Kisah Kedatangan Etnis Tionghoa Pertama di Masa Kerajaan Sriwijaya
loading...
A
A
A
KISAH Etnis Tionghoa masuk ke Indonesia konon semenjak masa pemerintahan Kerajaan Sriwijaya. Masuknya etnis Tionghoa diawali dengan pendeta Tionghoa yang melakukan perjalanan ke Sriwijaya.
Foto/Ist
Jauh sebelum itu para etnis Tionghoa telah sering mengembara dari negerinya di China.
Sumber berita Tionghoa menguraikan bahwa Fa-hien adalah pendeta Tionghoa pertama kali yang pertama kali mengunjungi Pulau Jawa dalam perjalanannya ke India.
Konon catatan perjalanan itu berlangsung di tahun 399 sampai 414, sebagaimana diuraikan pada bukunya Fahueku, yang dikutip dari buku "Runtuhnya Kerajaan Hindu - Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara" dari Prof. Slamet Muljana.
Seratus tahun kemudian atau pada tahun 518, Sunyun dan Hwui-ing berziarah melakukan perjalanan dari Tiongkok ke India. Namun uraiannya lebih singkat dibanding dengan uraian pendeta-pendeta lainnya.
Pada tahun 671 pendeta I-tsing konon berangkat dari Kanton ke Nalanda melalui Sriwijaya. Pengembaraan I-tsing di luar Tiongkok ini berlangsung selama 25 tahun. Ia kembali ke Kwang-tung pada pertengahan musim panas tahun pertama atau sekitar 695 Masehi.
Konon hingga abad 7 Masehi, hanya pendeta Buddha Tionghoa yang memainkan perjalanan dari India untuk mengunjungi Sriwijaya, di Pulau Sumatera. Sudah pasti di zaman Sriwijaya itu telah ada hubungan pelayaran yang teratur antara Tiongkok (Kanton) dan pelabuhan Melayu di Kerajaan Sriwijaya.
Kapal yang berlayar dari Kanton ke Sriwijaya dan kebalikannya adalah kapal dagang. Pendeta I-tsing tidak pernah menyinggung adanya orang-orang Tionghoa yang menetap di Pelabuhan Melayu atau di Pelabuhan Sriwijaya.
Sementara kapal dagang yang berlayar dari pelabuhan Melayu ke Kanton atau sebaliknya kebanyakan adalah kapal asing, kapal Persia, atau Kapal India.
Kedatangan etnis Tionghoa mulai terjadi peningkatan sesudah abad ke-8. Pasalnya ada perubahan sikap dari pedagang Tionghoa yang banyak bertolak ke negara-negara selatan, termasuk mengunjungi Pelabuhan Sriwijaya dan pelabuhan Melayu.
Pada abad 8 Tiongkok yang mulai menjadi negara penghasil teh juga menjadi faktor pendorong kian banyaknya pedagang-pedagang dari Tiongkok yang mengembara.
Selain teh, komoditi porselen juga menjadi barang ekspor khusus di masa itu yang membuat pedagang-pedagang Tionghoa masuk ke beberapa negara, termasuk salah satunya bumi nusantara.
Ekspedisi etnis Tionghoa di bawah Laksamana Cheng Ho pada masa pemerintahan kaisar Yung-lo dari Rajakula Ming konon menjadi tonggak penting masuknya etnis Tionghoa di beberapa negara Asia Tenggara.
Dikisahkan saat melakukan ekspedisi di tahun 1405, pasukan Laksmana Cheng Ho sempat singgah di bandar Samudera Pasai.
Dari situlah Laksamana Cheng Ho bertemu dengan Sultan Samudera Pasai, Zainal Abidin Bahian Syah. Kedatangan Cheng Ho pulalah yang membuat hubungan politik dan dagang yang diiringi kedatangan para saudagar-saudagar Tionghoa lainnya ke Pasai.
