.
Namun belum diketahui siapa yang memfitnah Prapanca. Prapanca memilih untuk tinggal di dusun dan merasa kesepian. Hal ini diperparah dengan ketiadaan teman-temannya yang sama sekali tidak menjenguknya.
Baca: Mpu Raganata, Patih yang Membawa Kejayaan Singasari Namun Disingkirkan Raja Kertanagara.
Alhasil Prapanca memilih untuk bertapa menurut ajaran sang Buddha. Ia masuk ke dalam hutan untuk bertapa di lereng gunung. Gapura Jedong atau Candi Jedong berupa bangunan gapura dengan tipe paduraksa.
Bangunan dari abad 14 masehi ini terletak di lerang utara Gunung Gajah Mungkur, tepatnya di Desa Watonmas Jedong, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto. Kala itu, ia sama sekali tak mengharapkan persebaran Kakawin Negarakertagama di Istana Majapahit, karena tempatnya jauh dari kota di lereng gunung.
Prapanca hanya bersyukur apabila kakawin ini bisa sampai di tangan Raja Hayam Wuruk. Melalui kakawin ini ia ingin menyampaikan rasa setia baktinya kepada raja.
sumber:
wikipedia
diolah dari berbagai sumber
Empu Prapañca adalah nama samaran dari pujangga sastra Jawa yang hidup pada abad ke-14 pada zaman Majapahit dan kemungkinan selain pujangga juga merupakan mpu yang paling ternama pada masanya.
Namanya dikenal di Indonesia modern sebagai penulis Kakawin Nāgarakṛtâgama yang termasyhur. Meski namanya tak tersohor layaknya Sang Raja Hayam Wuruk, maupun Mahapatih Gajah Mada.
Tetapi, Mpu Prapanca memiliki peran penting dalam perjalanan Kerajaan Majapahit, hingga akhirnya kerajaan terbesar di Nusantara itu, terabadikan lewat karya sastranya.
Kitab Negarakertagama, yang memuat catatan tentang Majapahit, menjadi salah satu karya Mpu Prapanca yang termasyhur hingga kini. Bahkan, selalu menjadi referensi untuk mempelajari tentang peradaban di masa lalu.
Karya-karya sastranya, mencatat segala bentuk lika-liku kehidupan di masa Kerajaan Majapahit. Sejatinya ia bukanlah sastrawan tulen, melainkan juga sebagai pendeta agama Buddha.
Dikisahkan dalam buku "Menuju Puncak Kemegahan Sejarah Kerajaan Majapahit " karya Slamet Muljana, Prapanca adalah sosok pembesar agama Buddha di Kerajaan Majapahit, pada pemerintahan Raja Hayam Wuruk yang bergelar Rajasanagara tahun 1365 Masehi.
Namun di balik kegemilangan karyanya, Prapanca adalah sosok yang dikisahkan kesepian sepeninggal dari istana dan kota. Ia hidup canggung di sebuah dusun dan kerap merasa sedih.
Konon teman-temannya dahulu melupakannya, dan tidak pernah mengunjunginya. Prapanca merasa rugi, bahwa ia tidak dapat mendengar kata-kata dari baginda raja Majapahit.
Dikisahkan ia menolak tinggal di kota dan justru meninggalkannya untuk hidup di dusun, lantaran adanya hinaan kaum bangsawan. Demi Selamatkan Anak Hinaan yang dimaksud adalah fitnah dari kaum bangsawan yang menimpanya.
Fitnah itu membuatnya harus keluar dari istana, padahal sebelumnya menjadi pembesar agama Buddha di Kerajaan Majapahit. Fitnah dari kaum bangsawan ini, didengar oleh Raja Majapahit yang berakibat pemecatan sebagai kepala urusan agama Budha di Keraton Majapahit.
Namun belum diketahui siapa yang memfitnah Prapanca. Prapanca memilih untuk tinggal di dusun dan merasa kesepian. Hal ini diperparah dengan ketiadaan teman-temannya yang sama sekali tidak menjenguknya.
Baca: Mpu Raganata, Patih yang Membawa Kejayaan Singasari Namun Disingkirkan Raja Kertanagara.
Alhasil Prapanca memilih untuk bertapa menurut ajaran sang Buddha. Ia masuk ke dalam hutan untuk bertapa di lereng gunung. Gapura Jedong atau Candi Jedong berupa bangunan gapura dengan tipe paduraksa.
Bangunan dari abad 14 masehi ini terletak di lerang utara Gunung Gajah Mungkur, tepatnya di Desa Watonmas Jedong, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto. Kala itu, ia sama sekali tak mengharapkan persebaran Kakawin Negarakertagama di Istana Majapahit, karena tempatnya jauh dari kota di lereng gunung.
Prapanca hanya bersyukur apabila kakawin ini bisa sampai di tangan Raja Hayam Wuruk. Melalui kakawin ini ia ingin menyampaikan rasa setia baktinya kepada raja.
sumber:
wikipedia
diolah dari berbagai sumber
(nag)