Interaksi antara pedagang Tiongkok dengan warga lokal Indonesia menjadikan terjadi perkawinan silang. Perlahan etnis Tionghoa menyebar di sejumlah tempat. Di tempat-tempat baru di Nusantara para imigran Tionghoa ini lantas kawin dengan wanita setempat atau wanita Tionghoa peranakan lainnya.
Foto/Ist
Jauh sebelum itu para etnis Tionghoa telah sering mengembara dari negerinya di China.
Sumber berita Tionghoa menguraikan bahwa Fa-hien adalah pendeta Tionghoa pertama kali yang pertama kali mengunjungi Pulau Jawa dalam perjalanannya ke India.
Konon catatan perjalanan itu berlangsung di tahun 399 sampai 414, sebagaimana diuraikan pada bukunya Fahueku, yang dikutip dari buku "Runtuhnya Kerajaan Hindu - Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara" dari Prof. Slamet Muljana.
Seratus tahun kemudian atau pada tahun 518, Sunyun dan Hwui-ing berziarah melakukan perjalanan dari Tiongkok ke India. Namun uraiannya lebih singkat dibanding dengan uraian pendeta-pendeta lainnya.
Pada tahun 671 pendeta I-tsing konon berangkat dari Kanton ke Nalanda melalui Sriwijaya. Pengembaraan I-tsing di luar Tiongkok ini berlangsung selama 25 tahun. Ia kembali ke Kwang-tung pada pertengahan musim panas tahun pertama atau sekitar 695 Masehi.
Konon hingga abad 7 Masehi, hanya pendeta Buddha Tionghoa yang memainkan perjalanan dari India untuk mengunjungi Sriwijaya, di Pulau Sumatera. Sudah pasti di zaman Sriwijaya itu telah ada hubungan pelayaran yang teratur antara Tiongkok (Kanton) dan pelabuhan Melayu di Kerajaan Sriwijaya.
Kapal yang berlayar dari Kanton ke Sriwijaya dan kebalikannya adalah kapal dagang. Pendeta I-tsing tidak pernah menyinggung adanya orang-orang Tionghoa yang menetap di Pelabuhan Melayu atau di Pelabuhan Sriwijaya.
Sementara kapal dagang yang berlayar dari pelabuhan Melayu ke Kanton atau sebaliknya kebanyakan adalah kapal asing, kapal Persia, atau Kapal India.
Kedatangan etnis Tionghoa mulai terjadi peningkatan sesudah abad ke-8. Pasalnya ada perubahan sikap dari pedagang Tionghoa yang banyak bertolak ke negara-negara selatan, termasuk mengunjungi Pelabuhan Sriwijaya dan pelabuhan Melayu.
Pada abad 8 Tiongkok yang mulai menjadi negara penghasil teh juga menjadi faktor pendorong kian banyaknya pedagang-pedagang dari Tiongkok yang mengembara.
Selain teh, komoditi porselen juga menjadi barang ekspor khusus di masa itu yang membuat pedagang-pedagang Tionghoa masuk ke beberapa negara, termasuk salah satunya bumi nusantara.
Ekspedisi etnis Tionghoa di bawah Laksamana Cheng Ho pada masa pemerintahan kaisar Yung-lo dari Rajakula Ming konon menjadi tonggak penting masuknya etnis Tionghoa di beberapa negara Asia Tenggara.
Dikisahkan saat melakukan ekspedisi di tahun 1405, pasukan Laksmana Cheng Ho sempat singgah di bandar Samudera Pasai.
Dari situlah Laksamana Cheng Ho bertemu dengan Sultan Samudera Pasai, Zainal Abidin Bahian Syah. Kedatangan Cheng Ho pulalah yang membuat hubungan politik dan dagang yang diiringi kedatangan para saudagar-saudagar Tionghoa lainnya ke Pasai.
Interaksi antara pedagang Tiongkok dengan warga lokal Indonesia menjadikan terjadi perkawinan silang. Perlahan etnis Tionghoa menyebar di sejumlah tempat. Di tempat-tempat baru di Nusantara para imigran Tionghoa ini lantas kawin dengan wanita setempat atau wanita Tionghoa peranakan lainnya.
(shf)